Mohon tunggu...
Muthmainnah Ilham
Muthmainnah Ilham Mohon Tunggu... Guru - Guru

Muthmainnah Ilham sebagai seorang guru yang senang membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Deflasi dan Dampaknya bagi Masyarakat

14 Oktober 2024   19:48 Diperbarui: 14 Oktober 2024   20:05 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Merujuk pada istilah perekonomian pada situs resmi Otoritas Jasa Keuangan dalam OJK Pedia, deflasi adalah keadaan yang menunjukkan daya beli uang meningkat dalam masa tertentu karena jumlah uang yang beredar relatif lebih kecil daripada jumlah barang dan jasa yang tersedia (deflation). Deflasi dapat diartikan secara sederhana yaitu ketika terjadi penurunan harga-harga barang dan jasa secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Kebalikan dari deflasi adalah inflasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut. Sejumlah ekonom mengatakan kondisi ini menandakan bahwa daya beli masyarakat melemah. Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti melaporkan pada September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12 persen. Dan secara tahunan, masih terjadi inflasi sebesar 1,84 persen. Penyebab deflasi bulanan terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau dengan kontribusi sebesar 0,59 persen. Komoditas dominan yang memberikan andil deflasi di antaranya adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, dan tomat.

Faktor Penyebab Terjadinya Deflasi

Menurut ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi deflasi terjadi. 

Pertama, pemutusan hubungan kerja (PHK). Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 53.993 tenaga kerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) per 1 Oktober 2024. Sebagian besar yang di PHK berasal dari sektor manufaktur dan angka PHK terbesar terjadi di Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta. Selain itu, dia juga memprediksi angka PHK hingga akhir tahun ini dapat mencapai lebih dari 70.000 tenaga kerja dan menimpa hampir semua industri. Pasalnya, mulai banyak perusahaan dinyatakan pailit atau akhirnya pindah ke daerah lain yang upah minimumnya lebih kecil. 

Kedua, minimnya lapangan kerja di sektor padat karya. Di tengah membludaknya PHK, pembukaan lapangan pekerjaan baru di sektor padat karya dalam lima tahun terakhir juga nyaris tidak ada. Padahal sektor ini menjadi andalan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun data BPS terakhir menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia justru turun kelas dalam lima tahun terakhir, menjadi hanya 47,85 juta. Situasi ini tak lepas dari kebijakan pemerintah yang lebih menggenjot investasi di sektor padat modal seperi tambang ketimbang padat karya yang membuka lapangan kerja baru. 

Ketiga, tingginya suku bunga. Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga acuan atau BI rate pada September 2024 menjadi 6% dari sebelumnya 6,25%. Suku bunga tinggi itu dipertahankan Bank Indonesia demi menjaga penguatan atau stabilitas nilai tukar rupiah. Tapi di sisi lain uang yang beredar di masyarakat menjadi lebih mahal. Akibatnya, meskipun suku bunga sudah dipangkas, belum mampu mengurangi lonjakan deflasi di bulan-bulan mendatang. Sebab, PHK massal dan tak adanya lapangan kerja baru belum sepenuhnya teratasi. Konsekuensinya, daya beli masyarakat juga melemah.

Dampak Deflasi

Menurunnya daya beli masyarakat akan berdampak pada menurunnya harga-harga barang. Penurunan harga barang akan berdampak pada pemasukan perusahaan yang selanjutnya memicu tingginya PHK massal. Hal ini tentu menyebabkan kesengsaraan rakyat makin meningkat. Realitasnya, bukan hanya kebutuhan pangan saja yang tak dapat terpenuhi tetapi kebutuhan akan rasa aman juga semakin pudar. Sehingga tingginya kemiskinan berbanding lurus dengan meningkatnya angka kriminalitas dan problematik sosial lainnya.

Dampak deflasi secara langsung tampak pada kesejahteraan anggota keluarga termasuk ibu dan anak. Saat ini semakin banyak ditemukan ibu yang stres karena memiliki peran ganda sebagai tulang punggung keluarga sekaligus mengurus anak dan rumahnya. Ibu yang stres dan hidup tidak bahagia ini akan memengaruhi pola pengasuhan pada anak dan pengaturan rumah tangga. Hal ini  pun berpotensi mengantarkan pada keretakan rumah tangga.

Di sisi lain kesehatan dan pendidikan pada anak-anak yang tidak terpenuhi dengan optimal. Jika untuk belanja kebutuhan sembako saja keluarga sudah mengurangi konsumsinya, apalagi untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan. Ini tentu menimbulkan bahaya besar di masa mendatang. Kualitas kesehatan dan pendidikan generasi akan memburuk di masa depan. Lantas, apa yang menjadi akar persoalannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun