Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selaksa Luka dalam Rasa

10 Mei 2021   07:16 Diperbarui: 10 Mei 2021   07:31 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Pixabay

Hitungan manusia memang tak pernah tepat. Semestinya hujan telah turun di bulan November tetapi pada kenyataannya panas semakin menggila. Langit berwarna putih, tak ada awan hitam sedikit pun. Entah kapan musim kemarau berakhir? 

Aku pikir, luka akan sembuh dengan sendirinya seiring waktu berlalu. Namun kenyataannya hidup tak semudah teori. Ada kemungkinan-kemungkinan yang tak mungkin menjadi mungkin. 

Sepuluh tahun hidup di rantau akhirnya aku kembali ke kampung halaman. Setelah ibu memohon untuk yang kesekian kali. Pekerjaan, selalu menjadi alasan tak bisa pulang. Menyembunyikan alasan sebenarnya. Aku terluka karena ayah di masa lalu. 

Kampung tempat kelahiranku tak banyak berubah meskipun lama ditinggalkan. Tiga meter dari rumah ada hamparan tanah kosong ditumbuhi rerumputan. Di samping kanan jalan ada pohon beringin. Di situlah biasanya anak-anak bermain sambil berteduh. Terkadang tukang jualan juga berhenti sambil menjajakan dagangannya. Seperti yang terlihat saat ini. Abang mainan dan Abang Cilung ada di sana. Pemandangan itu membuat ingatanku melayang ke masa puluhan tahun silam. 

Di pinggir lapangan seorang gadis kecil memakai dres kekecilan, pendek di atas lutut. Kedua matanya membulat menatap temannya yang asik menjilati es krim Thung-Thung. 

"Pingin, ya? Liatin mulu!" 

"Enggak kok," kilah gadis kecil itu sambil mengalihkan pandangan ke tempat lain, menyembunyikan rasa ingin. 

"Minta duit sama Bapakmu, sono. Buat beli es," ucapnya lagi sambil menjulurkan lidah pada gundukan es krim vanila ditangannya. 

"Eh, kamu jangan gitu, Bapaknya kan udah nikah lagi. Kata ibuku, jangan bilang-bilang soal bapaknya. Kasihan, nanti dia sedih." Satu teman membela tetapi justru melukai hati sang gadis kecil. Luka yang kemudian terus terpelihara hingga gadis kecil itu dewasa. Ya, gadis kecil itu adalah aku. 

Meski kemudian ayah meminta maaf dan mengorbankan satu hal berharga dari dirinya. Semua seakan tak sebanding dengan luka dan trauma yang  tertancapkan di masa silam. Namun ... 

Thinn! Bunyi klakson membuat seorang anak kecil yang berdiri menghalangi jalan masuk ke belokan rumah tua bergaya belanda jaman kolonial, berlari. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. 

Sejenak aku terdiam melihat suasana di sekeliling rumah. Keadaannya masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Kemudian, turun dan berdiri di depan pintu dan kembali mengingat masa lalu dengan mengamati sekeliling, sekali lagi. Rumput Jepang yang tumbuh memenuhi halaman masih hijau. Pohon jambu Bangkok masih kokoh berdiri di dekat pagar. Kembali kenangan masa lalu berloncatan. 

Suara batuk-batuk membuyarkan lamunan. Sesaat kemudian pintu terbuka. Seorang wanita tua dengan tatapan mata sayu muncul dari balik pintu. "Nduk!" Hanya kata itu yang terucap. Kemudian setengah berlari ia merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Hingga cukup lama kami saling bertangis-tangisan dan akhirnya ibu menarik lenganku masuk ke dalam. 

"Nduk, Bapakmu," ucap ibu parau sambil menunjuk dengan pandangan ke arah kamar yang terletak paling depan. Aku mengikuti arah pandangannya. Terlihat pintu kamar terbuka sedikit. Dengan langkah berat aku berjalan mendekat dan berhenti di depan pintu. Kemudian berbalik, ke arah ibu. 

"Nanti saja Bu, aku mau istirahat dulu," kataku beralasan untuk mengulur waktu bertemu dengan lelaki yang menabur benci. Seperti biji yang terkubur dalam tanah, ia tumbuh dan berkembang. Bukan hanya pada ayah, benci merebak pada semua lelaki. Karena itulah hidup sendiri tanpa suami menjadi pilihan. 

