Runi duduk selonjoran di lantai. Bekas tepung menempel di rambut panjangnya yang diikat asal. Kusut tampak seperti ekor kerbau berlumpur. Menjuntai ke samping kanan hingga ke dada senada dengan kepalanya yang bersandar pada kulkas satu pintu berwarna abu-abu muram. Banyak coretan serta lem bekas stiker menempel di pintu kulkas.
Pandangan matanya berkeliling mengamati keadaan dapurnya yang sempit. Tumpukan piring di bawah kran berlumut memenuhi lantai khusus cucian berwarna hitam sisa minyak dan makanan basi yang berevolusi menjadi kerak.
Tetesan tepung bekas membuat gorengan menempel di badan kompor. Tumpahan kopi dan gelasnya masih tergeletak di atas meja tingkat multifungsi, berisi plastik-plastik bekas serta bumbu-bumbu yang ia simpan di wadah-wadah plastik bekas makanan instan.
Tiba-tiba perempuan itu melonjak, tumpukan piring kotor yang tak stabil rubuh. Menciptakan suara nyaring. Sepertinya salah satu piring hadiah sabun miliknya pecah. Namun hal itu tak juga membuatnya bergerak. Ia masih setia dengan lamunannya.
Tak berbeda dengan keadaan dapurnya. Kepalanya dan hatinya lebih sempit dan sesak.Â
"Kenapa hidupku seperti ini? Apa yang salah denganku?" Pertanyaan itu terus diulang-ulang tetapi tak jua mendapat jawaban.
Hingga nada dering dari handphone berlayar retak membuatnya bangkit. Sekilas ia melihat layar yang menampilkan angka-angka dari nomer telepon. Dengan malas ia menggeser ke atas ikon warna hijau.
"Halo." Dengan nada malas Runi menjawab. Meski tanpa nama Runi tahu persis yang menelpon adalah Lisa, anak bibinya.
"Ni gue. Lu nape, sih? Baru melek lu, ye?"
"Kagak, lagi boker," jawab Runi berbohong.Â