Resensi ini telah dimuat oleh ideide.id pada 29 Januari 2019.
"Bu, maafkan Nur. Kumohon, maafkan Nur. Hari ini Nur umur dua puluh delapan, tapi Nur nggak bisa menikah sekarang," ujar Nursri dengan bibir bergetar sambil memeluk ibunya (hal. 90). Nursri; tokoh utama dalam cerpen Amanatia yang dijadikan judul buku ini; Waktu untuk Tidak Menikah---menjadi menarik di mata para pembaca. Khususnya di kalangan kaum muda yang dilema dengan pertanyaan: kapan nikah?
Berharap mendapatkan semacam solusi dari kebimbangan "untuk tidak menikah" mendadak terbesit ketika: mendapati pengalaman orang-orang yang justru kesulitan menghadapi rumah tangga, penghasilan yang belum dikatakan cukup untuk membangun sebuah keluarga, status jomlo yang memunculkan kebingungan akan menikah dengan siapa, atau persoalan hati karena gagal move on dengan mantan---sedangkan mantan lebih dulu berumah tangga dengan orang lain dan tidak mungkin membujuk untuk diajak balikan. Semoga Tuhan memberkati kalian!
Seluk beluk percintaan yang "rumit" dikumpulkan Amanatia dalam empat belas judul cerpennya yang dirangkum dalam blurb buku ini: di belahan bumi lain, ada yang tersungkur patah hati ditinggal kekasih. Ada yang kehilangan banyak hal dalam waktu yang berdekatan. Ada yang memilih hidup sendirian bersama dua kucing liar. Ada yang tiba-tiba ingin menghubungi mantan kekasihnya. Ada yang mencintai diam-diam dan berakhir ditolak mentah-mentah. Ada yang tak siap berpisah, sekali pun sudah menabung kesiapan itu jauh-jauh hari. Ada yang selalu mencintai tapi tak pernah bisa menerima, hingga persoalan ada yang menikah, lalu ingin berpisah.
Pada Jarak yang Memisahkan Kami---pun, saling mencintai benar-benar tidak sederhana, kau percaya? (hal. 100). Justru permasalahan hubungan jarak jauh (long distance relationship), rentang usia terlampaui jauh, juga gelar dan status sosial tidak mungkin sesederhana saling mencintai lalu ingin menghidupi. Itu sebabnya, penulis kelahiran Malang ini menuliskan: kadang-kadang, memang selalu ada waktu untuk tidak berkasih. Untuk tidak bercinta, untuk tidak menikah. Lagi pula, kisah cinta yang melulu indah itu kata siapa?
Pernyataan tersebut membuat Amanatia menciptakan tokoh seorang mahasiswi dengan pembicara seminar super sibuk di bagian 8: tak ada dari kami berdua yang menyangka bahwa pada akhirnya kami saling jatuh cinta dan memiliki hubungan yang sulit didefinisikan. Di usiaku yang berjarak sembilan tahun lebih muda darinya, aku benar-benar tak habis pikir mengapa ia bisa jatuh cinta padaku (hal. 96). Pada akhirnya, tokoh si perempuan dalam cerita ini mengungkapkan kegelisahannya: belum 24 jam ditinggalkan, sudah menangis lagi. Aku hanya menatap layar dan tak menyentuhnya. Berharap ia membalas dan mengabarkan bahwa ia baik-baik saja di sana, tapi ia tak membalas. Mungkin sibuk. Mungkin pula enggan (hal.102).
 Lebih menyesakkan lagi, ketika disuguhkan ceritanya bertajuk Baru Menjadi Ibu---sebagai pemilik rahim, perempuanlah yang pada akhirnya menanggung kepuasaan birahi (entah dari salah satu atau kedua belah pihak). Maka tak heran jika W. Sanavero menuliskan kegelisahannya dalam Perempuan yang Memesan Takdir. Prosa yang menyingkap sisi lain perempuan perihal mamaknai cinta, kenangan, keluarga, budaya, pernikahan, bahkan hubungan manusia dengan Tuhan---meskipun cara pandang perempuan tetaplah berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Berbeda kisah dengan pemikiran laki-laki. Saya teringat Kisah Sedih Kontemporer (IX)Â masih dalam Kumcer Bakat Menggonggong, Dea Anugrah menyiratkan kesedihan perihal cinta yang "lucu" sehingga patut ditertawakan dengan "gonggongan" atau umpatan kecil saat Shalani Nafasha setelah dua tahun mengirimkan pesan tersirat bahwa ia telah memiliki momongan kepada Fredrik---pria yang mengaguminya. Berbeda konteks dengan Kurniawan Gunadi perihal cinta diam-diam kepada seseorang yang ia cintai hingga dituliskannya dalam sekumpulan cerita Lautan Langit. Baginya, menikahi dan mengarungi lautan kehidupan bersama adalah solusi tepat untuk mengimplementasikan rasa cinta.
Lalu apa yang terlintas ketika membaca judul buku ini? Apakah dengan meghindari kerumitan tersebut kita hanya mampu memilih untuk tidak menikah? Lalu dengan memilih untuk tidak menikah kita akan terepas dari belenggu masalah? Lalu bagaimana menjalani kehidupan sebagaimana Nursri, menjelang hari pernikahannya yang tinggal beberapa jam harus dihadapkan dengan persoalan yang membuat pikirannya kacau. Perempuan itu, akhirnya memilih hidup dengan anak semata wayangnya di Timalayah tanpa harus menikah. Kini baginya, tidak ada yang lebih penting dari mengurus anak satu-satunya---tanpa perlu lagi menghadirkan sosok lelaki dalam kehidupannya.
Membaca buku Amanatia Junda, saya mengimani bahwa yang terjadi di masyarakat perihal cinta, rumah tangga, atau hubungan sosial tidak semudah menikmati cerita di negeri dongeng. Di Lantai Tiga Beringharjo, misalnya. Kita akan mendapati penulis dengan cerdik menceritakan beragam karakter yang barangkali kita temui di kehidupan para pedagang. Menceritakan seorang janda yang memilih tinggal sendiri setelah ditinggal pergi suaminya ke luar negeri. Kisah perempuan yang sarat dengan kesedihan---seumpama baginya, hidup dengan hewan peliharaan lebih menyenangkan dibandingkan menjalani hidup yang baru bersama pasangan baru, pun dengan persoalan yang baru pula.
Tidak hanya itu, penulis mengikhtiarkan pemahamannya bahwa laki-laki harus paham seluk-beluk perempuan. Maka dengan tegas pun lugas, pengarang menciptakan sebuah cerita Perkara di Kedai Serba-Serbi. Tidak tanggung-tanggung, Amanatia menuliskan secara gamblang lewat sosok Dina; perempuan yang terpaksa menceritakan kesialan di hadapan kekasihnya. Bagi saya, ini merupakan bagian rumit bagi perempuan untuk menunjukkan apa yang seharusnya disembunyikan. Tapi seketika saya sepakat bahwa tidak ada yang salah dengan ilmu pengetahuan. Maka, sah-sah saja.