Surga Yang Terlupakan.
Pagi masih buta, setelah salat tahajud, Bu Mirna bergegas ke dapur menyiapkan dagangannya, menyalakan kompor, menanak nasi. Sigap ia bekerja, mengiris bawang, memotong tempe, dan meracik bumbu.
Kres! Kres! Kres! Suara pisau dan talenan mulai beradu memecah kesunyian pagi. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci dari lamar Arini putrinya. Ada keinginan untuk memanggil namun mendengar Arini tengah mengaji Bu mirna mengurungkan niatannya.
"Nanti saja kalau sudah selesai," bisik batinnya.
Hingga menjelang subuh wanita paruh baya itu belum selesai dengan pekerjaannya. Biasanya sebelum shubuh semua dagangan nasi uduk dan ketoprak telah siap. Karena bangun lebih siang dari biasanya, ia menjadi sedikit terlambat.
"Nasi, ketupat, bihun, sambel, orek, semur, kerupuk, tinggal gorengan, nanti saja, salat dulu." Â Bu Mirna bermonolog.
Sebelum masuk kamar, ia mengintip putri semata wayangnya, yang tengah khusuk dalam salat. Buru-buru ia masuk kamarnya sendiri. Lima belas menit, ia keluar lagi. Dengan pakaian dinasnya. d
Daster lengan panjang serta jilbab senada yang menjuntai ke dada. Bedak tepung tipis membuat wajahnya terlihat segar di usia menepi senja.
"Arin." Sedikit terkejut Bu Mirna melihat putrinya telah rapi, mengenakan gamis modis khas aktifis serta tas punggung ukuran sedang sedang
"Mau ke mana, ini kan hari minggu?"
"Iya Mak, maaf tadi malam lupa bilang, Arin pagi ini jadi panitia kajian rutin mingguan di kampus, kali ini ustadzahnya dari luar. Jadi Arin harus datang lebih pagi soalnya menyiapkan tempat untuk istirahat dan sarapan untuk ustadzahnya, Mak," terang Arin
Tin! Tin! Suara klakson motor sedikit mengejutkan mereka.