Mohon tunggu...
Dodi Muthofar Hadi
Dodi Muthofar Hadi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Manjadda Wajadda

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus puluhan bahkan ribuan kepala"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjalanan Menuju Singgasana Khalifah Panatagama Di Mataram

16 November 2018   17:36 Diperbarui: 17 November 2018   10:08 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini saya berziarah ke makam raja-raja Mataram di Kota Gedhe. Awalnya hanya ingin sholat Ashar di masjid Agung Kota Gedhe. Ternyata masjid Agung yang dulu saya anggap masjid Agung Mataram di Kota Gedhe yang letaknya di selatan jalan bukan masjid Agung Kesultanan Mataram.

Ternyata yang di barat jalan ini yang masjid Agung Mataram Kota Gedhe. Semakin senang rasanya menemukan yang asli sudah gak meyakini yang hoax buatan sendiri. Bikin hoax sendiri dipercaya sendiri ternyata keliru. Alhamdulillah bisa nemu fakta yang sebenarnya.

Sebelum masuk gapura saja saya sudah takjub dengan kemegahan gapuranya. Terbayang saat seorang sultan yang memasuki tangga-tangga gapura menuju masjid, indah sekali. Setelah masuk Gapura Masjid, subhanallah suasana hening, sejuk dan rindang bak suasana di abad 14 -15 M, masyaallah, subhanallah.

dokpri
dokpri
Saya tidak tahu mana pintu masjid untuk laki-laki dan mana pintu untuk wanita. Karena saya juga dari perjalanan jauh, jetis bantul - mrican sleman - kota gedhe maka saya duduk di depan masjid sambil melepas tas, jasket, dan sepatu.

Sambil sesekali melihat jamaah kemana arah masuknya, dan saat saya menoleh ke arah kanan atau selatan saya lihat lagi ada gapura. Masyaallah ada kerajaan di sini setelah saya amati ternyata gapura makam raja mataram.

dokpri
dokpri
Masyaallah ternyata disini makam raja-raja mataram yang di kota gedhe. Senyum diwajah tidak bisa saya tutupi karena memang sudah sejak lama ingin mengetahuinya. Dan baru kala ini kesampaian, sholat dulu ntar kalau ada waktu coba lihat ke sana.

Akhirnya saya wudhu di kran depan masjid dan masuk dari arah Timur masjid, melewati shof wanita baru ke depan ke shof pria. Lha bagaimana wong saya gak tahu jalannya, yang penting niat sholat dan gak batalin wudhu yang lain. Masyaallah jamaahnya lumayan banyak padahal rumah-rumah disekitaran masjid hanya sedikit. Masjidnya memang lebih kecil dari masjid kauman namun bangunannya bagus dan kokoh. Mimbarnya juga artistik.

Setelah selesai sholat saya urungkan untuk masuk area makam, yang penting sudah tahu lokasinya, bisa lain waktu berziarah. Kemudian menuju gerbang keluar, sebelum pintu gerbang ada peta lokasi, dan saya lihat dan pelajari, akhirnya berubah pikiran. Masuk dulu ke area makam, lihat-lihat dulu ziarahnya lain waktu.

Masuk ke gapura makam saya lihat kanan kiri kok tidak ada retribusinya, kemudian saya masuk, seperti masuk benteng kraton di film-film kolosal itu. Subhanallah indah sekali makamnya, kemudian saya menuju ke bangunan yang ada siapa tahu bisa mendapatkan tambahan informasi. Ternyata di situ belum area makam masih di luar makam, dan jika masuk ke makam ke arah barat bangunan itu baru membayar.

Akhirnya karena masih geratis saya masuk saja ke gapura selanjutnya yang menghadap ke Timur. Setelah masuk terlihat ada gapura lagi namun pintunya tertutup. Ada tulisan lepas alas kaki apabila masuk.

Di bagian kanan dan kiri ada bangunan, saya masih lihat-lihat dulu sambil mengangguk sebagai tanda penghormatan kepada juru kunci-juru kunci yang ada di situ. Di depan saya ada rombongan ibu-ibu dan juga seorang bapak-bapak yang sudah sampai duluan dan bermaksud berziarah.

dokpri
dokpri
Saya masih lihat-lihat hingga sampai ke sendang putra dan putri. Langkah saya akhirnya berjalan menyusuri sendang putra sampai ke sumur, ada timba yang sudah terisi air. Airnya begitu jernih tak tahan akhirnya sedikit membasuh muka. Tapi jangan disangka di situ biasa saja, ada banyak dupa dan bunha-bunga mawar, seperti baru ditaburkan. Saya lanjutkan melihat area pemandiannya yang sekarang diisi oleh ikan-ikan lele yang besar-besar ada yang bule ada pula yang lele hitam dumbo, namun sepertinya makanannya kembang mawar dan melati, pikirku sendiri. Karena banyak bunga mawar melati disitu.

Saya gak berani masuk pemandian putri akhirnya kembali ke area depan makam dan bertanya disana. Setelah tahu adab dan bayar sewa pakaian jawanya akhirnya saya bareng dengan rombongan dari Jawa Timur 2 putri, 1 putra ditambah saya dan 1 orang juru kunci. Kami berlima masuk ke area makam.

Tidak lupa saya uluk salam assalamu'alaikum ya ahlal kubur, insyaallah saya juga akan menyusul kalian menghadap ALLAH SWT. Kemudian kami melangkah menuju bangunan sebelah utara, melewati jalan setapak dipinggir makam, hingga sampai ke prasasti bangunan kemudian ke bangunan makam dan masuk ke dalam. Subhanallah begitu banyaknya makam-makam di dalam sini, dengan batu-batu marmer besar setinggi pinggul dan jaraknya begitu dekat.

Kemudian kami menuju ke makam paling utara, jarak antar batu nisan begitu sempit. Sehingga kami harus hati-hati dan bejalan satu demi satu berurutan. Sesampai di ujung utara, juru kunci menjelaskan ini Makam Panembahan Senopati, yang ini istrinya dan ini juga, sambil menyebutkan namanya. Dan yang ini nisan putra Panembahan Senopati yang bergelar Sultan HB II atau Sultan Hanyokrowati ayah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo. (Semoga saya tidak salah menyebutkannya...nanti saya koreksi jika salah ). Dan beberapa makam lainnya dijelaskan oleh juru kunci makam.

Kemudian juru kunci meninggalkan kami dan kami masing-masing berdoa. Sebagai seorang muslim maka saya/kami mengirim bacaan Al Fatihah, dan doa untuk orang yang sudah meninggal. ALLAHUMMAGHFIRLAHUM WARHAMHUM WA'AFIHIWA'FU'ANHUM ALLAHUMMA LATAHRIMNA AJROHUM WALATAFTINNABA'DAHUM WAGHFIRLANA WALAHUM.

Setelah selesai berdoa, karena saya ada didepan nisannya almh istri Sultan HB I kalau tidak salah bernama Ratu Kalinyamat, maka saya usap nisannya dan saya bacakan lagi al fatihah dan doa untuknya.

Saya teringat dengan seseorang yang bersumpah atas kematian suaminya, hingga akhirnya bisa terbalaskan atas bantuan Sultan Pajang (Sultan Hadiwijaya/Mas Karebet/Joko Tingkir), Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani dan putra angkat Sultan Pajang yang juga putra dari Ki Ageng Pemanahan yaitu Panembahan Senopati (Danang Sutawijaya).

Setelah selesai berziarah kemudian kami keluar, dan kamipun sambil berjalan menuju ke luar bertanya jawab seputar makam-makam ini. Pertanyaan saya pertama bagaimana bisa makam ini ditemukan dan siapa yang pertama kali mengatahuinya bahwa di sini makam Panembahan Senopati beserta keluarga dan kerabatnya?

Kemudian juru kunci menjelaskan dan menunjukkan prasasti bertuliskan huruf Jawa yang ada di depan bangunan makam. Bangunan makam itu juga menurut juru kunci yang ada di singgasana keraton adalah kamar tidur Panembahan Senopati.

Banyak sebenarnya tanya jawab kami dengan juru kunci. Namun pertanyaan terakhir saya sebelum pintu gerbang keluar sekaligus pertanyaan terakhir kami di situ. Maaf untuk makam Ki Ageng Mangir apakah juga di sini? Kemudian juru kunci menjawab ada di sini tepatnya tadi yang sebagian di luar kamar makam Panembahan Senopati, dan sebagian nisannya di dalam.

dokpri
dokpri
Karena sudah hampir sampai pintu ke luar saya mengiyakan saja, karena hal itu juga tidak pas untuk diceritakan berulang-ulang. Saya menyebutnya itu adalah aib kerajaan Mataram. Akhirnya kami kembali ke bangunan di awal di timur gapura makam. Saya berwudhu kemudian melepaskan baju surjan beserta jarit, dan blangkon. Saya kembalikan kepada juru kunci.

Sebelum saya keluar area saya masih bertanya di area parkir, apakah ada petilasan lainnya selain makam ini? Di jawab oleh juru parkir ada, di sebelah selatan dari makam ini ada yang dulu menjadi singgasana Sultan HB I dan II.

Kemudian setelah bayar parkir saya menuju ke tempat yang ditunjukkan. Jalannya tidak terlalu lebar dan juga tidak sempit, masih ada bekas-bekas tembok-tembok tua hingga sampai ke bangunan di tengah jalan.

Saya parkir di barat laut bangunan itu kemudian berjalan menuju bangunan besar seperti pendopo istana di bagian utara tempat saya parkir. Setelah masuk saya beruluk salam dan bertemu dua orang yang sedang berbicara di pendopo yang asri itu.

Setelah bersalaman saya meminta untuk melihat petilasan singgasana Sultan Panembahan Senopati. Kemudian bapak yang berbusana Jawa menjawab njih monggo, kemudian beliau ke luar dari bangunan yang bagus itu.

Saya mengikuti dibelakangnya sambil menahan tanya, kenapa keluar dari sini, memangnya singgasananya dimana? Kemudian kami menuju bangunan yang ada di tengah jalan di tenggara tempat saya parkir.

Masak singgasananya di "gubuk tua" di tengah jalan, pertanyaan terlintas dalam pikiran saya. Namun saya tetap diam saja sambil terus mengekor di belakang bapak juru kunci.

Kemudian bapak juru kunci membuka pintu di "gubuk tua" itu. Saya sebut "gubuk tua" karena bangunannya kecil dan memang kelihatan tua. Malah terlihat gak penting, kalau sekilas dilihat hanya bangunan biasa ditengah jalan, lingkaran luarnya adalah jalan.

Setelah pintu pertama di buka saya lihat di kanan kiri ada batu-batu besar, apa lagi ini, batu-batu diletakkan di sini. Pertanyaan itu tetap saya simpan, sampai pintu ke dua di buka dan juru kunci menyampaikan inilah singgasananya.

Baru saya bingung, bagaimana bisa singgasana di tengah jalan dan bangunan di sekitarnya sudah menjadi perkampungan. Saya masih membisu  dengan kebingungan saya kemudian saya masuk bersama bapak juru kunci.

Selanjutnya kami duduk di depan singgasana berhadap-hadapan. Saya di pojok utara singgasana, bapak juru kunci di sebelah selatan.

Kemudian saya letakkan tangan kanan saya menyentuh singgasana, sebuah batu yang tebalnya kurang lebih 10 cm dengan ditopang pondasi yang tingginya kurang lebih 25 cm. Dengan ukuran 1,5 m x 1,5 m kurang lebihnya yang berada di tengah-tengah bangunan tua itu.

Ini singgasananya Sultan? mulai saya bertanya, dan dijawab anggukan oleh bapak juru kunci. Hanya berupa batu seperti ini ya, sambil lamunan saya kembali ke buku yang pernah saya baca tentang soannya Ki Ageng Mangir ke Mataram.

Kemudian saya lihat di bagian depan singgasana ada bagian yang berlekuk atau dekok. Saya bertanya ini bekas........ bapak juru kunci menjawab itu bekas kepala Ki Ageng Mangir.

Saya mengelus bagian itu, lekuknya halus sebesar jidad kepala. Ya saya tahu ceritanya, kalau bekasnya saja seperti ini berarti Ki Ageng Mangir benar-benar sakti. Dan Panembahan Senopati juga sakti, keduanya sama-sama sakti, saya katakan ke juru kunci.

Kemudian juru kunci bercerita panjang lebar tentang kesaktian Panembahan Senopati dan juga putranya Sultan Hanyokrowati. Dan batu yang ada di depan itu adalah mainan waktu kecil Sultan Hanyokrowati. Batunya sebesar bola basket, buat mainan, subhanallah, baarokallah. Dan lain sebagainya beliau ceritakan, termasuk hubungannya dengan Nyi Roro Kidul.

Saya bertanya banyak hal juga termasuk batu yang ada didepan pintu, juga gambaran kratonnya, luasnya. Hingga diceritakan oleh bapak juru kunci sampai perpindahannya ke Kraton Pleret bahkan dijelaskan sampai terjadinya perjanjian giyanti.

Setelah merasa cukup kemudian kami ke luar singgasana, sambil saya berbisik BAGAIMANA KELANJUTAN KESULTANAN YOGYA? sepertinya bapak juru kunci belum mendengar dengan jelas. Kemudian saya berkata lagi Sultan HB X tidak punya putra laki-laki, siapa yang akan menggantikannya?

Bapak juru kunci menjawab, tidak mungkin jika Sultannya perempuan. Sultan HB X juga bukan putra dari permaisuri. Bisa jadi menunjuk saudara laki-lakinya. Tapi menurut perjanjian Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring tahta akan bergantian dari kedua keturunan, setelah IX (sembilan) kali tahta diduduki dari keturunan Ki Ageng Pemanahan. Ooo begitu, lantas siapa keturunan Ki Ageng Giring yang yang sudah disiapkan? Beliau menjawab tidak tahu. Dan kamipun hanya bisa saling tersenyum kemudian saya ijin pamit.

Kraton Kasultanan Mataram yang berpusat di Kota Gedhe dengan singgasananya itu dulunya luas. Semua berubah semenjak perpindahan pusat keraton ke Pleret pada masa Sultan Agung Hanyokrokusuma. Dari Pleret beliau pernah menyerang Belanda yang menduduki kota Sunda Kelapa/Jayakarta/Batavia (sekarang bernama Jakarta). Sultan mengalami kekalahan dan kerajaan pada kepemimpinan selanjutnya semakin lemah.

Bahkan isi kerajaan Mataram yang ada di Pleret hampir semuanya dibawa/dirampas oleh Belanda. Hingga Kasultanan Mataram dipecah oleh Belanda menjadi 2 kerajaan yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Jazakumullah khoiron katsiron bapak-bapak juru kunci atas ilmu sejarahnya. Semoga Allah swt menambah kebaikan kepada keluarga panjenengan. Baarokallah fikum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun