Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Akhir Tahun

6 Juli 2023   08:57 Diperbarui: 6 Juli 2023   09:02 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Pixabay.com

Seorang gadis kecil melompat dari kursi plastik warna hijau, setelah melihat kalender yang menempel di dinding.

"Mamah, sebulan lagi ya?"

"Iya," jawab seorang wanita berdaster kuning lusuh sambil tersenyum. 

"Hore! Masuk SD! Masuk SD!"

Gadis kecil itu melompat-lompat mendengar jawaban ibunya. Setelah berhenti bersorak, mulut mungilnya tak berhenti berbicara. Celoteh tentang rencana liburan akhir tahun, pulang kampung sebagai ganti tidak mudik lebaran, jalan-jalan, belanja, susul-menyusul masuk dalam pembicaraan. 

Sang Ibu hanya tersenyum dan sesekali ikut tertawa mengimbangi. Otaknya terlalu sibuk untuk sekedar memilih kata-kata agar tak mengurangi kegembiraan putrinya. Saat ini hati dan kepalanya telah penuh dengan jumlah-jumlah dari setiap pengeluaran. Sementara pemasukan belum juga ada gambaran.

*****

Akhir tahun ajaran artinya awal tahun untuk sekolah yang baru. Daftar ulang, seragam, buku, seharusnya semua itu tak dipikirkan lagi karena tercover oleh uang tabungan di sekolah. Namun semua di luar prediksi. Ternyata biaya Wisuda dan Akhirusanah anak TK tak sedikit. Tabungan yang seharusnya untuk mendaftarkan sekolah justru habis untuk biaya wisuda. 

"Dulu, kakaknya gak sampai segitu besarnya!" keluhan wanita itu pada suaminya. 

"Mau gimana lagi, atuh, Bu." Jawaban sang Suami tak memberi solusi. 

Keduanya sadar sampai berbusa protes dan mengeluh, tidak akan ada yang memberinya solusi. Pada akhirnya keduanya menyalahkan diri-sendiri, memilih sekolah tak tepat untuk puterinya. 

"Gaya-gayaan di sekolah Swasta. Di negeri aja yang murah." Kata-kata senada kerap terlontar dari mulut-mulut berbeda, tetapi semua itu hanya bisa didengarkan sepasang suami-istri itu dengan suka rela. 

"Nasi sudah menjadi bubur, dari pada membuangnya lebih baik menikmatinya saja," ujar sang Suami, mencoba berdamai dengan keadaan. 

"Apa iya kita yang terlalu, ngangsa ya, Pa?" tanya Sang Istri pada suaminya, sembari menatap puterinya yang masih asik dengan buku-buku cerita miliknya. 

Sang Lelaki tersenyum getir mendengarkan perkataan istrinya. Harga dirinya tersentil, merasa tak berdaya. 

Sekolah pilihan puterinya bukanlah sekolah elite, hanya sekolah swasta biasa yang menawarkan pelajaran agama yang lebih banyak. Jika dibandingkan sekolah lain, di sana masih terhitung rendah. Namun, karena pendapatan yang menurun sejak pandemik, serta biaya wisuda TK Puteri kedua yang melebihi prediksi membuat semua terasa berat. 

"Perasaan, dulu kakanya gak berat gini ya, Pak," keluh sang Istri lagi. 

"Sudahlah Bu. masih ada waktu satu bulan. Semoga Allah SWT memberi jalan. Sekarang terasa berat dibanding dulu kakaknya, karena sekarang kita sedang menjalani sedangkan dulu itu udah dilewati."

"Tetap saja, Pa. Gak mau masuk TK disitu lagi," ucap Sang Istri penuh penyesalan. 

"Ya, iyalah, Bu. Kan anak kita cuma dua. Masak mau masuk TK lagi," sahut Sang Suami sambil terkekeh. 

"Untung ya, Pa?" Sang Istri ikut tersenyum. 

"Sudahlah, ayo makan dulu laper," ajak Sang Suami mengakhiri pembicaraan. 

Biaya wisuda dan Daftar ulang menjelang awal tahun ajaran menjadi tema obrolan tak tentu yang kerap terpilih sepasang suami istri itu. Namun berulang-ulang dibahas keduanya belum juga memukul palu mengakhiri pembahasan. Meski belum menemukan solusi tetapi keduanya menyudahi pembicaraan. Hingga kemudian kembali mengangkat tema yang sama di lain waktu tanpa disadari. 

****

"Sudah ah, ngomongin itu mulu. Mau sampai kapan, coba?" kilah Sang Istri mencoba mengalihkan pembicaraan yang kerap membuatnya pusing kepala. 

Sang Suami hanya tersenyum menahan getir di hatinya. Ia menatap jalanan depan rumah yang gelap. 

Sepasang matanya beralih ke lampu bohlam yang padam. Sehari lalu lampu itu tiba-tiba pecah dan belum sempat ia ganti dengan yang baru. Bukan karena tidak ada waktu tetapi hanya untuk membeli lampu ia berpikir untuk menunda terlebih dahulu, mengingat seragam baru putrinya yang belum terbeli hingga kini.

Sang Suami kembali mengalihkan pandangan. Tatapan matanya kini memandangi wajah istrinya. Wanita itu diam tak menyadari lelaki di sampingnya tengah memperhatikannya. 

Diam-diam lelaki itu tersenyum lega. Bagaimana pun keadaannya, ia bersyukur wanita itu tak banyak mengeluarkan energi untuk menyalahkan dan menuntut dirinya. Meskipun belum membuahkan hasil setidaknya usahanya selama ini dihargai. 

Dukungan dan doa, hanya itu yang saat ini ia butuhkan dari istrinya. Dalam diam, lelaki itu berharap. Semoga esok hari ia menemukan solusi untuk masalahnya kali ini. 

Mutia AH

Ruji, 1 Juni 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun