Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024, isu kepemimpinan perempuan semakin marak dan dijadikan sebagai 'gorengan' dalam kampanye. Terhitung sejak 25 September 2024 dalam kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah diwarnai dengan pernyataan-pernyataan bias gender yang mengarah pada misoginis.
Belum lama ini, calon wakil gubernur Banten, Dimyati Natakusumah, membuat pernyataan kontroversial pada debat perdana Pilkada Banten 2024 "Oleh karena itu, wanita itu jangan terlalu dikasih beban berat apalagi jadi gubernur. Itu berat lho, luar biasa, maka oleh sebab itu laki laki lah harus membantu memaksimalkan bagaimana banten ini maju", Dari pernyataan tersebut membuktikan bahwa masih terdapat pandangan yang menganggap perempuan kurang mampu untuk memimpin di posisi tertinggi dan memperkuat status quo patriarki.
Selain itu, pernyataan dari Suswono yang merupakan calon Wakil Gubernur (Cawagub) dari Ridwan Kamil menambah warna dalam pilkada 2024. Dalam salah satu kampanyenya, Suswono menyarankan agar janda kaya menikahi pemuda pengangguran seperti Siti Khadijah yang menikahi Nabi Muhammad SAW.
Ada juga baliho pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Sleman yang terindikasi misoginis. Baliho tersebut bertuliskan "Milih Iman (pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (pemimpin) Kudu Lanang".
Dalam artikel yang diterbitkan oleh BBC News Indonesia yang berjudul "Pilkada Aceh: perempuan dibilang 'haram'jadi pemimpin, syariat atau politik praktis?", menyatakan bahwa "Ketika jumlah kandidat perempuan secara nasional meningkat dalam pilkada 2024, calon kepala daerah perempuan di Aceh masih bejibaku melawan narasi bahwa "perempuan berbuat dosa kalau mencalonkan diri menjadi pemimpin" memperkuat pandangan bahwasannya dalam dunia politik dan kepemimpinan peran laki-laki dianggap normal, sedangkan peran perempuan dianggap keluar dari kodratnya"
Tidak bisa dipungkiri, dalam kancah  politik perempuan masih seringkali terpinggirkan meskipun mereka banyak berkontribusi untuk kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik. Padahal jika dilihat dari sudut pandang yang lebih objektif, banyak perempuan yang semakin bersinar, menunjukkan kemampuannya setara dengan laki-laki.
Teori Genderlect dan Stereotip Gender
Pernyataan-pernyataan kontroversial diatas dapat dianalisis melalui kacamata teori Genderlect yang dikemukakan oleh Deborah Tanen, Â seorang professor linguistik dari Amerika yang menjelaskan mengenai perbedaan gaya komunikasi antara laki-laki dan perempuan, serta mencerminkan persepsi sosial dan budaya tentang peran gender.
Para pasangan calon kepala daerah mungkin  berbicara dari sudut pandang report yang berorientasi pada status, perintah, dan argumentasi. Seperti pernyataan Dimyati Natakusumah, dalam konteks ini ia menilai perempuan tidak memiliki kemampuan yang mumpuni dalam kepemimpinan, di dasarkan pada beban kerja, tuntutan, dan tekakan yang sering dikaitkan dengan kualitas yang dianggap lebih pantas bagi laki-laki dalam struktur patriarki.
Berbanding terbalik dengan perempuan yang berkomunikasi dengan sudut pandang rapport, mereka mungkin akan menanggapi hal tersebut dengan berfokus pada aspek hubungan, empati, dan dampak emosional. Perempuan yang mendengar pernyataan tersebut mungkin merasa peran mereka direduksi ke dalam stereotip yang tidak mengakomodasi kapasitas individu tanpa mempertimbangkan kemampuan, kualitas, dan kualifikasi untuk menjalankan peran apa pun, termasuk menjadi kepala atau wakil kepala daerah.
Banyak masyarakat mengkritik keras pernyataan Dimyati, selain dianggap sebagai seksis dan diskriminatif juga karena pernyataan tersebut tidak sejalan dengan realita di keluarganya, dimana Irna Narulita yang merupakan istri dari Dimyati adalah seorang Bupati Kabupaten Pandeglang yang menjabat selama 2 periode.Â
Raden Dewi yang merupakan adik dari Dimyati juga menyalonkan diri sebagai Bupati Pandeglang pada pemilihan kepala daerah 2024.
Jika ditelaah lebih dalam, statement yang lontarkan oleh para pasangan calon kepala daerah yang mengarah pada bias gender  tidak hanya menyerang perempuan sebagai rival politiknya, tetapi secara tidak langsung juga menyudutkan semua perempuan.Â
Misalnya, Suswono yang mengatakan "janda kaya menikahi pemuda pengangguran", dalam konteks ini secara gamblang Suswono memberikan pelabelan terhadap perempuan yang berstatus janda dianggap berbeda dibandingkan dengan laki-laki yang berstatus duda.
Menyoroti dua kata 'janda kaya', membuktikan bias bahwa nilai seorang perempuan seringkali dikaitkan dengan status finansial, seolah-olah itu menjadi 'atribut'dalam menentukkan keputusan pernikahan.Â
Kemudian, pernyataan tersebut juga memojokkan pilihan  perempuan, dimana secara implisit menghakimi kebebasan perempuan untuk menentukkan pasangan hidup berdasarkan kiteria-kriteria yang telah mereka buat.
Tak Laku di Mata Gen Z
Melalui media sosial, generasi Z dan milenial yang merupakan mayoritas pemilih pada Pilkada 2024 mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap pernyataan kontroversial yang mengarah pada diskriminasi gender. Sebagai generasi yang sudah melek terhadap kesetaraan gender, mereka terus menyuarakan kritik keras terhadap kandidat yang dianggap melakukan misoginis.Â
Kritik yang diberikan oleh mereka menunjukkan bagaimana komunikasi publik dapat mempengaruhi opini masyarakat dan membentuk narasi tentang gender dalam politik.
Sangat mengerikan mengehatui bahwa banyak dari calon kandidat pilkada 2024 mengalami kemunduran dalam berpikir. Mengingat saat ini kita berada di tengah kemajuan teknologi dan informasi yang semakin pesat, dimana pada saat ini banyak dari masyarakat yang mengkampanyekan kesetaraan untuk menciptakan peran gender yang positif dan inklusif serta menghilangkan stigma stigma lama.Â
Rasanya memalukan menyaksikan fenomena para calon petinggi negara masih memiliki pola pikir patriarki dan sikap diskriminatif  yang masih mengakar kuat.
Dewasa ini, generasi Z dan milenial tidak lagi tertarik dengan budaya patriarki atau narasi-narasi yang menyatakan ketidakmampuan perempuan atau stereotip tradisional lainnya. Menurut data laporan Ipsos, sebanyak 45% generasi Z dan 44% generasi milenial lebih cenderung mengidentifikasi diri mereka sebagai feminis.
 Generasi Z dan milenial menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap isu-isu soisal dan percaya bahwa kesetaraan gender dapat dicapai dalam kehidupan mereka. Jadi bukan masanya lagi untuk membawa isu 'ketidakmampuan' perempuan dalam kampanye yang justru akan menimbulkan bumerang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H