Resensi ini telah masuk nominasi 15 besar dalam Lomba Resensi Buku Kategori Umum, yang diadakan oleh Arsip dan Perpustakaan Kota Surakarta tahun 2016.
"Agama adalah mata airnya optimisme dan harapan. Sudah berulang kali saya katakan bahwa jika ada satu ayat saja dalam al-Quran yang mengajarkan manusia akan pesimisme, tentu saya adalah orang yang pertama kali akan pesimis. Nyatanya agama memang harus menjadi pembuka arus besar optimisme."
Semacam kritik diri (self-critique) seakan menjadi dampak yang kita rasakan setelah melahap habis buku ini. Mungkin sama halnya yang dirasakan Ahmad Syafi'i Ma'arif saat menulis prolog mengenai buku Agama dan Moral Politik ini. Kita akan dibawa dalam alur pikir yang mengajak untuk "melepas kejenuhan". Membawa kepada sebentuk praksis penyadaran, pembebasan, dan perlawanan agar tercapainya moralitas dalam pola hubungan manusia dengan alam, tepatnya hubungan antara dunia manusia (human world) dan dunia alam (non-human world) yang dibangun secara dikotomis.
Subhan Setowara dan Soimin, kedua penulis buku Agama dan Moral Politik hingga saat ini berprofesi sebagai dosen. Jika diamati dari profil penulis, keduanya merupakan aktifis Muhammadiyah yang memiliki harapan terwujudnya masyarakat bermuatan moral-spiritual demi pencerahan peradaban. Terbukti dari pemaparannya yang mengarah kepada praktik penyadaran karakter massa yang diungkapkan secara open minded.
Bukan sekedar gambar. Ilustrasi sampul buku ini rupanya ingin menggambarkan keadaan manusia yang jauh dari rasa nyaman. Seakan kebingungan dan kemiskinan yang nampak. Sebab agama bukan lagi menjadi falsafah hidup untuk memperkaya rohani. Sehingga pembahasan buku ini diawali dengan fenomena kemiskinan untuk menunjukkan aksi perlawanan.
Kemiskinan yang dimaksud dalam buku ini bukan saja berarti defisit ekonomi atau kondisi termarjinalkan. Orang-orang yang mapan secara materi serta memiliki kebebasan penuh dalam menentukan jalan hidupnya, bisa jadi miskin secara rohani. Ketika terjadi proses pemiskinan, penindasan, pembunuhan, pemarjinalan, yang sebenarnya terjadi adalah pemiskinan manusia atas manusia, penindasan manusia atas manusia, pembunuhan manusia atas manusia, dan seterusnya. Maka para penindas itu adalah orang-orang yang kaya secara materi namun miskin secara rohani, hampa secara spiritual (hal 8).
Sehingga penyebab utama krisis kemanusiaan adalah konsepsi teisme tradisional yang menganggap Tuhan berada di atas langit. Jauh dari kehidupan dan sejarah umat manusia. Tuhan, dalam konsepsi itu, dianggap sebagai: God out there atau outsider God. Sebab jika mereka menganggap Tuhan berada di dekat manusia dan menjadi penolong bagi mereka, mengapa manusia justru tega membunuh sesamanya? (hal 37). Penulis menegaskan, agama mungkin hanya akan tampak anggun di atas langit. Dan tatkala ajarannya itu turun ke bumi, agama tak lagi memiliki vitalitas (hal 67). Agama tidak lagi menjadi instrument Ilahiyah untuk menghayati kehadiran Tuhan (omnipresence of God) dalam diri kita. Agama hanya bisa merambah pada aktvitas-aktivitas simbolik serta formalisme agama yang tidak mengena pada titik substansi. Tentu saja, itu berarti bahwa nilai-nilai normativitas agama mulai tercabut dari akarnya (hal 66).
Krisis kemanusian yang terjadi di muka bumi ini disebutkan oleh penulis, selalu bermula dari pembusukan moralitas personal yang dilakukan oleh seorang manusia. Sehingga ketika moral individu tidak berjalan sebagaimana mestinya, bagaimana dengan keadaan moral publik? Sedangkan publik pun dibangun dari sekumpulan individu. Maka fenomena inilah yang menjadi tugas kaum agamawan sebagai pemegang tombak untuk mengadakan perbaikan moral. Namun realitanya, pemegang tombak ini justru disibukkan dengan pentasnya di panggung perpolitikan.
Dengan percaya diri penulis menuliskan kritik tentang gerakan politik rakyat dan kritik kekuasaan. Meskipun dalam bab 4 penulis nampak sungkan memaparkan pendapatnya, tapi pada akhirnya terungkaplah gagasan yang tertuang di bab 5 sebagai hasil penulis memandang fenomena politik bangsa kita. Sehingga pada bab 5 halaman 127-130 dibahas pula Membumikan Semangat Vox Populi Vox Dei yang berarti "Suara Rakyat Suara Tuhan". Setidaknya, itulah cara yang paling tepat dilakukan ketika penguasa tidak lagi peka terhadap kondisi rakyat yang semakin memprihatinkan. Selain untuk membebaskan rakyat dari realitas ketertindasan, hal itu sekaligus agar para pemimpin kita tidak masuk dalam jebakan kekuasaan (trap of power).
Uniknya, buku Agama dan Politik Moral ini mengambil solusi terkait permasalahan kemanusiaan dengan melibatkan kedua organisasi masyarakat (ormas) yang mendominasi di Indonesia. Di antaranya Nadhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai representasi gerakan kultural. Dengan harapan, keduanya mampu mengubah moral politik masyarakat yang damai demi terwujudnya kesejahteraan bersama.
Dalam bab 3, penulis menyampaikan pula tentang gerakan kultural dan godaan kekuasaan. Disebutkan bahwa NU dan Muhammadiyah yang dikenal paling "getol" melakukan gerakan kultural selalu tergoda untuk berpartisipasi dalam politik praktis. Di luar NU dan Muhammadiyah, memang masih terdapat organisasi lain yang juga concern dalam melakukan gerakan kultural, di mana mereka lebih peduli pada pembenahan kesejahteraan sosial (social welfare) masyarakat ketimbang ikut dalam politik praktis.