Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibuku, Pahlawan Devisa

25 November 2020   14:56 Diperbarui: 25 November 2020   15:01 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gemuruh hujan tak lagi terdengar. Rintiknya melambat. Menyisakan tetes-tetes kecil di ujung daun. Meninggalkan genangan di jalan berlubang. Suasana teramat lengang. Bunyi motor yang melintas di jalan depan rumahku terdengar memilukan. Seirama kesedihan yang melanda hati.

Tiada air mata yang menetes, tetapi kegelisahan ini tak terbendung lagi. Aku rindu ibu, benar-benar rindu. Tak pernah rasakan ini sebelumnya. Pigura kusam berisi foto ibu dan nenek kupeluk erat. 

"Kenapa harus ke jadi TKI, bu, cari duitnya?" tanyaku waktu itu, saat malam terakhir sebelum ibu berangkat. Sebenarnya bukanlah pertanyaan, dalam hati aku ingin mengatakan. "Ibu, jangan pergi." Akan tetapi tak ada keberanian. 

"Kalau carinya di luar negeri, uangnya cepat banyak. Setelah dua tahun, ibu punya modal dan pulang. Ibu akan buka usaha di sini biar terus bersama-sama denganmu," jawabnya optimis, kala itu. Aku tersenyum dan memeluknya erat hingga tertidur pulas. 

Keesokan harinya di pagi hari buta, seisi rumah sibuk. Karena semua akan ikut ke Bandara mengantarkan ibu. Hanya tersisa aku dan kakek di rumah. Ya, tentu saja nenek pun ikut ke Bandara. Karena nenek dan ibu sama-sama berangkat untuk menjadi TKI meski nantinya mereka tinggal di rumah majikan yang berbeda. 

Enam bulan lamanya ibu merantau di negri nun jauh di sana tanpa kabar berita. Bahkan nenek yang berangkat bersamanya tak tahu kabar ibu. Setiap kali nenek telepon, aku selalu menanyakan ibu tetapi jawabannya selalu sama. "Aku tak tahu."

Hingga aku lelah dan putus asa, tak ingin lagi merindukannya. Sebab perasan itu semakin menyiksa. Kujalani hari-hari tanpa ibu bahkan hingga usia 17 tahun.

Terkadang ada sesal melintas tajam, seandainya aku tahu malam itu adalah malam terakhir bersama ibu. Aku akan melarangnya pergi menjadi TKI. 

Namun, apalah arti pendapat seorang anak berusia tujuh tahun. Mereka, nenek dan ibu hanya berpikir tentang masa uang dan masa depan. Seandainya saja mereka mau mengerti, kasih sayanglah yang paling kubutuhkan. 

Meskipun keberadaan ibu tiada kabar berita. Namun nenek senantiasa mengirimkan uang hasil jerih payahnya, untuk kami. Melalui bibi terdekatku. Hingga dua tahun kemudian nenek pulang tetapi tidak bersama ibu. 

Setiap kali kutanyakan tentang ibu, nenek selalu berkata. "Ibu di sana baik-baik saja. Belajarlah yang rajin biar jadi orang pintar. Cari uang gampang tak sampai ke negeri orang."

Aku jemu, benar-benar jemu dengan  jawaban nenek setiap kali bertanya tentangnya. Hingga kemudian, diam tak peduli menjadi pilihan. Biar saja rindu ini menguap bersama angin. Aku anggap ibu telah melupakan anak dan semua kehidupannya di sini. 

Namun, cerita tak semudah itu ditamatkan. Dari tetangga, kerap kudengar mereka membicarakan ibu. Lagi-lagi mereka bungkam jika diminta penjelasan mengenai kebenaran cerita yang kudengar. Bahwa ibu dieksekusi mati karena membunuh majikannya sendiri. Bukan jawaban yang kudapatkan, justru sorot mata iba dan kasihan yang mereka berikan. 

"Nek, benarkah ibu jadi pembunuh dan dihukum mati?" Nenek diam menatapku dengan sorot mata tajam penuh amarah. 

"Bagaimana mungkin kau berpikir bahwa wanita yang melahirkan dan mengorbankan nyawa untukmu, kau sebut pembunuh?" 

Sejak saat itu pun, aku tak berani bertanya lagi. Hingga sore tadi, saat langit bergemuruh disertai petir dan hujan deras. Aku beranikan diri untuk bertanya lagi perihal ibu. Di luar dugaan, sorot mata nenek sendu. Air mata mengalir deras di pipinya. 

"Kamu sudah dewasa, Nduk. Saatnya tahu cerita yang sebenarnya." Setelah mengatakan itu, nenek bergegas pergi ke kamarnya. Satu-satunya ruangan yang tak pernah kumasuki di dalam rumah ini. Sejak kepulangannya dulu. 

Setelah beberapa saat kemudian, nenek keluar lagi dengan membawa pigura foto yang belum pernah kulihat sebelumnya. 

"Lihat foto ini, terakhir nenek bertemu ibumu sebelum dieksekusi mati." Nenek mengakhiri kalimatnya karena tangisnya pecah seketika. Aku lihat dengan seksama foto dalam pigura. Ibu tampak tersenyum bahagia memeluk nenek yang berdiri di sebelahnya. 

"Bacalah! Kamu akan mengerti," ucap nenek kemudian. Sebelum aku beranjak meninggalkannya dengan membawa pigura dan koran lawas di tangan. 

Aku mengunci pintu rapat kemudian membaca sambil berbaring di ranjang. Jelas terpampang di halaman utama koran terbit tahun 2018 dengan judul paling atas halaman.
'Sulastri, TKI yang Dihukum Mati di Luar Negeri.'

Darahku  bedesir memanas, membaca setiap barisan tulisan yang menceritakan kisah ibu. Meregang nyawa karena hukuman mati. Membunuh majikannya karena membela diri saat akan diperkosa. 

"Ibu ... " Hanya kata itu yang terucap dari mulutku. Terjawab sudah segala tanya selama ini. Namun mengetahui cerita sebenarnya tak merubah kenyataan apa pun. Aku hanya semakin merindukan ibu.
Seorang pahlawan devisa juga pahlawan dalam hidupku. Ibu, aku mencintaimu.

Ruji, 25 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun