Eyang Sugih terbaring di ranjangnya, berselimut tebal, bermotif belang-belang hitam dan putih. Bau apek, bercampur pesing menguar di ruangan sempit ini. Hampir sebulan Eyang sakit dan tak bisa bangun dari tempat tidur.
"Iki sopo?" Saat tanganku menyalami Eyang Kaji.
"Iki anakku, Yanti," jawab ibuku sedikit berteriak di telinga Eyang Sugih.
"Hiya, ya, udah perawan ya?" jawab Eyang Sugih, sorot mata redupnya menatapku. Aku hanya tersenyum sebelum beralih ke ruang tengah, di mana Mbah Sumi tengah santai menerima tamu tahunan. Ya, seperti kami yang datang berkunjung hanya saat lebaran seperti ini.
Aku duduk di seberang meja kayu panjang berisi kue-kue lebaran tradisional dalam toples bening jadul. Mulai dari kripik pisang, kue satu, sagon hingga toples Khong Guan, yang kuyakin isinya bukanlah biskuit seperti yang tampak dari luar.
Aku tersenyum sesekali menanggapi cerita Eyang Sumi tentang Eyang Sugih. Ia tampak sumringah menceritakan tentang suaminya itu. Hingga ceritanya berakhir saat aku dan ibu pamit undur diri.
"Iya, bersyukur Mbah Sumi mau dinikahi, jadi Eyang Sugih ada yang ngurus, udah gitu ia bisa nyari duit sendiri dengan ngewarung," ucap Ibu, begitu kami sampai di tepi jalan, depan rumah Eyang Sugih.
Ya, Eyang Sumi dulu adalah istri Eyang Sugih yang pertama. Namun, sempat ditinggalkan karena Eyang Sugih menikah lagi dengan Eyang War. Namun pada akhirnya Eyang Sugih kembali pada Eyang Sumi di masa tuanya. Mungkin hingga ia tutup usia, mengingat kondisi Eyang Sugih saat ini.
Bekasi, 17 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H