Ibu tampak kecewa mendengar jawaban dariku. Kembali ia berucap, sambil menarik tanganku. 

"Nduk, maafkanlah Bapak, demi ibu." Aku hanya mendengus. Lagi-lagi, ibu meminta maaf untuk lelaki itu, membuat hatiku kian memerah. 

Sampai detik ini, aku tak mengerti kenapa ibu mencintai Bapak? Lelaki sumber penderitaan. Saat lelaki itu masih muda dan mapan. Tanpa hati ia pergi ke pelukan wanita muda dengan alasan ingin punya anak lelaki. Karena ibu terus-terusan melahirkan anak perempuan hingga lima kelahiran. Sungguh egois dan jahat bukan? Jadi salahkah aku yang membenci lelaki semacam itu? 

Setelah lima tahun pergi gak ada kabar. Bapak pulang membawa bocah lelaki kurus berusia empat tahun. Dengan seenaknya bapak meminta ibu, aku dan adik-adik menerima bocah itu sebagai keluarga.

"Adnan anak ayah, itu artinya dia adikmu juga!" ucap ayah tanpa rasa bersalah, saat aku menolak mengakui bocah itu sebagai adik. Jangankan mengakui bocah itu sebagai adik. Mengakui bapak sebagai ayah pun aku tak sudi. 

"Tidak mau," tolakku kalau itu, yang kemudian membuat ayah marah dan menampar pipiku. Sejak saat itu, tak pernah lagi ada obrolan antara aku dan ayah, sampai sekarang. Membuat biji kebencian tumbuh lebat, seperti hutan keramat. 

Namun satu hal yang tak pernah kupahami. Tidak seperti aku, ibu menerima lelaki dan anaknya itu dengan lapang dada. Bahkan ibu berjuang mati-matian demi menghidupi kami anak-anaknya juga kedua benalu tak tahu diri itu. 

Aku sebagai anak tertua dituntun mengerti keadaan dan harus membantu menjadi tulang punggung. Hingga kehilangan masa kanak-kanak yang seharusnya ceria. Sementara bapak, justru drop dan sering sakit-sakitan. Membuatku berpikir ayah hanya beban, sumber segala penderitaan. 

Dua puluh tahun luka itu terkubur. Namun bukannya membusuk, lebur dan menghilang. Justru luka itu kian tumbuh dan berakar. Aku masih enggan menerima ayah sebagai ayah sebenarnya. Kebencian hanya itu yang ada dalam lubuk terdalam. 

Aku melepas pegangan tangan ibu, dan bertolak ke kamarku sendiri. Namun lagi-lagi ibu menarik lenganku.

"Mau sampai kapan, Nduk?" tanya ibu sambil duduk bersimpuh di bawah kakiku, memohon. 

"Aku sudah mencobanya, Bu." Dadaku terasa sesak saat mengucapkan itu. Masa kecil yang penuh kesedihan kembali terbayang. 

"Kau menyiksa diri sendiri, Nduk. Kau menjadi orang yang salah karena tidak mau memaafkan orang yang mengaku salah," ucap Ibu bergetar. Air mata kembali berloncatan dari kelopak matanya. 

"Ayahmu sudah tak ada, Nduk!" Langkahku terhenti. Aku berbalik menghadap ibu, mencari kebenaran ucapannya. 

"Seminggu yang lalu. Ibu coba menghubungimu tapi ... ,"

Seketika tubuhku limbung luruh bersandar pada dinding. Serasa ribuan jarum menusuk-nusuk hati. Teringat peristiwa sebulan lalu. Di rumah sakit Medika Internasional, saat dokter mengucapkan selamat atas keberhasilan operasi cangkok ginjal yang dilakukan padaku. Berkat kerelaan seorang lelaki tua yang mendonorkan sebuah ginjalnya untukku. 

"Ayahmu, pergi setelah mendonorkan ginjalnya untukmu. Ini takdir, Nak, bukan salahmu. Mungkin inilah jalannya untuk mendapatkan maaf darimu," ucap ibu kemudian. 

"Ibu, aku ... " ucapku pelan. 

Bulir-bulir bening berjatuhan. Terasa ada sebongkah batu besar menindih dadaku. Entah sedih atau merasa bersalah, aku tak tahu. Menangis hanya itu yang ingin kulakukan sekarang. 

Tamat

Mutia AH

Ruji, 10 Mei 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun