Keringat dingin mulai bermuculan. Degup jantung tak lagi terkontrol. Kaki dan lutut terasa lemas. Di mana busku?
Aku tertunduk di salah satu sisi bus. Otak tak lagi bisa diajak berpikir. Apa mungkin bus sudah berangkat dan aku ditinggal? Masa iya, Santi gak bilang ke sopir jika aku belum naik!
"Yen, mangkat besok aja, pagi-pagi."
Teringat ucapan ibu sebelum berangkat. Namun aku yang khawatir terlambat karena harus masuk kerja shif malam besoknya, menolak saran ibu. Aku pikir jika berangkat malam ini, maka akan ada kesempatan setengah hari untuk istirahat.
"Ya, Allah," lirihku.
Aku kembali menyusuri bus satu ke bus lainnya. Berharap bisa menemukan penumpang lain, barang atau apapun yang menunjukan bahwa bus itu benar-benar busku. Hingga tak terhitung berapa kali aku turun naik bus akhirnya aku menyerah.
Sembari jongkok di sisi bus, aku pasrah. Dengan telapak tangan aku menyembunyikan muka. Pipi mulai terasa hangat, setitik air mata jatuh.
"Ya, Allah," hanya kata itu yang mampu terucap. Sementara hati terus berdoa, memohon ampunan dan pertolongan Allah. Permintaan maaf dan janji untuk tidak mengabaikan saran dan kota-kota ibu lagi.
Aku benar-benar pasrah, jika harus tersesat di sini. Tertinggal di rest area dan diumumkan lewat pengeras suara bahwa aku tersesat.
Dalam titik paling pasrah. Aku dikejutkan oleh tepukan di pundak. Seketika aku tersadar, tubuh dan nyawaku seakan kembali berpijak di atas bumi. Setelah sesat tadi melayang dalam kebingungan akut.
"Hai, lagi ngapain? Dari tadi naik-turun bolak balik, gak jelas
"Ke toilet," jawabku hampir menangis karena bahagia dan lega. Tak habis pikir bagaimana Santi berdiri di sampingku dari tadi tapi dan aku tak melihatnya. Tepat di bawah pintu bus yang kucari, gadis itu berdiri. Sesuatu di luar jangkauan otak.