Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rusmini Nama Gadis Itu

8 Mei 2020   10:44 Diperbarui: 19 Januari 2021   20:39 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
neurosciencenews.com

Sepeninggal Eyang Putri, Ringkel hidup hanya dengan Kakek dan bibinya. Bibinya yang baru pulang menjadi TKI diluar negeri memperlakukan Ringkel lebih manusiawi. Ringkel diperlakukan sebagaimana mestinya, meskipun sedikit terlambat, setidaknya Ringkel mengerti apa arti kasih sayang. Perlahan Ringkel bisa memahami arti emosi.

Ringkel akan tertawa, menampakan barisan giginya saat sedang bahagia, menangis saat ia sedang sedih. Namun malang bibinya pun meninggal karena jantung saat Ringkel berusia lima belas tahun.

Lebaran tahun 2018 lalu Ringkel berusia dua puluh tahun. Seperti kebanyakan orang pada umumnya ia pun memakai baju baru dan bermaaaf-maafan dengan warga.

Seperti biasa, ia duduk di depan rumah mewah kakeknya. Ia akan bangkit saat ada tamu bertandang, dan menyalami orang yang datang. Kemudian ia duduk kembali setelah mempersilahkan tamu untuk masuk.

Ya, sudah menjadi tradisi di kampung ini saat lebaran, seluruh warga tumpah ruah di jalan kemudian saling bertandang dari rumah ke rumah. Rumah orang yang lebih tua itulah prioritas utama.

Melihat tingkah Ringkel, bagiku itu sesuatu yang unik dan lucu. Inilah pertama kalinya aku mengenal Ringkel.

"Siapa gadis itu?" tanyaku.

"Gadis itu bernama Rusmini," jawab pamanku.

Ya jangan tanya kenapa aku tak mengenalnya, aku bukanlah warga asli kampung ini. Aku hanya sedang bersilahturahmi ke rumah paman.

Entah apa yang sedang merasukiku, aku begitu penasaran mengenai kehidupan Rusmini. Tak sulit mengetahui siapa gadis itu, karena dengan senang hati pamanku yang notabene tetangga Eyang Sugih, menceritakan semuanya tanpa sisa.

Rasa kasihan begitu dalam menghujam. Atas dasar rasa empati aku ingin sedikit saja memberikan kehidupan normal untuk Rusmini. Alasan itu juga yang membuatku berani mengambil keputusan untuk melamar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun