Aku dan Penyair Tua
Kulihat penyair tua, di beranda rumahnya. Duduk khusyu dengan memangku buku, ditemani secangkir teh pahit yang  dingin dibuai angin.
Kesepian
Kulihat ia sendirian, memandang awan berarak pelan di antara kilau cahaya senja. Sekawanan burung-burung hitam terbang mengejar hari yang kian petang, seekor nampak tertinggal sendirian mengejar kawanan menuju kegelapan.
Kakek penyair tua terlihat meluruskan badan kemudian menyandarkan bahu sambil menutup buku di pangkuan. Sebuah pena di meja telah berpindah ke tangan, sambil menangis penyair tua menulis.
Entah
apa yang ia tuang dalam sajak-sajaknya? Tentang filosofi senja, tentang usia yang semakin tua atau tentang anak cucu yang lupa keberadaannya?
Di beranda media sosial, di sebuah halaman blog keroyokan, aku menikmati sebuah puisi yang ditulis penyair tua.
"Ah, cinta tak pernah menua."
Salam
Mutia AH
Ruji, 21 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H