Memainkan alat musik adalah salah satu hal yang sulit dipelajari menurut saya pribadi. Karena tidak ada satu pun alat musik yang berhasil saya kuasai. Namun bukan berarti benci sebab mendengarkan musik adalah salah satu hobi yang saya tulis ketika mengisi biodata perkenalan semasa sekolah.
Bagi orang awam seperti saya, tidak ada standar khusus dalam menyukai lagu. Asal enak didengar dan liriknya sesuai suasana hati, cukup sebagai alasan untuk menyukai. Terkadang dari sebuah lagu mengingatkan akan kenangan yang terjadi bersamaan dengan populernya lagu tersebut. Sehingga lagu itu tanpa sadar masuk daftar putar lagu kenangan.
Ketika mendengar nama-nama Ebiet, Dewi Yul, Broery Marantika, Nike Ardilla, Popy Mercuri dan penyanyi-penyanyi pada masanya maka otak kecil saya langsung mengingat masa kanak-kanak. Sebagai manusia yang lahir di tahun delapan puluhan dan menjalani masa kanak-kanak di tahun sembilan puluhan lagu-lagu milik penyanyi tersebutlah yang sering terdengar.Â
Pada masa itu perkembangan musik tidak seperti sekarang yang lagunya viral karena banyak yang meng-cover dan penyanyi asli dikenal belakangan. Masa itu lagu-lagu hits di radio-radio terlebih dahulu baru kemudian terlihat di layar televisi. Karena penyanyi baru membuat video klip setelah lagu-lagunya dihafal para penggemar di luar kepala. Bagaimana tidak hafal, lagu-lagu yang diterbitkan akan diputar hampir sepanjang tahun dan entah kapan lagi penyanyi menerbitkan lagu barunya.
Penyanyi idola saya waktu itu adalah almarhumah Nike Ardilla dan Popy Mercuri. Namun tidak satupun kaset-kaset mereka yang saya miliki. Karena mereka hanya mengisi masa kanak-kanak yang sebenarnya lagu-lagu mereka belumlah cocok untuk usia saya waktu itu.
Apakah tidak ada lagu-lagu anak-anak atau penyanyi anak-anak yang menjadi favorit? Jangan salah, masa itu lagu-lagu anak-anak sangat menutrisi. Seperti halnya sarapan yang disantap setiap pagi. Lantas kenapa tidak diceritakan? Karena saya mengingat masa itu adalah masa kanak-kanak saya yang mana memandang kehidupan orang dewasa sebagai kehidupan yang seru dan keren. Entahlah, mungkin itulah sebabnya kenapa waktu kecil, saya ingin cepat dewasa. Sebaliknya setelah dewasa ingin rasanya kembali ke masa kanak-kanak yang murni.
Ada kisah yang menurut saya sedikit lucu. Dulu, lagu yang kerap muncul di televisi adalah lagu berikut:
oh, biarlah
(Biarlah bintang 'kan menjadi saksi) uu-uh, biarlah
Takkan ku ulangi walau sampai akhir nanti
Cukup derita sampai disini
Komentar sinis yang kerap saya lontarkan ketika melihat penyanyi itu muncul di televisi adalah, "lagu kiye bae sing metu, wis kaki-kaki nyanyine pacaran bae." Mohon maaf, komentar itu sedikit tidak sopan. Itu hanya ungkapan kekesalan seorang anak kecil yang lugu. Seperti kena karma, setelah menikah saya baru mengetahui bahwa lagu dan penyanyi tersebut ada idola dan favorit suami.
Sekarang bukan rasa kesal yang saya rasakan ketika mendengar lagu itu diputar. Sebaliknya saya tersenyum-senyum sendiri sambil bersenandung riang mengingat bagaimana masa kanak-kanak dan diam-diam saya telah hafal lagu itu sejak dulu.
Salam
Mutia AH
Ruji, 12 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H