Keduanya tampak seperti juragan dan ajudannya. Setelah menengok kanan ke kanan dan ke kiri kemudian menyebrang zebra dan berjalan pelan melewati pertokoan. Gadis dan bocah lelaki berhenti di depan cafe yang tampak ramai.
Cafe yang terletak di tengah kota ini memang sering dibanjiri pengunjung di jam-jam pulang kerja seperti sekarang. Â Terlebih hari hujan sehingga banyak pengunjung tambahan yang mampir sekadar menunggu hujan reda. Begitu pula di emperan kafe, penuh dengan orang-orang yang berteduh. Kebanyakan adalah para pedagang asongan yang menumpang istirahat sejenak sembari menunggu pembeli.
"Payungnya, Mbak!" tegur lelaki paruh baya pada gadis itu.Â
"Maaf, Pak," jawab gadis itu menyadari tetesan air hujan dari payungnya mengenai Bapak-bapak penjual dawet di samping pintu kafe.
Namun permintaan maaf itu tak digubris. Bapak-bapak tukang dawet melengos tanpa senyuman. "Apes, baru keluar sudah hujan. Neduh masih basah juga," umpatan tukang dawet itu membuat orang-orang menoleh dan memperhatikan keduanya. Namun si Gadis tampak tak peduli.
"Ini, Dek" ucap gadis itu seraya menyerahkan payung pada bocah lelaki yang tampak menggigil kedinginan. "Berapa, Dek ongkosnya?" tanya si Gadis.
"Seikhlasnya, Kak." Suara bocah lelaki nyaris tak terdengar seiring guntur menggelegar.
"Terima kasih, Kak," ucap bocah itu sembari meraih uang selembar dua puluh ribuan dari tangan si Gadis. Setelah itu bocah lelaki berjalan melewati jalan sebelumnya. Dengan lincah tubuh kurusnya menyelinap di antara kendaraan di jalanan yang bergerak lambat.Â
"Alhamdulillah," gumamnya di antara rintik hujan yang semakin deras. Kembali bocah itu menghampiri orang-orang di halte, menawarkan payungnya dengan riang gembira.
Mutia AH
Ruji, 01 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H