Mohon tunggu...
Dodi Muthofar Hadi
Dodi Muthofar Hadi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Manjadda Wajadda

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus puluhan bahkan ribuan kepala"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Doa untuk Papua

25 Agustus 2019   15:13 Diperbarui: 25 Agustus 2019   15:17 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber http://home.p07.itscom.net/damai/DAERAH_INDONESIA/papua_barat.html

Papua sedang menjadi buah bibir, menjadi perbincangan disemua kalayak masyarakat. Ada yang berkomentar positif namun ada pula yang memberikan komentar negatif. Contoh dari komentar yang positif adalah masyarakat Papua sudah maju dan tidak semua rakyat Papua menginginkan berpisah dari NKRI.

Sedangkan yang berkomentar negatif contohnya maaf mereka menyebut sebagian kecil rakyat Papua masih primitif, berkoteka, sulit diajak bermusyawarah dan  suka makan babi serta mabuk-mabukan. Kedua persepsi yang muncul dimasyarakat tentu di dasari oleh informasi yang sebelumnya mereka dapatkan. Baik itu informasi terupdate maupun informasi kenangan masa lalu terhadap masyarakat Papua.

Adalah lumrah, adanya perbedaan penilaian akan satu masyarakat seperti Papua. Bisa jadi keduanya memang seperti itu namun yang lebih penting adalah bagaimana mensikapi akan perbedaan penilaian tersebut. Pada penilaian yang positif maka perlu kita sisipkan "aamiin"sebagai bentuk doa yang baik. Dan pada penilaian yang negatif kita sisipkan ucapan "na'udzubillah" semoga hal jelek tersebut tidak terjadi kembali.

Karena ucapan adalah doa, sebagaimana ibunya Malinkundang yang mengucapkan kutukan kepada si Malinkundang menjadi batu dan ucapan itu menjadi doa yang dikabulkan oleh ALLAH SWT. Jadi, bukan kemudian hanya membicarakan keburukan yang ada namun perlu disisipkan doa kebaikan untuk mereka. Jangan sampai kemarahan kepada suatu kaum menjadikan kita berbuat tidak adil.

Para sejarawan sudah mencatatkan dalam buku sejarah bahwa masyarakat Papua sebelum datangnya penjajahan Eropa (Belanda) sebagiannya merupakan bagian dari Kesultanan Maluku. Sebagaimana budaya islam maka penduduk Papua khususnya daerah pesisir sudah berbudaya islam. Memakai pakaian dengan menutup aurat, karena sebagai seorang muslim muslimah adalah kewajiban, baik saat melaksanakan sholat maupun dalam muamalah dengan sesama manusia.

Kenapa budaya islam itu kemudian hilang? Jawabannya karena budaya islam dihapus dan diganti oleh penjajahan dengan budaya barat. Dan hal tersebut tidak hanya terjadi di Papua, bahkan hampir di semua wilayah NKRI sistem kesultanan dibatasi pengaruhnya sehingga budaya islam menjadi luntur dan akhirnya hilang dari bumi Nusantara. Masyarakat Papua pedalaman yang belum tersentuh dengan budaya Islam  pada masa penjajahan Belanda justru menjadi daya tarik penjajah untuk melestarikan kebudayaan mereka. Masih beruntung masyarakat Papua tidak bernasib seperti suku Aborijin yang dimusnahkan oleh penjajahan.

Begitu pula di daerah lain di Indonesia yang dijajah Belanda (Eropa) mereka masih beruntung tidak dimusnahkan sebagaimana penduduk asli Amerika (Suku Indian). Meskipun begitu semua masyarakat Nusantara menjadi budak dari penjajahan atau menjadi pahlawan karena melawan penjajahan di Nusantara.

Jadi saat sekarang sebagian rakyat Papua marah dan menginginkan Merdeka dari Indonesia maka konteksnya adalah salah. Karena unsur penjajahan tidak dilakukan oleh Negara Indonesia. Kehidupan bernegara berbeda dengan kehidupan era kesultanan ataupun kesukuan. Pada era kesukuan maka kekayaan alam suku dikelola oleh kepala suku untuk kepentingan bersama, demikian pula denga kesultanan hanya sebatas wilayah kesultanan saja pemanfaatan kekayaan alam yang dikelola dan digunakan.

Sedangkan dalam kehidupan bernegara seluas NKRI maka seluruh kekayaan alamnya dikelola Negara dan digunakan oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyatnya. Bukti secara hukum jelas di dalam UUD 1945, namun jika dalam pelaksanaannya ternyata daerah Papua masih belum menerima bagian secara proporsional sebagia bagian dari NKRI maka bukan salahnya Negara. Namun yang salah adalah Pemerintah yang tidak melaksanakan UUD 1945 sebagaimana mestinya.

Penjajahan terjadi jika ada kedholiman dari penjajah kepada yang dijajah, baik dalam bidang ekonomi, budaya maupun agama. Atau terdholimi dalam bentuk fisik maupun ekonomi. Fakta di Papua memang ada kelompok sparatis bersenjata yang melawan kepada NKRI. Dengan menyatakan bahwa mereka ingin memisahkan diri dari NKRI karena merasa terjajah oleh NKRI. Sebagai contohnya adalah adanya tambang Freeport di Papua namun hasilnya tidak dinikmati dengan adil oleh masyarakat Papua.

Bahkan NKRI sendiri tidak menikmati hasil freeport karena lahan freeport sudah disewakan dan hasilnya dimiliki oleh perusahaan Freeport. Sudah berpuluh tahun sejak orde baru, hingga sekarang sudah dalam pemilikan NKRI meskipun belum terasa manfaatnya. Jika masyarakat di luar Papua mencoba merasakan diri menjadi warga Papua apakah sekiranya mereka juga akan diam saja?

Namun sebagai sebuah negara yang sama-sama pernah merasakan penjajahan, maka seyogyanya permasalahan yang bukan kesalahan negara namun kesalahan pemerintahan tidak menjadikan suatu daerah memisahkan diri. Karena masih banyak jalan keluar untuk menyelesaikannya. Semoga Papua semakin berbudaya, tidak lagi identik dengan koteka namun bisa menjadi masyarakat yang berbudaya tinggi, berpakaian bersih dan rapi. Dan bisa menjadi bagian dari NKRI yang damai dan sejahtera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun