Mohon tunggu...
Muthi Mozla
Muthi Mozla Mohon Tunggu... Penulis - Author || Coffee lovers

Penikmat sastra dan seni

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Baju Baru Riana

1 Mei 2021   06:52 Diperbarui: 1 Mei 2021   22:55 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tubuh mungilnya terlihat dibalut pakaian yang lusuh. Ia berdiri di atas trotoar sambil menadahkan sebuah kotak terbuat dari anyaman bambu yang mirip dengan wadah besek di acara tahlilan orang kampung yang meninggal dunia.

Gadis cilik itu Riana namanya. Seusia anak SD kelas 5. Tak ia hiraukan tatapan iba setiap orang yang memandangnya, gadis itu masih asyik mengamen saat lampu merah menyala. Tak peduli suaranya sumbang atau serak-serak sember. Ia terus bernyanyi seolah tak peduli jika beberapa telinga yang mendengarnya merasa terganggu dengan nada yang tak beraturan itu.

Pekerjaan ini terpaksa ia lakukan selama beberapa bulan belakangan. Bukan tanpa sebab. Ada wanita renta yang tergeletak tak berdaya di rumah kardus yang ditempatinya saat ini dan harus ia urus sendirian. Perempuan ringkih itu adalah neneknya. Wanita yang sebelumnya perkasa ditempa kerasnya kehidupan itu sekarang sudah kehabisan tenaga. Hanya bisa berharap dari seorang gadis cilik yang sekarang kehilangan masa depannya karena harus putus sekolah.

Seringkali ketika sedang asyik mencari nafkah, ia melihat kendaraan guru di sekolahnya sedang menunggu lampu hijau kembali menyala di perempatan lalu lintas. Bila matanya mendapati sosok itu, bergegas ia berlari sejauh mungkin supaya tidak terlihat. Riana tak mau mendapati ceramah panjang kali lebar bila ketahuan ia mengamen dan kembali bolos bersekolah. 

Semua ini karena keadaan yang memaksanya. Andai saja, sang ibu tak menelantarkan dirinya bersama neneknya yang sudah renta pasti semua ini takkan pernah terjadi. Pasti ia sudah berseragam rapi tiap pagi, menggendong tas dan mengenakan sepatu hitam bertali untuk bersiap berangkat ke tempatnya mengenyam ilmu. Andai saja, sang ayah tak pernah kepincut rayuan biduan dangdut kampungan yang kerap menggodanya saat ada pesta di kampung, pasti keluarganya masih utuh hingga saat ini. 

Bila mengingat itu semua, geram di dadanya akan bergemuruh. Namun rasa itu hanya mampu ia luapkan melalui air mata dan tangisan. Saat nenek masih mampu bekerja, neneknya lah yang sering menenangkannya. Memeluk tubuhnha erat hingga emosinya meredam. Bahkan sering kali sampai gadis cilik itu tertidur dalam pelukan nenek yang begitu mencintainya itu.

Hari ini, wadah berbentuk kotak yang terbuat dari anyaman bambu yang dipegangnya hampir penuh terisi. Meski nominal yang tertera pada tiap lembarnya tidak pernah melebihi lima ribu rupiah. Namun ia cukup bersyukur. Sekiranya ada yang mampu ia nikmati dari jerih payah hari ini. Ada bekal untuk mengisi perut malam ini dan esok pagi. Setelah itu ia akan kembali berpikir keras untuk mendapatkan penghasilan lebih. 

Terkadang, ada beberapa warga komplek yang butuh bantuan darinya. Seringkali ia mendapat upah jauh lebih besar dari penghasilannya mengamen seharian di perempatan lampu merah. Ini menjadi rejeki nomplok bagi dirinya dan neneknya. Sebagian dari penghasilannya bahkan berhasil ia tabung.

