Sasa tak peduli, gadis asyik bergumul dengan lelakinya. Ia berusaha memisahkan keduanya tetapi semua sia-sia. Ia tak lebih dari sekadar makhluk tak kasat mata. Berkunjung hanya untuk meminta sebaris doa untuk keringanan dosanya. Namun ia kecewa, jangankan mendoakan, mengingat dirinya rasanya tidak. Anggota keluarganya, hanya sibuk dengan dunianya masing-masing.
"Wina istriku, Burhan anakku, taukah kalian apa yang dilakukan adikmu Sasa ini?"
Ia menangis tersedu-sedu melihat perilaku anak istrinya. Kunjungan kali ini kembali ia menuai kekecewaan.
Hingga menjelang pagi ia menunggu. Namun tak satu pun yang teringat dan mendoakan. Semalaman kunjungannya hanya menuai penyesalan. Harta yang diwariskan tak berguna. Hanya menambah deretan panjang catatan dosa.
Lelaki itu menatap nanar ke rumah mewahnya. Kemudian, ia berteriak sambil menangis pilu.
"Wahai keluargaku! Wahai kerabatku! Wahai anakku! Wahai orang-orang yang tinggal di rumahku! Wahai orang-orang yang memakai bajuku! Wahai orang yang membagi hartaku!" teriak lelaki itu memecah keheningan.
"Adakah seseorang yang masih mengingat dan memikirkanku di pengasingan?" Suara lelaki itu membentur dinding tembok dan berbalik ke dirinya. Hingga hanya dirinya yang mendengar.
"Aku berada dalam penjara yang lama dan benteng yang kokoh. Kasihanilah aku, maka Allah akan mengasihani kalian semua." Lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.
"Janganlah pelit kepadaku sebelum kalian mengalami sepertiku. Wahai hamba Allah ... kesejahteraan yang ada pada kalian adalah berasal dari tanganku. Aku tidak menginfakkan di jalan Allah dan hisab juga pertanggung jawabannya ada padaku, tetapi manfaatnya diperoleh orang lain." Semakin malam, suara lelaki itu semakin lantang. Namun teriakannya serupa karbondioksida yang diembuskan pepohonan. Hilang lenyap bersama kabut malam.
Hingga menjelang pagi lelaki itu berteriak-teriak. Dengan penuh penyesalan dan kehampaan. Seiring cahaya matahari yang semakin terang tubuh lelaki itu semakin mengabur dan perlahan menghilang bersama kabut tertiup angin.
Tamat