Mohon tunggu...
Dodi Muthofar Hadi
Dodi Muthofar Hadi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Manjadda Wajadda

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus puluhan bahkan ribuan kepala"

Selanjutnya

Tutup

Money

Ajari Saya Perihal RIBA

10 Oktober 2015   22:42 Diperbarui: 16 Oktober 2015   16:23 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber ilustrasi : www.lensaindonesia.com"][/caption]

 

Saya pernah menemani ayah yang saat itu benar-benar berjuang agar putra putrinya bisa menyelesaikan kuliah hingga harus meminjam sejumlah uang ke Bank.

Pada awalnya adalah sebuah hal yang wajar di saat ayah saya membutuhkan uang yang besar jumlahnya kemudian meminjam uang ke bank. Saya anggap wajar karena beliau memiliki gaji/pensiun yang tidak semua dari gaji/pensiun beliau gunakan untuk mengangsur pinjaman di bank. Kami memiliki pinjaman dari sejak aktif sebagai abdi negara hingga pensiun, namun saya tahu betul mengenai pinjaman tersebut setelah pensiun.

Beliau merasakan begitu berat dengan angsuran yang tidak ada habisnya menurutnya. Sebagai gambaran kasar beliau punya perhitungan bahwa jumlah angsuran akan semakin lebih besar dari jumlah pinjamannya. Beliau menanyakan kepada saya kenapa angsuran yang sudah sampai pada jumlah pinjaman namun pihak bank masih saja memotong gaji pensiunnya?

Pertanyaan ini membuat saya semakin dekat dengan beliau dan menjadikan kami sering membicarakannya. Sebagai ilustrasi saja angkanya saya sebutkan agar mudah dihitung adalah pinjaman Rp 30 JT dengan jangka waktu 5 th dan angsuran Rp 1,5 JT. Maka menurut perhitungan kasar beliau saat angsuran ke 24 atau 3 tahun maka uang yang dikembalikan kepada bank sudah mencapai Rp 34,5 JT. Namun kenapa masih juga dipotong?

Kami memang tidak paham perhitungan bunga, ataupun bagi hasil ataupun istilah yang sekarang tren adalah flatt atau bunga tetap. Tapi kami paham bahwa pinjaman itu adalah hutang yang harus dibayar, dan berhutang kepada bank adalah berbeda dengan berhutang kepada rentenir. Namun saat bank juga meminta pengembalian yang lebih dari uang yang kami pinjam maka saya menjadi bertanya apa beda rentenir dengan bank?

Belum lama ini saya mendapatkan tawaran dari teman dari teman untuk menjadi karyawan di sebuah bank syariah. Dia memberikan kepada saya materi untuk saya pelajari termasuk simulasi pembiayaan dari bank syariah tersebut. Dalam materi itu juga dijelaskan tugas saya nantinya adalah mengunjungi nasabah dari bank tersebut dan menawarkan pembiayaan kepada purnawirawan/pensiunan.

Setelah saya pelajari saya menolak dengan alasan tidak tega, karena setelah saya hitung ternyata kewajiban mengembalikan dengan jangka waktu yang sudah disepakati jumlahnya menjadi 3 kali lipatnya. Namun karena saya ingin tahu lebih jauh dengan sistem syariahnya saya akhirnya menelpon kembali dan saya akan mencobanya. Alasannya adalah bentuk pinjaman dalam bank syariah berdasarkan pinjaman mudhorobah (untuk investasi) jadi wajar saat tiap bulan ada pembagian hasil usaha.

Apalagi dalam simulasi itu disebutkan bahwa jangka waktunya 15 tahun atau 180 bulan. Meskipun saya masih belum mengerti juga akan istilah yang digunakan yang kurang familiar seperti wadingah, murabahah, istishna, ijarah, musyarokah, margin rate, flatt per bulan dan lain-lain. Kenapa bank syariah tidak menggunakan bahasa Indonesia saja seperti bagi hasil perbulan atau bagi hasil persemester dan lain-lain. Seolah-olah memberi nama bank menjadi bank syariah hanya untuk mengarabkan bahasa perbangkan saja.

Tapi terlepas dari itu bukan sebuah masalah tentang perbedaan bahasa karena itu bisa dipelajari. Namun sebagai kritik positif saja bahwa bank lebih baik membahasakan istilah-istilah perbankkan dalam bahasa Indonesia selama ada di Indonesia. Terlebih bank syariah jangan kemudian hanya mengadobsi bahasa arab saja namun juga harus bisa menjaga kesyariahannya.

Pertanyaan yang muncul kemudian saat saya melihat kembali simulasi pembiayaan itu adalah tidak adanya pokok pinjaman dan bunga. Hal ini berbeda dengan bank konvensional yang selalu menampilkan pinjaman pokok dan bunga, sehingga mudah untuk dihitung jumlah pokok dan jumlah bunganya. Pada simulasi itu disebutkan Bp A meminjam uang  ke bank syariah sebesar Rp 175 JT dengan masa waktu 15 th dengan angsuran perbulan Rp 2.881.416.

Pertanyaannya adalah di saat nasabah mengangsur sampai bulan ke 60 (5 th) berapa uang yang harus dibayarkannya untuk melunasi pinjamannya?

Ternyata pertanyaan ini tidak dijawab oleh teman dari teman saya itu. Dia hanya menjawab bahwa itu ada perhitungannya sendiri dari bank syariah. Saya semakin penasaran untuk tahu lebih jauh apakah benar bank syariah itu berdasarkan syariah?

Mungkin besok akhirnya dia akan menelepon ke saya bahwa kontraknya dengan bank syariah itu sudah berakhir dan akhirnya gak jadi saya jadi karyawannya yang bekerja di bank syariah itu. Karena memang ternyata bank syariah hanya menggunakan karyawan outsorching yang di stok dari perusahaan outsorching. Saya jadi berpikir lagi kenapa perbankan begitu mudah mempekerjakan dengan sistem kontrak padahal mengurusi "hidup matinya" keuangan nasabahnya.

Semoga ada yang luang waktunya untuk memberikan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan saya. Terimakasih, salam sukses, salam juga buat kompasiana dan seluruh kompasianer, salam menulis.

 

Selanjutnya

Riba Dilarang Di Dalam Semua Ajaran Agama Samawi

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun