Mohon tunggu...
Dodi Muthofar Hadi
Dodi Muthofar Hadi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Manjadda Wajadda

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus puluhan bahkan ribuan kepala"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebingungan Korban G30S/PKI di Lubang Buaya

17 Oktober 2015   11:54 Diperbarui: 18 Oktober 2015   10:21 10640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sehari sebelum terjadi penculikan para Jenderal yang dikatakan sebagai anggota Dewan Jenderal, terjadi perbincangan singkat antara DN Aidit dengan Jenderal AH Nasutian di Istana Negara Jakarta. DN Aidit bertanya kepada Jenderal AH Nasution, "Diantara sederet penghargaan dan tanda jasa yang ada di Dada Jenderal, mana yang dari penumpasan PKI Madiun". Kemudian Jenderal AH Nasution menunjukkan salah satu dari tanda jasa yang ada di dadanya, kemudian DN Aidit meminta foto bersama dengan Jenderal yang menjabat MENKOHANKAM/KSAB itu.

[caption caption="sumber ilustrasi: www.teguhtimur.com"][/caption]

Aidit mendapat penghargaan sipil tertinggi Bintang Mahaputera kelas III langsung dari Presiden Soekarno di Istana Negara pada 19 September 1965, saat itu dia menjabat sebagai Menteri Koordinator.

Jenderal AH Nasution lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, pada 3 Desember 1918 dan DN Aidit lahir di Tanjung Pandan Belitung, 30 Juli 1923.

Dua pemimpin beda generasi dan beda ideologi, mereka memiliki rekam jejak "permusuhan" sejak meletusnya pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948. Dimana AH Nasution selaku wakil panglima besar TNI memerintahkan untuk menumpas PKI atas perintah dari Presiden Soekarno. Sedangkan DN Aidit adalah salah satu tahanan atas keterlibatannya dalam pendirian Negara Soviet di Madiun oleh PKI. DN Aidit berhasil lolos dari tahanan di Wirogunan Yogyakarta karena aksi agresi Belanda I ke Yogyakarta kemudian melarikan diri ke Vietnam Utara. 

Tepatnya pada tanggal 18 September 1948 dengan dipimpin Muso di Madiun PKI mendirikan suatu Pemerintahan Soviet dan mengobarkan pemberontakan melawan pemerintah pusat yang dipimpin Ir Soekarno.

Menanggapi hal tersebut Ir Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 yang berisi seruan untuk memilih "apakah akan mendukung Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Sukarno-Hatta, yang insya Allah, dengan bantuan Tuhan, akan memimpin negara RI merdeka, tidak dijajah oleh negara apa apun juga”.

Setelah kejadian itu mereka diketemukan kembali di Istana Negara, dimana DN Aidit menjadi Ketua CC PKI dan AH Nasution sebagai MENKOHANKAM/KSAB dengan pangkat Jenderal Bintang 4. Seolah tidak ada dendam masa lalu, namun ternyata yang terjadi adalah dendam itu terbungkus rapi hingga diketahui setelah melutus G30S/PKI.

Pada tahun 1964 sudah ada sebuah dokumen milik AD yang menyebutkan bahwa tujuan dari berdirinya PKI salah satunya adalah untuk merebut kekuasaan. Pada tanggal 12 Desember 1964 sebuah dokumen ditunjukkan oleh Chairul Saleh kepada Ir Sukarno dalam pertemuan bersama pemimpin semua Parpol di Istana Bogor. Dokumen itu bertanggalkan akhir Desember 1963 memuat garis-garis besar strategi PKI, antara lain:

1. Menggulingkan pemimpin yang borjuis, 

2. Mengucilkan kelompok “Nasutionis” dan “orang-orang berkepala batu”, 

3. Menolak pernyataan presiden Sukarno mengenai tidak adanya kelas-kelas dalam masyarakat Indonesia, 

4. Menilai Nasakom sebagai “impian seorang idealis” yang pada hakekatnya bersifat “revisionisme”, dan

5. Militer harus diindoktrinasi dan meningkatkan pembentukan sel-sel di dalam tubuh militer.

Namun dokumen itu ditolak oleh DN Aidit, sehingga terjadi perdebatan yang seru hingga kemudian bisa diselesaikan secara musyawarah oleh Ir Soekarno.

Muncul juga pernyataan dari pejabat Belanda di NATO yang menyatakan bahwa Indonesia akan jatuh ke tangan Barat seperti apel busuk.  Agen-agen intelijen Barat merencanakan suatu premature communist coup, sehingga Angkatan Darat Indonesia punya alasan untuk menumpas PKI, sekaligus menjadikan Sukarno sebagai sandera”. Kali ini AD yang diisukan akan membuat pengambil alihan kekuasaan, meskipun diantara para pimpinan AD sendiri memiliki "permusuhan". Pertanyaannya adalah "bagian" dari AD yang mana yang akan memberontak?

Kemudian disusul dokumen lagi dari Kedubes Amerika tanggal 21 Januari 1965. Kedutaan Besar Amerika di Jakarta mengirim telegram kepada Department of State di Washington, melaporkan tentang pertemuan antara seorang pejabat Kedutaan dengan Mayjen S.Parman yang menyampaikan adanya perasaaan kuat di dalam segment top military command  untuk melakukan pengambilan kekuasaan sebelum Sukarno meninggal dunia, didorong oleh kegiatan PKI untuk mewujudkan Angkatan ke-V.   Kup harus dilakukan dengan cermat seakan-akan kepemimpinan Sukarno masih tetap utuh. Di sekitar tanggal ini pula CIA menyampaikan memorandum kepada pemerintah Amerika bahwa: Amerika bukan hanya menghadapi bahaya dari Sukarno, melainkan juga keadaan ketidak-pastian dari suatu kemungkinan Indonesia tanpa Sukarno.

Disusul kemudian adanya surat foto copy yang disampaikan Ketua BPI (Biro Pusat Intelejen)/Menlu Dr Subandrio dalam sidang kabinet tanggal 25 Mei 1965. Surat itu berasal dari Dubes Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gillchrist kepada Sekretaris Muda Kementerian Inggris di London, Sir Harold Cassia yang berisi: “ Duta Besar Jones pada pokoknya sepakat dengan pendirian kita….. perlu mengambil langkah-langkah baru untuk menciptakan koordinasi yang lebih baik, dan ia mengatakan tidak perlu menekankan keharusan untuk membuat rencana itu menjadi sukses.   Saya telah berjanji akan membuat persiapan-persiapan yang diperlukan …… Akan baik untuk menekankan sekali lagi kepada para sahabat kita di dalam Angkatan Darat (our local army friends) bahwa kehati-hatian yang paling saksama, disiplin dan koordinasi, adalah esensial dari suksesnya usaha ….”

Dalam hal itu Ir Soekarno menanyakannya kepada AD, dan dijawab oleh Letjend Ahmad Yani bahwa pernah ada di dalam AD yang namanya Dewan Jenderal yang bertugas dalam rangka penetapan jabatan dan kenaikan pangkat Jenderal, namun kemudian sudah diganti dengan WANJAKTI (Dewan Pertimbangan jabatan dan Kepangkatan Tertinggi). Presiden Soekarno sudah merasa puas, namun karena sebab yang belum diketahui beliau memiliki rasa tidak suka dengan beberapa pimpinan AD.

Bahkan pada menjelang September tahun 1965, Presiden Soekarno pernah memerintahkan agar beberapa Jenderal yang tidak loyal kepadanya diberikan tindakan. Hal inilah yang menjadi dasar pada akhirnya MPRS mengeluarkan TAP MPRS No XXXIII/1967 tentang keterlibatannya dalam G 30S/PKI.

Lewat TAP Nomor XXX/MPRS/1966, Jenderal AH Nasution selaku ketua MPRS menyatakan mencabut Bintang Mahaputera Kelas III dari Aidit dengan alasan, "ajaran dan tindakan-tindakannya telah mengkhianati Pancasila dan Revolusi Indonesia."

Dan juga mengeluarkan TAP tentang pembubaran PKI yaitu Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme.

[caption caption="sumber ilustrasi : indocropcircles.wordpress.com"][/caption]

Pers termasuk Televisi dalam perundang-undangan penyiaran terikat oleh aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran yang disusun oleh KPI yang pada pasal III poin A berbunyi: KEKERASAN

Lembaga penyiaran memang lazim dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu merasa wajib melaporkan atau menyiarkan kekerasan.Kekerasan dalam hal ini mencakup hal-hal yang memang sungguh terjadi dalam kehidupan sehari-hari maupun hal-hal yang termuat dalam program fiksi.Namun, terdapat sejumlah pertimbangan yang harus diperhatikan dalam penyajian kekerasan melalui lembaga penyiaran.

