Saya mengapresiasi pemerintah yang membentuk Satgas Saber Pungli. Apresiasi karena paling tidak ada usaha untuk mengatasi sesuatu yang dianggap menjadi masalah dan merugikan banyak orang. Pesimis? Iya sih.., tapi saya hanya ingin mengingatkan saja bahwa permasalahan tidak sesederhana itu.
Pungutan liar atau pungli itu illegal, yang legal adalah pungutan tidak liar yang diatur dengan ketentuan formal. Perbedaannya yang legal dengan illegal ya hanya dari ketentuannya. Jika legal maka besarnya pungutan telah ditetapkan dan masuk ke rekening resmi milik pemerintah atau negara. Dan yang illegal, besarnya bisa suka-suka, tergantung pemungut dan sering pula berdasar kesepakatan dua belah pihak. Ada pungutan liar yang muncul karena memanfaatkan kerumitan prosedur resmi birokrasi, sementara petugas tahu bahwa seharusnya prosedur tidak perlu serumit itu.
Ada pula pungutan yang memanfaatkan kewenangan tertentu untuk me mark up besarnya pungutan di atas pungutan resmi, biasanya ini juga sekaligus memanfaatkan kurangnya informasi yang disebarkan kepada masyarakat. Ada lagi pungutan timbul karena pemerasan oleh pemungut, yang informasi sebenarnya sudah jelas, namun petugas enggan memproses dan menyerahkan hasilnya jika terpungut belum membayarkan sejumlah uang tertentu.
Belum lagi pungutan yang terjadi tatkala terpungut menginginkan fasilitas lebih dari yang seharusnya, biasanya hal ini akan menjadi praktik percaloan. Namun demikian, berbagai pungutan liar itu memang hampir seluruhnya menghasilkan terselesaikannya urusan atau dokumen tertentu. Jika tidak selesai, permasalahan bergeser menjadi penipuan. Terpungut merasa tertipu karena telah menyerahkan sejumlah uang namun urusan atau dokumen tidak didapatkan.
Jadi, pungli yang mana yang mau diberantas dan dibersihkan? Yang berbau penipuan, pemerasan, penyuapan, atau percaloan? Ya, memang pada akhirnya bicara pungli lalu sangat erat kaintannya dengan praktik pemerasan, penipuan dan penyuapan. Apakah semua pungli merugikan masyarakat? Adakah yang menguntungkan? Ya, menguntungkan, karena tidak semua pungli merugikan pihak terpungut, tidak semua terpungut merasa terperas dan tertipu, bahkan justru dengan senang hati menyerahkan pungutannya karena urusan jadi lancar.
Jika memberantas yang berbau penipuan dan pemerasan, apakah semata-mata disebabkan oleh niat jahat petugas pemungut dan pimpinannya? Pimpinan harus memberi contoh dan tauladan yang baik, tidak perlu praktik pungli. Di saat pimpinan mampu demikian, apakah anak buah otomatis mencontoh?
Apalagi jika anak buah lalu menggerutu “ya pimpinan sih sudah digaji besar, sudah mampu memenuhi kebutuhan standarnya”. Apakah kita benar-benar memahami motif utama yang mendorong terjadinya pungutan? Jika pungutan yang berbau penyuapan, apakah kita telah sadar bahwa memang semua prosedur resmi itu murah dan sederhana?
Surat Izin mengemudi itu sejatinya surat izin bagi seseorang yang memang sudah layak mengemudi melalui berbagai macam tes yang sulit, bukan bagi seseorang yang mampu membayar sejumlah uang. Harus diperpanjang setiap lima tahun karena dikuatirkan dalam lima tahun seseorang lupa cara mengemudi. Apa benar? Haruskah demikian, membayar sebuah surat izin dan kemudian memperpanjang pada periode tertentu? Bukankan semua petugas telah bergaji dan peralatan dibiayai APBN. Sedangkan kita mau update facebook atau instagram di android saja kita tinggal klik tanpa bayar. Yang bayar ya akses internetnya.
Ono rego ono rupo, yang artinya sama dengan ada harga ada barang, diskursus itulah yang sampai dengan saat ini menjadi rezim kita dalam membutuhkan barang atau jasa. Kita memang harus berkorban (menyerahkan uang) lebih banyak jika ingin mendapatkan barang atau pelayanan yang prima. Bahkan kepada pungutan yang sama-sama resmi sekalipun. Di Rumah sakit, kita jumpai setiap hari, jika tidak mau mengantri lama dan ingin mendapatkan pelayanan dokter yang baik, obat yang lebih mujarab, tanpa diharuskan pun kita tahu kita harus berjalan ke loket umum (bukan BPJS).
Naik bus, kereta, pesawat sudah dirancang ada kelas yang tersiksa dan kelas yang nyaman, jika ingin kursi nyaman dan tidur nyenyak kita harus membayar lebih daripada kelas ekonomi. Ingin mendapatkan sepeda motor atau mobil yang lebih safety, kita harus memilih dan membeli dengan harga premium. Di stadion kita ingin menonton pertandingan sepak bola pun telah dibuat ada yang beratap ada yang tidak beratap.
Yang membeli tiket murah silakan duduk di tempat yang tidak beratap sambil berdoa agar tidak turun hujan, minimal membawa payung jadi jika tim kesayangan melesakkan gol, anda refleks bersorak dan bertepuk tangan dan payung akan lepas dari tangan anda. Pembayar murah bahkan gratis tidak selayaknya mendapatkan barang dan pelayanan yang bagus. “Naik becak bayar limaribu kok mau selamat”, begitu gerutu tukang becak di kampung saya. Sehingga tidak heran, jika muncul istilah “wani piro?”.