Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Book

Menakik Teka-Teki Wahhabi

12 Oktober 2022   19:36 Diperbarui: 12 Oktober 2022   19:45 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam beribadah, dan meyakini bahwa Allah itu sesembahan yang benar dan tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya, juga seluruh jenis peribadatan harus diikhlaskan untuk Allah, dan segala jenis peribadatan itu harus dinafikan dari selain Allah."

—Muhammad bin Abdul Wahhab

Ideologi Wahhabisme yang dinisbatkan kepada pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab memiliki andil yang cukup besar dalam praktik keislaman oleh beberapa ormas di Indonesia. Kelompok yang terpengaruh gagasan ini gencar melakukan ekspansi demi mengkampanyekan ide-ide Wahhabisme secara masif, terstruktur, dan sistematis—melalui pemanfaatan internet maupun media cetak berupa buku hingga majalah. Dengan misi mulianya mengembalikan Islam yang bersistem kepada Al-Qur'an dan Sunnah, bukankah sudah cukup layak jadi 'sesuatu' yang bisa kita, umat muslim, untuk mempelajari dari ceruk hingga cangkang pengetahuan dan ajarannya?

Hadir di tengah pandemi Covid-19, buku setebal 834 halaman ini turut memperkuat slogan baru tanah air: di rumah aja—baca buku! Menariknya, buku ini membawa konteks yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan di ranah publik, Sejarah Lengkap Wahhabi; Perjalanan Panjang Sejarah, Doktrin, Amaliah, dan Pergulatannya (Maret, 2020) cukup membangkitkan selera 'makan' kita sebagai umat Islam—mengingat timbulnya pro dan kontra terhadap ideologi yang muncul sejak permulaan abad ke-19 ini. Pergulatan pemikiran hingga pertumpahan darah menjadi saksi bisu betapa ideologi Wahhabisme cukup mengguncang khasanah Islam di Arab Saudi saat itu. Hingga ke berbagai negara di dunia turut menulis kritik dan pembelaan terhadapnya.

Sebagai contoh, buku ini berbeda dengan Menolak Wahhabi karya KH. Muhammad Faqih Maskumambang menerjemahkan kitab An-Nushush Al-Islamiyyah Fi Radd Al-Wahhabiyyah, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi oleh Syaikh Idahram, Bersikap Adil Kepada Wahabi karya A.M. Waskito. Secara kasat mata, buku ini tampil dengan judul maupun sampul putih yang mengesampingkan justifikasi atas ajaran-ajaran Wahhabi. Sejarah Lengkap Wahhabi—buku ini memberikan celah pembaca untuk tidak terburu-buru menyimpulkan makna Wahhabi yang termaktub di dalamnya.

Dalam pengantar, KH. Chasan Abdullah selaku Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta telah menyebutkan sekilas perihal ketegangan kultural yang terjadi disebabkan metode dakwah kaum Wahhabi yang cenderung mengkafirkan dan menuduh bid'ah-sesat antar sesama muslim ketika tidak berpedoman hanya pada Quran dan Sunnah. Sampai di sini, kita dapat membaca alur pikir 'NUsantaraisme' versus Wahhabisme yang keduanya mengklaim diri sebagai Ahlussunnah wal Jama'ah. Mungkinkah terjadi talibanisasi di antara keduanya?

Penulis "Sejarah Lengkap Wahhabi", Nur Khalik Ridwan, diketahui sebagai seorang aktivis PMII serta berkiprah mendirikan Jama'ah NU Yogyakarta—sejak kecil menempuh pendidikan agama di langgar dan pesantren, dalam beberapa pembahasan menunjukkan penolakan terhadap konsep Muhammad bin Abdul Wahhab yang tidak memberikan ruang atas adanya perbedaan pemahaman di kalangan kaum muslim. Dan, kita akan segera tahu, dalam praktiknya, NU tampak sangat berseberangan dengan gagasan Wahhabisme ini.

Silakan buka halaman 134, tepatnya pada dua paragraf terakhir. Di sana, penulis menanggapi pandangan Wahhabi tentang istighasah dan isti'adzah—yang menurut Muhammad bin Abdul Wahhab adalah syirik dengan retorika yang menggebu.

"Muhammad bin Abdul Wahhab memandang orang yang memohon kepada selain Allah mutlak syirik, karena permohonan ini dianggap ibadah. Kalau demikian, lalu bagaimana orang yang pergi ke dokter dan meminta dokter untuk mendiagnosis dan memberikan obat yang bisa menyembuhkan? Bagaimana juga kalau orang meminta kepada penguasa untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat?"

Bukan hanya itu, penolakan secara total oleh Wahhabi terhadap sufisme menjadi gerakan yang tidak memanfaatkan aspek olah rohani sebagai jalan dakwah, karena jalan dakwah mereka ialah melalui pedang dan kekuasaan. Sekali lagi, jalan dakwah mereka ialah melalui pedang dan kekuasaan.

Nur Khalik Ridwan punya cukup upaya yang adil dan hati-hati dalam melahirkan sebuah buku berjudul Sejarah Lengkap. Setidaknya bisa kita nikmati keseriusannya dalam upaya menampilkan rujukan dari para pengkritik maupun pembela Wahhabisme secara rinci. Artinya, Nur Khalik Ridwan sedang menjabarkan sekian banyak data dan fakta tentang Wahhabi—diikuti argumentasi dan pertanyaan teliti sebagai bahan pertimbangan—bagi sidang pembaca. Hal ini baik, dengan maksud memberi ruang bagi pembaca untuk mengembangkan secara kritis gagasan-gagasan yang disajikan.

Sebagai pembaca, saya sempat merasa jemu ketika penulis mengutip pernyataan Hamid Algar yang diulang-ulang tentang ketipisan kitab Muhammad bin Abdul Wahhab hingga dikatakan menyerupai catatan seorang pelajar. Apakah benar begitu?

Nah, di halaman 61, 62, 65, 82, dan 86 dapat kita jumpai pernyataan serupa terkait karya Muhammad bin Abdul Wahhab yang sangat tipis, baik dari segi isi maupun ukurannya. Namun pengulangan inilah yang menunjukkan penegasan bahwa kitab tersebut amat disayangkan apabila dijadikan sumber suci atau kitab induk oleh kalangan Salafi-Wahhabi saat ini dan penerusnya di Arab Saudi. Raji al-Faruqi pun sebagai promotor ideologi Wahhabisme mengakui ketipisan kitab Muhammad bin Abdul Wahhab.

Di sisi lain, saya mengagumi cara penulis yang turut andil dalam memberikan argumennya menanggapi selisih paham dan bantahan Wahhabi soal bertemunya Hempher (guru Muhammad bin Abdul Wahhab) dengan pendiri Wahhabi, misalnya. Penulis mengemukakan poin, menunjukkan secara jelas redaksi, hingga menarik kesimpulan seperti dalam paragraf: "Jadi, kalau disepakati bahwa pertemuan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Hemper terjadi pada 1125 H, dan dengan menyebutkan tahun kelahiran Muhammad bin Abdul Wahhab ialah tahun 1111 H (bukan 1115 H), maka mereka bertemu pada 1125 H, tatkala umur Muhammad bin Abdul Wahhab sekitar empar belas tahun. Artinya, ada selisih empat tahun dengan umur yang dikemukakan para pembantah dari Wahhabi..." (hal 281).

Meskipun demikian, saya masih menemukan istilah "di bagian lain" sebagaimana terdapat di halaman 40 dan 135 tanpa penjelasan secara tekstual "bagian" yang dimaksudkan. Di samping agak mempersulit pemahaman pembaca, sikap penulis bagi saya membawa dampak positif agar pembaca bukan hanya menerima bahan bacaan secara instan, tetapi diperlukan telaah lebih lanjut melalui redaksi dari berbagai sumber untuk menanamkan kepekaan dan pola pikir kritis terhadap informasi yang diterima.

Mengutip satu ungkapan Muhammad bin Abdul Wahhab (hal 124 ada pun di hal 495), "Aku tidak menyeru kepada mazhab sufi, mahzab ahli fiqh, ahli kalam, atau imam dari para imam yang mereka ini sangat dimuliakan, seperti Ibnu al-Qayyim, Adz-Dzahabi, an Ibnu Katsir. Sebaliknya, aku hanya menyeru agar orang berpaling hanya kepada Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku menyeru kepada sunnah Rasulullah...." Walaupun ditegaskan berulang dan berbeda konteks, penulis tidak menyertakan teks Arab. Meski yang telah dijelaskan dalam pengantar edisi revisi (agar tidak semakin tebal), beberapa pembahasan perlu disertai rujukan berbahasa Arab, seperti pada halaman 494 mengutip Khairudin az-Zirkili dalam Al-Wajiz fi Sirah al-Malik 'Abdul 'Aziz tentang penghormatan Wahhabiyin terhadap imam mazhab dan penolakan Wahhabi sebagai madzab baru. Hal ini tentu penting, khususnya, jika yang kita bicarakan adalah pembahasan tema urgent—yang dibutuhkan untuk memperkuat validitas data.

Terakhir, buku ini disusun cukup 'serius' dengan melibatkan pustaka 164 media cetak berupa kitab-kitab dan buku-buku, 4 majalah, bahkan dilengkapi 77 situs daring dari berbagai bahasa yang jika Anda ikuti salah satu situsnya, yakni Salafi Tobat, Anda mungkin akan tercengang ketika membaca sebuah header 'pertaubatan' yang menegasikan Wahhabi sebagai satu 'madzab' sesat alias tak layat diikuti.

Wallahu a'lam.

*Resensi ini telah masuk nominasi naskah terbaik Lomba Resensi Sejarah Wahhabi oleh Islami.co pada 30 Juli 2020.

Informasi Buku:

Judul: Sejarah Lengkap Wahhabi; Perjalanan Panjang Sejarah, Doktrin, Amaliah, dan Pergulatannya

Penulis: Nur Khalik Ridwan

Penerbit: IRCiSoD

Edisi: Maret, 2020

Tebal: 834 halaman

ISBN: 978-623-7378-36-5

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun