Secara etimologi, istilah tazkiyatun nafs terdiri dari dua kata, yaitu tazkiyah dan al-nafs. Tazkiyah berasal kata zakk, yang berarti penyucian, pembersihan. Sedangkan pengertian al-nafs adalah jiwa, yaitu jiwa yang bersifat latf (lembut), rhn (immateril, abstrak) dan rabbni.
Adapun secara terminologi bahwa tazkiyatun nafs adalah proses pensucian kotoran batin atau proses menghilangkan sifat-sifat jelek yang merintangi jiwa dalam berhubungan kepada-Nya, untuk kemudian mengisi dengan sifat terpuji, serta mengobati jiwa, agar hidup menjadi bermakna, baik dalam hubungan dengan Allah, dengan diri sendiri, maupun dengan sesama manusia.
Dasar-dasar Tazkiyat an nafs sudah dijelaskan Allah SWT dalam banyak ayat Al Qur-an, di antaranya firman Allah Ta'ala dalam surah Al Baqarah ayat 151 serta surah Ali 'Imraan ayat 164 yang artinya terdapat makna firman Allah SWT "menyucikan (jiwa) mereka" adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Ta'ala).
Adapun Nafs memiliki beberapa pembagian teori yakni yang pertama nafsu yang meliputi larangan, Hasrat, dan keinginan. Nafsu sendiri memiliki 2 dampak yang mengarah antara positif (baik) dan negatif (buruk). Yang kedua adalah bernafas yang berarti kehidupan.
Yang ketiga adalah kompetisi yang berarti perlombaan. Yang keempat adalah berharga yang meliputi kekuasaan, harta, ilmu dunia akhirat. Dan yang terakhir yakni jiwa yang memiliki 3 bagian yaitu Al-ammarah yakni yang selalu mendorong diri manusia untuk melahirkan perbuatan, sikap, dan Tindakan kejahatan atau syahwat hewani dan kesenangan kepada kejahatan.
Kemudian Al-Lawwamah yakni nafsu yang sudah menjalani perintah Allah dan menjauhi larangannya, namun masih banyak tejeremus dalam perbuatan maksiat sehingga membuatnya selalu menyalahkan, menyesali, mengecam diri sendiri. Yang terakhir Al-muthmainnah yakni nafsu yang sudah bersih dari kotoran-kotoran halus dan telah berganti sifat terccelanya menjadi sifat terpuji.
Sedangkan tujuan khusus tazkiyah al-nafs, antara lain, (1) pembentukan manusia yang berjiwa suci, bersih akidahnya, dan luas ilmunya; (2) membentuk manusia berakhlak mulia; (3) membentuk manusia yang terbebas dari perilaku tercela dan dipenuhi akhlak mulia. Tazkiyatun Nafs yang dikonsepsi oleh para ulama sufi memiliki urgensi yang pada umumnya adalah sebagai berikut; Pertama, tazkiyatun nafs akan mendatangkan kebahagiaan bagi manusia; Kedua, tazkiyatun nafs dapat mengembalikan jiwa kepada fitrahnya, karena pada mulanya jiwa manusia adalah bersih, tetapi kemudian terselubungi noda, hawa nafsu dan amarah; Ketiga, kesucian akal.
Fungsi akal adalah sebagai mesin pengolah berbagai ilmu pengetahuan. Berkat akal manusia bisa menempati kedudukan terhormat di Dunia; Keempat, kedisiplinan, keteguhan dan kebesaran jiwa.
Semua ini dapat diperoleh dengan tazkiyatun nafs yang diterapkan melalui latihan mendisiplinkan diri guna menghapus sifat-sifat buruk; Kelima, memperoleh ilmu, dzawq dan kasyf. Jiwa yang telah tersucikan akan mampu menangkap hakikat-hakikat pengetahuan. Adapun bagian jiwa yang berfungsi mencari hakikat pengetahuan adalah qalb (hati).
Langkah-langkah Tazkiyat an-Nafs Menurut Said Hawwa, tazkiyatun nafs pada hakikatnya menjauhkan diri dari kemusyrikan, mengakui keesaan Allah SWT, serta meneladani akhlak Rasulullah SAW tercinta.
Ada tiga fase yang mesti dilalui, yaitu tathahhur, tahaqquq, dan takhalluq. Tahap pertama berarti memfokuskan hati dan pikiran hanya kepada Allah SWT. Kuncinya adalah dzikir, baik secara lisan, batin, maupun perbuatan. Kepaduan dzikir ini digambarkan dalam surat Ali Imran ayat 191.
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." Di dalamnya, Allah menyinggung orang-orang yang mengingat-Nya baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Mereka itu menyadari tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dan bumi.
Tahap kedua dapat diartikan sebagai perwujudan sifat-sifat Allah yang mulia dalam aktivitas seorang Muslim. Semboyannya adalah berakhlak sebagaimana akhlak Tuhan. Misalnya, salah satu sifat Allah adalah ar-Rahmaan dan ar-Rahiim. Maka dari itu, seseorang hendaknya cenderung bersifat pengasih dan penyayang terhadap sesama.
Tahap ketiga adalah membiasakan akhlak-akhlak baik ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah puncak perwujudan disiplin diri, sehingga jiwa cenderung pada kondisi ideal.
Nama : Muthiah Mira Nabilah
Kelas : KPI/1C
NIM : 11220510000083
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H