Sudah habis masa liburan kini saatnya kembali belajar. Siapkan alat tulis dan buku-buku pelajaran. Belajar secara tatap muka di ruang kelas ataupun secara virtual, alat tulis dan buku tak bisa ditinggalkan. Itu adalah salah satu persiapan belajar yang utama. Sementara itu persiapan hati dan mental juga tak boleh dilupakan. Kenapa? Mari kita lanjutkan membahas lebih lanjut.
Suatu pagi di awal Desember, tak sengaja saya bertemu dengan Bu Yani, saat membayar SPP di sekolah. Beliau adalah ibu dari temen sekelas puteri saya. Dari sekian banyak obrolan ada satu hal yang masih terngiang sampai sekarang.
"Eh, nanti di semester dua, anak-anak sudah masuk sekolah seperti biasa. Seneng banget dengernya," katanya dengan air muka bahagia.
"Menurutmu gimana?" lanjutnya sambil menepuk lengan saya.
"Hemm, entahlah. Aku gak mau berharap terlalu banyak, takutnya nanti berubah lagi, jadi kecewa," jawabku jujur.
"Iya juga sih." Seketika wajahnya berubah murung. Membuatku merasa bersalah mematahkan harapan dan kebahagiaannya.
Seperti yang saya khawatirkan waktu itu ternyata terjadi juga. Sekolah normal seperti biasa hanyalah mimpi. Kegiatan belajar mengajar semester dua ini masih dilakukan secara daring.
Sejujurnya kecewa itu ada. Bukan semata-mata karena kegiatan mengajar guru di sekolah menjadi tanggung jawab saya sebagai orang tua. Akan tetapi lebih dari itu. Entah sudah berapa puluh kali, saya harus menata mental anak saya sendiri dalam menghadapi kejenuhan belajar di rumah serta kerinduannya pada sekolah.
"Bu, kapan sih Corona ilang?"
"Bu, teman-teman sekelas aku siapa ya?"
"Bu, kapan sih sekolah?"