"Yang tidak akan membahayakan hidupku barangkali adalah mencintaimu dan mencintai buku. Buku memiliki banyak halaman untuk bercerita, kamu memiliki banyak hal aman untuk bercita-cita."
—Alfin Rizal, hlm 247
Ketika menulis catatan ini, Born to Die—Lana Del Rey masih mengalun. Saya berhasil membaca JdMNdH untuk kedua kalinya. Pertama, di hadapan orang yang saya cintai dan entah mengapa saya merasa sangat bersyukur usai membacanya sembari mengumpat dalam hati, "Aihhh, mataku menyaksikan dua keajaiban hari ini!". Dan kedua, di hadapan "Lelaku"—kumpulan cerpen Alfin Rizal terbitan tahun 2016 yang baru saya baca pada permulaan Maret 2017. Saya buka ulang dan tak dapat dipungkiri bahwa setiap buku membawa kenangannya masing-masing.
"Buku, memang selalu menjadi rumah lain bagi kenanganku bersama seseorang"—seketika dihajar haru ketika membaca kalimat ini sebelum membalikkan halaman berikutnya dan saya temui pernyataan, "Cinta itu pada akhirnya memang akan jadi alasan bagi manusia sepertiku untuk menentukan satu pilihan penting dalam hidup: berusaha melanjutkan atau menghentikannya. Merawat atau membunuhnya."—Dan terima kasih atas keputusan untuk masih memilih yang pertama.
Dua buku bersampul ciamik yang didesain oleh sekaligus penulis, terkesan memberi 'nyawa ganda' sebab sampul—bagi saya—berperan mengantarkan cerita sebelum membuka lembar pertama: buat kamu: yang nekat dalam mencintai.
Alfin selalu mampu berinteraksi dengan pembacanya semisal melalui selembar surat yang diselipkan di tengah-tengah buku, atau seperti dalam sehujan puisinya "Mengunjungi Hujan yang Berteduh di Matamu". Pada halaman penutup, ia membius pembaca untuk melanjutkan sajaknya dengan ajakan yang manis: "Tidak harus sekarang. Barangkali kau mesti menunggu hujan turun—karena ini tentang kita dan hujan—atau... Kapan saja kau ingin. Tulis saja!" Surat kita, barangkali meminang hal yang sama, "Suatu hari, kabari aku kalau kau punya kesempatan menerbitkan ceritamu." Sebagai pembaca, saya suka cara penulis menyapa pembacanya disamping menghidupkan motivasi menulis kian membara.
***
Ungkapan seseorang yang pernah kudengar barangkali benar, hidup adalah lentera dan sumbunya adalah cinta. "Jauh di Mata Nekat di Hati" adalah upaya Alfin Rizal menyalakan cinta. Terbukti, tiga bab pertama dikisahkan tentang bagaimana cinta bekerja: "Ketika aku merasakan cinta, tidak ada perasaan yang kubanggakan selain bagaimana aku mampu menampung segala yang ada di muka bumi"—meski di hadapan kenangan, "Aku merasa banyak kehilangan meski tidak tahu pasti apa yang sebenarnya kumiliki."
Imbuhnya lagi, "Cinta telah benar-benar menggerakkan segala hal dalam diriku. Segalanya. Yang semula anteng, diam, bahkan nyaris mati terbunuh waktu, kini telah berubah. Bergejolak. Bahkan aku bisa memastikan tak ada satu sel pun dalam diriku yang mati. Semuanya bekerja aktif" (hlm 101). Cukup memberi simpul "nekat di hati" sebagai sebuah keberanian mencintai—meski pada kenyataannya, cinta kerap kali menyuguhkan cerita yang terkadang sulit kita terima.
Dan yang kita butuhkan adalah betah dalam segala; termasuk cinta. Masih menyoal cinta—mendapati bait cinta Sitok Srengege menghuni halaman 19 buku ini, justru mengingatkan saya dengan Syair Cinta-nya Jalaluddin Rumi:
Akan kusampaikan kepadamu bagaimana Allah menciptakan manusia/ Dia mengembuskan ke tanah asal kejadiannya napas-napas cinta/ Kusampaikan kepadamu mengapa planet beredar pada garis edarnya/ Itu karena singgasana-Nya diliputi pancaran cinta/ Kusampaikan kepadamu mengapa angin pagi berembus segar/ Itu karena ia ingin bangun mengecup kembang-kembang cinta/ Kusampaikan padamu mengapa malam terangkai/ kegelapannya karena ia mengajak kita berdoa/ di pembaringan cinta/ Kujelaskan padamu semua teka teki wujud/ Jawaban setiap teka teki tak lain kecuali cinta.
Menceritakan sosok "aku" yang lekat dengan potret Alfin Rizal tentang pengembaraannya mengenal Jogja, menarik praduga pembaca terhadap Si Penulis—yang kebetulan tinggal di kota yang sama. Uniknya, Alfin selalu memiliki 'jadwal'-nya sendiri untuk menyamar atau berterus terang perihal dirinya: "Ketika aku menulis ini, aku hanya ingin membiarkan pikiranku menyusuri tiap kelok sudut kenangan semampuku". Dan Jogja, barangkali, adalah salah satu simbolnya.
Sosok Edoy—teman barunya yang karib itu terasa lebih 'dekat' dibanding jarak tempuh Jogja ke kampung halamannya. Lebih lincah daripada ketika menggambarkan pernyair Makassar berkacamata, kafe dengan pisang goreng gratis yang berlaku setiap hari, atau kemungkinan lain tentang Iwan yang sebagian darinya adalah dirinya sendiri. Lewat perantara Mas Eko—penyair dari ibu kota itu cukup mengambil peran sebagai kawan laiknya Iwan. Meski saya mengantongi keyakinan yang sama dengan penulis, aku tak pernah tahu apakah ia sedang berbohong atau mengatakan kebenaran.
Membuka bab 15 hingga sepeninggal ibu seolah mengunjungi ingatan perihal "Kesengsem" yang memuat sajak Tangisan Selatan Yogyakarta, bahwa kembalinya aku pada rumah/ tak sedikitpun kubawa bingkisan kata menyerah. Ibu, selalu menjadi jawaban ketika seseorang bertanya, Siapa rumahmu? Saya rasa, penulis sepakat saat jemarinya menulis, "...pintu ibu nyaris tak pernah ditutup untukku."
Seperti sebuah rumah yang menampung banyak ruang, Alfin Rizal berniat memperkenalkan satu per satu ruang yang ia miliki. Tentu kita tahu, untuk mengenal satu ruang, banyak kata-kata berhamburan ketika megupas habis kursi, lantai, meja, serta dekorasi hingga hiasan dindingnya. Sekali lagi, aku pandangi seisi ruangan. Berbaris-baris muka menahan duka, terkutuk jadi kepala yang menunduk.
Kembali kepada arus cerita—kehadiran Lira di masa lalu telah usai, mengantarkan cintanya kepada cinta yang baru bersama Tania. Sama halnya ketika tiba-tiba sosok ibu hadir bersama peristiwa masa lalunya didampingi suami terkasih, memiliki calon bayi, hingga kecelakaan nahas merenggut nyawanya—umpama halaman belakang rumah. Hanya ada jemuran dengan pakaian menggantung menunggu kering ketika disandingkan dengan inti kisah saat penantian panjang dengan seseorang yang dicintainya: Tania.
Menyoal ruang tamu, obrolan tentang halaman belakang rumah menjadi minim perhatian. Namun akan menarik ketika ruang tamu sengaja dipindahkan ke halaman belakang rumah. Ini bukan perkara muskil seperti kemunculan Gita yang terkesan mendadak membuat kedekatannya dengan tokoh utama seakan hilang rasa. Tak disangka, Gita pun membawa berita kurang menyenangkan tentang Tania—yang menurut sepengetahuan pembaca keduanya belum saling mengenal—sehingga saya sepakat bila kenangan ibarat ombak, cerita-cerita dalam novel ini adalah suara deburnya.
***
Pada akhirnya, saya merasa banyak hal yang masih ingin disampaikan Alfin melalui buku ini usai melahap perlahan bagian demi bagian. Rasanya seperti memakan kue tar dengan topping beraneka rasa. Pun, tiap pembaca saya rasa mampu mengenali scene favoritnya masing-masing dengan jerit legit, "Duh, ini aku banget!" Toh bila tidak, saya menanam keyakinan untuk tetap menikmati novelnya yang puisi ini. Uhuy!
Sampai di lembar paling khidmat, halaman 246—saya seperti diajak berkunjung ke sebuah pameran lukis Tugas Akhir-nya (penulis) di penghujung Juli lalu. Menduga-duga lukisan Tanpa Celana yang dialihwahanakan menjadi figur lelaki 'tampan' itu adalah potret asli tokoh utama—yang bagian lain tubuhnya terpampang manis sebagai sampul. Sampai di bab terakhir, hanya ada bayangan lelaki berpakaian serba putih—'biru'-nya termangu usai menulis surat untuk kekasihnya. Kemudian bersabda, "Kini aku hanya ingin membiarkan cintaku pergi dengan bahagia sebagaimana dulu aku membiarkan cintaku datang dengan bahagia."
Malam baru saja menyerahkan mimpi. Pagi tak merebut apa-apa. Kita pun tak perlu meributkan apa-apa. Ya, tak ada yang mesti diributkan, memang. Hanya boleh ada senyuman mengembang di pipi saat membaca lagi novel ini. Dan sisanya kebahagiaan.
Setelahnya, seperti usai baca puisi di panggung kehormatan dengan punggung menunduk ke depan, saya mengapresiasi penuh lahirnya Jauh di Mata Nekat di Hati sambil menaruh harapan-harapan baik. Apresiasi teruntuk kenekatan Alfin Rizal dalam berkarya, pun dalam lelakon mencintai apa-apa yang telah dianugerahkan Tuhan untuknya.
Terima kasih telah lahir di Bumi. Terima kasih telah menulis buku ini.
Sragen, Agustus 2020.
—Mutia Senja
Identitas Buku:
Judul buku: Jauh di Mata Nekat di Hati
Penulis: Alfin Rizal
Penerbit: Gradien Mediatama
Tahun terbit: Agustus 2020
Tebal: 268 halaman
ISBN: 978-602-208-187-6
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H