  • Mencegah jangan sampai tayangan tersebut menimbulkan hilangnya kepekaan masyarakat terhadap kekerasan dan korban kekerasan.
  • Mencegah agar masyarakat tidak berlaku apatis terhadap gejala kekerasan
  • Mencegah efek peniruan
  • Mencegah agar tidak timbul rasa ketakutan yang berlebihan
  • Mencegah agar masyarakat tidak menerima pandangan bahwa kekerasan adalah jalan keluar yang dapat diterima dan dibolehkan

Diorama adalah sebuah bentuk siaran, dimana ditampilkan adanya patung-patung yang menggambarkan sebuah peristiwa. Termasuk didalamnya adalah diorama peristiwa G30S/PKI.

Maksud dari adanya diorama itu sungguh tidak tercapai. Kenyataan kekerasan bukannya berkurang namun justru lebih banyak lagi. Bahkan lebih sadis dari yang ada di diorama. Menggambarkan peristiwa penyiksaan sama halnya dengan mengajarkan caranya menyiksa. Diorama seakan-akan mengajarkan bagaimana menyiksa, dan kepada siapa dilakukannya. Diorama juga seakan akan-akan mengajak untuk mengingat kekejaman itu, dan juga berharap agar tidak terulang kembali.

Apa perlu juga ada diorama pada kasus pembunuhan-pembunuhan yang sekarang sudah tertangani?

Kenapa tidak? Apa karena mereka bukan pahlawan?

Anda lihat dengan seksama pembuatan patung dari para korban. Mereka tergambarkan dalam posisi tersudutkan, antara bingung dan takut. Mereka bingung kenapa ada orang berbuat kejam seperti itu. Dan mereka takut untuk mengikuti kemauan mereka (pelaku penculikan) agar meneken tandatangan. Karena mereka bukan akan memberontak kepada Presiden RI Soekarno sebagaimana yang disebut sebagai anggota dewan Jenderal.

Bahkan mereka tidak tahu kenapa harus dijemput paksa, harus diobrak-abrik rumahnya, diberondong peluru, bahkan ada yang ditembak mati dan masih dibawa pula dari rumahnya. Mereka hanya bisa pasrah bahwa hidupnya tidak lama lagi. Dengan cara apapun jalannya akhir hidup mereka akan berakhir juga.

Mereka tidak berbicara karena berbicara hanya akan memperpanjang kebingungan mereka. Karena mereka adalah para pemimpin yang bukan memberikan keterangan namun lebih banyak menerima keterangan dari bawahannya. Mereka mungkin saat-saat itu banyak berpikir doa-dosa apa yang telah dilakukannya sehingga mereka (para penculik) berani melakukan hal itu. Apakah karena mereka termasuk Jenderal-Jenderal Angkatan Darat yang kaya sehingga layak dapat hukuman itu? Atau apakah mereka memusuhi PKI sehingga mendapatkan perlakuan seperti itu? Atau apa kesalahan mereka sehingga para prajurit itu tega menghabisi nyawa mereka?

[caption caption="sumber ilustrasi : indocropcircles.wordpress.com"]

[/caption]

Diorama itu tidak menjawab pertanyaan itu namun justru memberikan pelajaran bagaimana proses penculikan, proses penyiksaan hingga akhirnya bagaimana proses pembunuhan terjadi.

Diorama itu tidak menjelaskan apalagi mengajarkan bahwa membunuh satu jiwa manusia seperti halnya membunuh seluruh manusia. Diorama itu juga tidak menjelaskan kenapa dan atas dasar apa pembunuhan itu dilakukan bahkan layak untuk dipertontonkan. Bukankah hukuman mati yang layak dipertontonkan itu hanyalah kepada para penjahat seperti zina, dan membunuh?

Apa agama sudah tidak berlaku di Negara ini? Apa dasar mereka bernegara sekarang? Apakah mereka masih beragama dengan dasar mereka itu?

Bisa jadi satu kesimpulannya adalah "MULUTMU HARIMAUMU". Jadi jaga mulut ini karena bisa melahap diri sendiri.

 

Salam kompasiana.

 

 

 

 

Referensi:

1. https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Haris_Nasution

2. https://rubijanto.wordpress.com/2010/09/21/mereka-yang-sudah-tahu-sebelumnya/

3. http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-pencabutan-bintang-mahaputra-untuk-dn-aidit.html

4. https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Rakyat_Sementara

5. http://www.radioprssni.com/prssninew/internallink/legal/Pedoman%20Perilaku%20revisi.htm

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun