Mohon tunggu...
Mutia Kusuma Dewi
Mutia Kusuma Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya traveling, menonton drama

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Saulina Sitorus, Seorang Nenek yang Dituduh Menebang Pohon Durian Milik Tetangganya

24 September 2024   13:23 Diperbarui: 24 September 2024   13:33 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama   : Mutia Kusuma Dewi

NIM    : 222111215

Kelas   : 5F/ HES

Matkul : Sosiologi Hukum

Kasus Hukum dan Analisis dengan Pendekatan Positivsm

Kasus: Saulina Sitorus, seorang nenek yang dituduh menebang pohon durian milik kerabatnya

Seorang nenek berusia 92 tahun divonis satu bulan penjara karena menebang pohon durian yang dianggap milik kerabatnya. Kasus ini menunjukkan tantangan dalam penegakan hukum yang berkeadilan, terutama ketika melibatkan individu yang rentan dan situasi yang kompleks. Saulina Sitorus dituduh mencuri dan merusak pohon durian yang merupakan milik kerabatnya. Meskipun ia mengklaim bahwa ia tidak bermaksud mencuri dan berusaha untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, kasus ini tetap dibawa ke meja hijau. Pengadilan memutuskan untuk menghukumnya berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Analisis dengan Pendekatan positivisme Hukum

Dalam perspektif positivisme, hukum adalah seperangkat aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Dalam kasus ini, hakim menerapkan hukum yang ada tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau niat baik dari terdakwa. Keputusan diambil berdasarkan pasal-pasal yang relevan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Positivisme menekankan pentingnya kepastian hukum. Dalam hal ini, meskipun tindakan Saulina mungkin tidak merugikan secara signifikan, semua unsur pelanggaran hukum dianggap terpenuhi. Hakim tidak memiliki pilihan lain selain menjatuhkan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Positivisme berargumen bahwa hukum harus dipisahkan dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Dalam kasus ini, keputusan hakim didasarkan pada bukti dan keterangan saksi tanpa mempertimbangkan dampak sosial dari putusan tersebut.

Kasus Saulina Sitorus mencerminkan tantangan dalam penerapan positivisme hukum di Indonesia. Meskipun prinsip kepastian hukum sangat penting, penegakan hukum yang terlalu kaku dapat mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem peradilan. Oleh karena itu, penting untuk mencari keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan sosial dalam praktik penegakan hukum.

Mazhab Hukum Positivisme

Mazhab positivisme hukum memandang hukum dari sudut pandang yang berbeda jika dibandingkan dengan mazhab hukum alam. Jika mazhab hukum alam memandang hukum sebagai instrumen keadilan yang tidak bisa lepas dari moral dan etika, maka mazhab positivisme hukum memandang hukum sebagai saran untuk menciptakan kepastian hukum, maka harus dipisahkan dari nilai baik atau buruk, serta nilai adil atau tidak adil. Bagi mazhab

positivisme hukum, hukum hanya dipandang sebagai perintahperintah yang berdaulat.

Argumen Mengenai Positivsm dalam Hukum di Indonesia

Positivisme menekankan pentingnya kepastian hukum. Hukum harus jelas, tertulis, dan dapat diakses oleh semua orang. Ini bertujuan untuk menghindari ketidakpastian yang dapat merugikan individu atau masyarakat. Dalam praktiknya, kepastian hukum ini dapat dilihat dalam penerapan Pasal-Pasal KUHP yang jelas dan tidak ambigu.

Positivisme berpegang pada data empiris dan fakta yang dapat diamati. Aliran ini menolak spekulasi teoritis dan lebih mengutamakan analisis berdasarkan kenyataan yang ada. Dalam konteks Indonesia, penerapan hukum yang berdasarkan pada fakta dan bukti empiris dapat membantu menghindari kesalahan dalam penegakan hukum.

Meskipun positivisme memberikan kepastian hukum, kritikus berargumen bahwa aliran ini terlalu fokus pada kepastian dan mengabaikan aspek keadilan sosial. Mereka berpendapat bahwa tidak semua hukum yang berlaku mencerminkan keadilan. Dalam kasus-kasus kecil seperti kasus Nenek Minah atau Prita Mulyasari, masyarakat sering kali merasa bahwa keputusan hakim tidak mencerminkan keadilan sosial.

Positivisme hukum di Indonesia sering kali dianggap sebagai penyebab potret buram penegakan hukum. Kasus-kasus kecil yang menciderai rasa keadilan masyarakat seperti kasus minah, manise, dan prita menunjukkan bahwa pemikiran positivistik legalistik telah mengakar pada hakim sebagai aparat pemutus pada peradilan. Meskipun hakim diberi kebebasan sesuai hati nurani, apabila terbentur dengan bukti yang sudah lengkap, tidak ada alas an bagi hakim untuk memutuskan dengan cara lain.

Dengan demikian, argumen mengenai positivisme dalam hukum di Indonesia menunjukkan bahwa aliran ini memiliki kekuatan dalam memberikan kepastian hukum, tetapi juga memiliki kekurangan dalam mengabaikan aspek keadilan sosial. Untuk mencapai keadilan yang lebih holistik, perlu dilakukan reformasi hukum yang progresif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

#uinsaidsurakarta2024

#muhammadjulijanto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun