Saya tidak ingin berlebihan menggambarkan bagaimana kesunyian itu datang. Jika kesepian adalah kutukan yang panjang, justru saya bertanya perihal: di waktu yang mana sekarang kita berada?Â
Bukankah rumah tak benar-benar menemu fungsi sebagai rumah ketika segala perwujudan sepi itu menjema angin, udara, dan hawa dingin yang kerap kali mengantarkan kabar duka? Ia menyusup ke sela-sela dinding, pintu, dan jendela, serta menggeliat di tiap perabot rumah tangga. Ya, kutukan itu! Ruang sunyi itu: rumah.
Merasa ditarik lalu dilempar perlahan, saya hampir menjadi korban kecerdikan Candrika ketika menulis syairnya. Serupa manusia yang kehilangan raga, jiwanya berkelana.Â
Saya tak tahu pasti ia berjalan ke arah mana. Ia hanya ingin berjalan sendirian saja, tanpa kawan, apalagi lawan. Tapi tanpa kehendak, ia menarik seseorang datang kepadanya; tak sengaja---mengikuti langkah kaki ketika bayangan dirinya semakin jauh menari-nari di bawah lampu kota. Seketika dia merambah lorong sunyi yang tinggal sisa pekat malam yang sangat. Ia seperti mengulurkan tangan, mencoba menuntun berjalan, tapi tak sungguh-sungguh membawa(ku) pulang. Jadi, jangan tanya lagi kenapa rumahku kian sunyi.
Mengapa hujan? Mengapa selepasnya? malam itu kita terjebak di emperan toko yang sunyi selepas hujan berjatuhan dari celah awan/ Saya seperti dihantam kenangan. Mengingatkan saya perihal Manahan Selepas Hujan dengan latar yang hampir menyentuh kemiripan menjadi laksana gerbang menuju masa lalu. Meski saya tak yakin Candrika menuliskan ini dengan sengaja demi mengawali anak-anak aksaranya.Â
Semacam lelucon yang sedikitpun tak kuasa mengudang tawa. Tapi justru karena ketidaksengajaan ini, saya dibuat penasaran untuk melanjutkan perihal rupa sepi macam apa yang Candrika hadiahkan? Ya, jangan lupakan untuk siapa puisi-puisi ini ia persembahkan.
Sebagai manusia, Candrika memiliki kehendak untuk sekadar menaruh harapan tentang cita-cita: agar ketika aku telah sampai di gerbang surga/ engkau ada di sampingku untuk membukanya/ bersama-sama//Â (hlm 6).Â
Di pungkasan puisinya yang lain, ia menulis lagi keyakinannya yang ditujukan kepada seseorang: Daliansyah; tunggulah sebentar/ akan ada lembar-lembar/ yang mengimpun kabar/ bahwa duka hanya singgah sebentar//Â (hlm 19). Tapi seketika saya hampir meruntuhkan pondasi mimpi ketika Candrika menulis Kita Sepasang Jiwa: kita sepasang jiwa yang dicipta untuk menghuni ruang yang tak riang// kita disekap dalam kotak yang dipenuhi kutuk// kita terpenjara sebagai jiwa yang gamang dalam geming// kita dipaksa siap untuk tak pernah mampu memiliki mimpi// Tak pernah memiliki mimpi!
Kenapa Hidup Membelenggu Erat---pertanyaan tentang hidup kembali digaungkan ketika persoalan tak pernah menemu jawaban. Seandainya pengembara, ia tak pernah menghentikan langkah kaki dengan terus mencari titik denyut yang sejati perihal di mana letak nadi kehidupan ini. Sedangkan pada situasi yang lain, dirinya teringat bahwa segalanya fana.Â
Sembari mengembuskan napas sebelum ditariknya dalam-dalam, embun dari hidung semacam kehidupan lain yang sengaja dihidupkan sebentar untuk kemudian menghilang. Lalu pertanyaan serupa datang lagi agar menemukan alasan pergi. Akankah selamanya aku mesti menyerah pada yang entah/ untuk hidupku yang antah berantah dan 'kan musnah?//Â (hlm 17).
Saya benci ketika laju lagu puisi ini singgah di suatu tempat yang 'indah' tapi menipu. Mata dapat melihat, tapi hati memiliki indera penglihatan yang lebih tajam untuk menukikkan pandangan.Â
Tapi sialnya cukup Di Pelataran Batin saja dengan menghuni puncak puisinya: /ada hari-hari/ yang mesti kita lewati/ sebagai sepasang merpati/ yang saling memahami//Â meski di awal puisi ini berbicara tentang kita /kita sepasang muka/ kali pertama/--di sebuah ruang// mulutmu bicara/ tanpa suara/ :apa? Tak mampu kudengar/ tapi sedikit-banyak kusimak getar//Â (hlm 27). Baik, kita cukup menjadi pemimpi yang gagal membuat gambaran tentang hidup yang sejati. Kitalah malam yang menjelma siang, pagi menuju petang dan suatu waktu akan hilang tanpa penjelasan.
Dua kali lipat dari dua puluh delapan puisi Candrika yang mengisi satu tahun dengan anggun membuat saya bertanya panjang tentang hidup yang singkat. Seperti dongengan-dongengan yang kerap dibacakan orangtua kepada anaknya sebelum menjemput alam bawah sadar dan meneguk kesunyian, akankah selepas senja usai kita hanya sepasang yang berjalan sendirian menjadi aku dan kau kala kubur disemai?Â
Lalu bagaimana cara mempertanggungjawabkan semua bualan ketika gerimis yang gugur ke atap kanopi/ tempat kita berbagi banyak narasi/ acapkali mengaduh kesakitan/ dan sialnya/ hanya kau yang bisa mendengar//Â (hlm 54).Â
Bagaimana caraku mendengar jika menelisik bisik suara jiwaku sendiri aku tak lagi punya daya? Lalu sebelum 'kematianmu', kau berujar Dengan Wajahmu, Aku Berbuka. Bagaimana kau mengingat wajahku jika rindu tak lagi bekerja? Rupa wajahku di ambang waktu menuju penantian itu. Adakah cara lain mengungkapkan cinta?
Deru angin lalu bertamu di sebuah Hutan Berkabut. Puisi ini saya beri tanda bintang di sebelah sisi kanan judulnya. Terlihat lebih bercahaya meski tinta hitam dan benda langit itu menyiratkan pendar. Dan bila rambutmu basah oleh air ang terpercik dari ujung daun itu/ matamu kabur oleh kabut itu/ aku telah genap engkau hirup sebagai daya penyambung hidup//Â (hlm 59).Â
Ketika kuaminkan puisi ini, akulah Borealis yang menemukan kau menjelma hutan taiga. Bagaimana bisa? /ruang hatiku hutan taiga/ pohon-pohon paku/ rimbun mengaku-aku lumut dan grizzly terlelap mengibu// engkau telah mewujud kabut abadi/ yang senantiasa luput dari kesepian ini//Â (hlm 65). Jika hutan itu tahu, hutan menolak menjadi rumah dan memilih pasrah. Diksi-diksi akan membisu di kedalaman tanah yang tinggal akar-akarmu menjelma rumah baru.
Tak ada akhir meski berlembar-lembar puisi menyaksikan ujung tepat di halaman ganjil: tujuh puluh lima. Ada yang diam dan masih berjalan, ada yang tidur dan terbangun, ada yang perlahan menepi, dan ada pula yang tabah menanti sembari menunggu jawaban atas diri. Melebihi jumlah halaman, buku ini sesungguhnya berkali lipat lebih tebal dari apa yang nampak.Â
Di sebalik diksi yang tersurat, ada milyaran makna berhamburan dan menanti untuk dibaca. Candrika mungkin tidak menyadari ketika puisi-puisinya berjalan dan tertatih-tatih mencari ruang. Mereka datang dari kesunyian yang terus beranak pinak menumbuhkan kesepian baru, sebagaimana gema bunyi---bumi ini menjelma seumpama rumah yang tak lagi berpenguni.
Terima kasih telah menulis buku ini.
Judul buku         : Kenapa Rumahku Kian Sunyi
Penulis             : Candrika Adhiyasa
Penerbit            : Bangusastra
Tahun terbit       : Desember 2018
Tebal               : 75 halaman
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-602-484-226-5
Sragen, 13 Maret 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H