Sore ini ia berencana untuk pergi ke salah satu toko pakaian di pinggir jalan yang sering ia lewati. Ada setelan baju kurung cantik yang menurutnya sangat cocok dipakai nenek. Jauh-jauh hari ia mengumpulkan uang untuk membeli barang impiannya ini. Tak lupa pula setelan pakaian anak yang telah lama ia incar. Dua setel sudah cukup untuk hari raya nanti. Satu setel untuknya dan satu setel untuk neneknya.

Rasanya sudah tak sabar untuk menanti sore yang hendak beranjak menggantikan siang yang terik. Disekanya peluh yang membanjiri wajah hingga menetes dan terserap pakaian yang dikenakannya hari itu. Baju lusuh pemberian neneknya beberapa tahun lalu itu terlihat basah.

Waktu yang dinantikannya tiba. Riana meninggalkan perempatan lampu merah dan menyusuri trotoar menuju toko yang dimaksud. Dalam hayalannya, terbayang betapa anggunnya jika ia dan nenek mengenakan pakaian baru saat hari raya nanti.

Riana berlari-lari kecil sambil bersenandung. Sesekali kaki mungilnya iseng menendang kerikil yang berserakan di sepanjang trotoar. Beberapa meter lagi toko yang ditujunya mulai terlihat. Plang besar berlabel nama toko itu telah nampak di kejauhan. Senyum sumringah makin melebar menghiasi Wajah Riana yanh banjir peluh. Gambaran nenek dan dirinya mengenakan pakaian baru makin tertera jelas dalam hayalannya. Gadis cilik itu sungguh sangat terlihat bahagia. 

Namun tiba-tiba tubuhnya terpental hingga beberapa meter ke depan. Sebuah mobil yang dikendarai dengan kecepatan tinggi dari arah belakang melesat mendorong tubuh mungil Riana. Orang-orang segera berhamburan menghampiri. Tubuh gadis cilik yang berlumuran darah itu segera digotong dan dilarikan ke rumah  sakit terdekat.

Sementara di tempat lain, di sebuah rumah kardus nan mungil, wanita renta yang sibuk mengatur batuk yang menyiksanya, tengah menanti gadis kecil kesayangannya pulang dari mengamen. Namun hingga malam tiba gadis itu tak muncul jua. Kekuatiran tergambar jelas di raut wajahnya  yang mengeriput. Sore tadi ia sempat merasakan getaran hebat mengguncang dadanya dan membuatnya sesak. Ada rasa sedih yang begitu mendalam entah sebab apa. Malam ini sepertinya ia akan segera tahu penyebabnya.

###

Ketika gema takbir membahana, segundukan tanah pemakaman masih terlihat basah. Di atasnya tertancap nisan yang terbuat dari kayu bertuliskan nama seorang gadis cilik yang rela mengorbankan masa depannya demi perempuan renta yang begitu menyanyanginya selama hidup.

Riana binti Ibrahim. Lahir sebelas tahun lalu dari rahim perempuan yang entah dimana keberadaannya kini. Gadis cilik itu pasti sudah bersama para bidadari di surga. Bercengkerama dan bersenda gurau sambil menunggu masa dimana neneknya akan bersamanya nanti. Tidak ada lagi kepedihan. Tidak akan ada lagi kesakitan yang mengguncang dada. Wadah kotak terbuat dari anyaman bambu yang tak sempat ia belanjakan isinya itu tidak lagi diperlukan. Ia sudah mendapatkan baju baru yang jauh lebih indah dari baju impiannya. Bajunya kekal dan tak akan usang. Karena terbuat dari kain kafan yang putih seputih hatinya yang tulus.

Perempuan renta di hadapan pusara itu menaburi bunga dan air mawar di atas makam cucunya. Ia ciumi nisan yang tertancap di atasnya. Tangan rentanya menghapus air mata yang terus mengalir seakan enggan berhenti membanjiri pipi tirusnya. Cucu kesayangannya itu telah pergi dengan tenang. Selamat jalan, Sayang. Suaranya terdengar begitu lirih dan pedih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun