Mohon tunggu...
Muthia Manaazila
Muthia Manaazila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Pendidikan Sosiologi 2019 FIS UNJ

life is good

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak PHK bagi Masyarakat terhadap Kebutuhan Papan, Pangan, Sandang di Masa Pandemi Covid-19

14 November 2020   12:20 Diperbarui: 14 November 2020   12:27 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Muthia Manaazila Garini (1405619047)

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ

Awal tahun 2020 ini telah menjadi peristiwa yang mampu menguncang dunia. Bagaimana tidak, virus COVID-19 yang kita dapatkan dari Wuhan, Cina ini sangat diwaspadai oleh umat manusia. Gejala yang mirip dengan flu, demam, serta batuk membuat ratusan ribu jiwa terinfeksi dan ratusan ribu jiwa lainnya meninggal dunia. Khusus di Indonesia sendiri pemerintah telah mengeluarkan status darurat bencana terhitung mulai tanggal 29 Februari 2020 hingga 29 Mei 2020 terkait pada virus ini dengan jumlah waktu 90 hari. Langkah-langkah telah dilakukan oleh pemerintah untuk dapat menyelesaikan kasus luar biasa ini, salah satunya adalah mensosialisasikan gerakan sosial distancing atau biasa disebut PSBB.

Sejak kedatangannya tepat pada bulan Maret 2020, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyatakan bahwa sesuai Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tantang pelaksanaan "Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta". Peraturan ini diberlakukan mulai 10 April hingga 23 April mendatang, yaitu sekitar 14 hari dan dapat diperpanjang jika masih terdapat bukti penyebaran. Konsep ini menjelaskan bahwa untuk dapat mengurangi bahkan memutus mata rantai infeksi COVID-19 seseorang harus menjaga jarak aman dengan manusia lainnya minimal 2 meter dan tidak melakukan kontak langsung dengan orang lain, serta menghindari pertemuan massal.

Tetapi pada kenyataannya, hingga saat ini pemerintah telah memberlakukan PSBB untuk kesekian kalinya pada tanggal 14 September hingga 25 september 2020, namun tetap tidak menemukan titik terang dimana seharusnya peraturan ini bisa mengurangi dan bahkan memutus tali penyebaran virus COVID-19 terhadap masyarakat. Justru, hingga saat ini terdapat lebih dari 450.000 pasien yang terinfeksi virus COVID-19. Seperti yang kita tau, masih banyak orang yang tidak mengindahkan himbauan ini karena beberapa alasan yang memberatkan seorang individu.

Di tengah pandemi COVID-19, segala aspek kehidupan cenderung mengarah pada situasi normal baru. Himbauan pemerintah kepada masyarakat untuk melakukan pekerjaan dari rumah (working for home) dan menjaga jarak secara fisik (social/physical distancing) serta kebijakan beberapa pemerintah daerah yang mengimplementasikan karantina wilayah secara parsial dan melakukan pembatasan kegiatan di keramaian, telah membuat perubahan situasi yang baru di hampir semua aspek kehidupan, termasuk perubahan pola rantai pasok pangan, kebutuhan papan dan sandang. Sistem atau pola kerja di sektor pangan memang tampaknya berubah sangat signifikan di tengah pandemi COVID-19 ini, mulai dari proses produksi hingga konsumsi, dari hulu hingga hilir.

Dalam perspektif struktural fungsinalisme milik Talcott Parsons, ia menjelaskan  untuk membangun suatu sistem sosial, atau struktur sosial, melalui pengajian terhadap pola hubungan yang berfungsi antara individu-individu, antara kelompok-kelompok, atau antara institusi-institusi sosial di dalam suatu masyarakat, pada suatu kurun masa tertentu. Meskipun eksplanasi secara fungsional dalam kajian-kajian sosial telah terlihat dalam karyakarya Spencer dan Comte, namun Durkheimlah yang telah meletakkan dasarnya secara tegas dan jelas.

Teori Fungsionalisme struktural yang di pelopori oleh Talcot Parson, asumsi dasar dari teori ini adalah, salah satu paham atau prespektif dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tidak dapat berfungsi tanpa adanya hubungan dengan bagian yang lainnya. Kemudian perubahan yang terjadi pada satu bagian yang akan menyebabkan ketidakseimbangan dan pada gilirannya akan menciptakan perrubahan pada bagian lainnya.

Perkembangan fungsionalisme didasarkan model perkembangan sistem organisasi yang didapat dalam biologi, asumsi dasar teori ini ialah bahwa semua elemen harus berfungsi sehingga masyarakat dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggota akan nilai-nilai kemasyarakatannya tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.

Namun, dalam permasalahan sosial ini terdapat banyak dampak negative yang dialami pekerja saat diputuskan harus mendapat PHK. Itu artinya, dalam system ini perspektif structural fungsional tidak berfungsi atau akan hilang dengan sendirinya karena sebuat perusahaan atau tempat kerja tersebut telah memutuskan fungsional structural tersebut dengan cara melakukan PHK kepada pekerjanya.

Pada hakikatnya, setiap manusia membutuhkan pangan, papan, dan sandang untuk keberlangsungan hidupnya. Namun, saat pandemi ini melanda Indonesia banyak sekali masyarakat yang semakin kekurangan dan bahkan kehilangan pekerjannya. Pembatasan aktivitas masyarakat berpengaruh pada aktivitas bisnis yang kemudian berimbas pada perekonomian.

Banyak perusahaan yang harus melakukan PHK (Pemutusan Hak Kerja) bagi beberapa karyawan agar perusahaan tersebut tidak mengalami kerugian atau bahkan gulung tikar. Sebab, di masa ini keuntungan tertinggi di dapatkan dari konsumsi manusia secara terus menerus. Dengan adanya konsumsi, maka penjualan meingkat. Pabrik beroperasi, produksi berjalan karena ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Jual beli terjadi. Roda ekonomi berputar seperti itu. Lalu apa yang terjadi saat konsumsi manusia menurun? Tidak berminat saat melihat penjualan produk? Tidak mampu memenuhi hasrat untuk apa yang mereka inginkan?

Itulah yang terjadi saat pandemi ini, masyarakat hanya menginginkan apa yang mereka butuhkan untuk saat ini. Bagaimana cara mereka dan keluarganya bisa bertahan hidup ditahap situasi sulit ini, bagaimana bisa mereka tetap bisa memakan makanan yang bergizi, bagaimana mereka tetap bisa uang sewa kontrakan yang ditempati. Hanya itu. Mereka berusaha untuk tetap stabil dalam perekonomian mereka sendiri. Jika dilihat dari perspektif petani atau produsen makanan, mereka mulai merasakan perubahan terkait pasokan input dan juga harus menyesuaikan protokol berproduksi untuk menjamin kualitas dan keamanan pangan di tengah pandemi COVID-19, khususnya di wilayah yang sudah terkontaminasi.

Kebutuhan pangan, papan, dan sandang manusia adalah yang terpenting saat ini. Pemberlakuan PHK memang sangat disayangkan, namun kembali lagi, semua manusia menginginkan apa yang mereka butuhkan. Secara ekonomi, menurunnya jumlah permintaan produk (deman) pengusaha akan mengurangi jumlah produksi (supply) yang akan berimbas pada pengurangan jumlah tenaga kerja, baik secara langsung dalam bentuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maupun merumahkan karyawan dengan konsekuensi dunia usaha membayar beberapa persen dari gaji karyawan yang dirumahkan.

Konsekuensi logis dari pengurangan jumlah produk industri, tenaga kerja yang banyak dikurangi adalah tenaga kerja di level menengah ke bawah (bidang produksi). Akibatnya, bagi individu yang terkena PHK dapat menghentikan proses pemasukan (income generating) keluarga. Karyawan yang di PHK dan keluarganya pada kondisi ini sering disebut sebagai kemiskinan sementara. Menurut Darwin (2005), kemiskinan sementara (transient poverty) adalah kemiskinan yang dialami oleh orang (keluarga) yang sebelumnya tidak miskin, tetapi karena kondisi eksternal tertentu.

Dalam konteks pekerjaan sosial, keluarga adalah sebagai sebuah jaringan sosial alamiah fungsional dan sebagai sistem interaksional berdimensi resiprokalitas. Sebagai sebuah jaringan sosial alamiah yang fungsional, keluarga merupakan pusat jejaring yang di dalamnya mengandung potensi, kemampuan, dan kekuatan yang dapat digunakan sebagai sumber pemecahan masalah yang dihadapi.

Pandangan ini juga menganggap, keluarga sebagai sumber keberdayaan dan sumber kekuatan bagi anggotanya. Sedangkan sebagai sistem interaksional berdimensi resiprokalitasmemandang, bahwa keluarga terdiri dari berbagai subsistem berupa anggota keluarga, dan masing-masing anggota keluarga secara alamiah dan kultural telah diberikan fungsi dan peran masing-masing. Untuk menjalankan fungsi dan peran tersebut, setiap anggota keluarga harus saling berhubugan secara dinamis serta menata hubungan sosial dengan lingkungan eksternal. Masalah akan muncul, jika dalam anggota terjadi penyumbatan untuk menjalankan peran sebagai akibat kurang kuatnya hubungan resiprokalitas.

Sebagai sebuah lembaga, keluarga mempunyai fungsi yang cukup luas terutama sebagai fungsi pelayanan pada setiap anggota. Idealnya sebuah keluarga dapat menjalakan fungsinya (dalam istilah pekerjaan sosial disebut sebagai keberfungsian keluarga). Suharto dkk (2003) mendefinisikan keberfungsian sosial sebagai kemampuan orang (individu, keluarga, kelompok atau masyarakat) dan sistem sosial (lembaga dan jaringan sosial) dalam memenuhi/merespons kebutuhan dasar, menjalankan peranan sosial, serta menghadapi goncangandan tekanan.

Permasalahan pertama kali dihadapi oleh keluarga yang terkena PHK adalah keluarga dihadapkan pada masalah ketidakpastian kapan penganggurannya berakhir. Realisasi dari perencanaan keluarga sosial keluarga (misalnya: untuk pendidikan anak, membayar angsuran/kredit, bahkan tertutupnya akses keuangan, dan tidak jarang permasalahan ini akan memberikan tekanan psikologis (stress). Sementara itu, kondisi ini belum didukung dengan jaminan sosial yang memadai dan pekerja tidak mempunyai posisi tawar yang seimbang dengan pemilik lapangan kerja/modal.

Dampak ini sangat mengkhawatirkan, sebab tidak hanya cemas mengenai kebutuhan pangan mereka, namun papan dan sandang juga menjadi hal yang cukup serius. Pasalnya, sebuah keluarga atau seorang individu sekalipun harus menggunakan pakaian yang layak dan memadai. Memang, saat pandemi ini belum berlangsung masing-masing dari kita sudah memiliki pakaian tersendiri, tapi waktu terus berjalan, manusia semakin tumbuh dan berkembang, ukuran tubuhnya semakin membesar, itu adalah kondisi fisik yang alami dan wajar, bukan hal klasik jika seseorang membutuhkan pakaian baru untuk dikenakan. Apalagi untuk keluarga yang memiliki anak kecil dengan umur batita menuju balita, tentunya anak tersebut harus mengenakan pakaian yang sesuai dengan ukuran tubuhnya.

Pemerintah menyebutkan bahwa angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dampak dari virus corona atau COVID-19 telah mencapai 3,05 juta. Seperti yang dikatakan Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri, Kementerian Koordinator Perekonomian, Bambang Adi Winarso menyampaikan penciptaan lapangan kerja saat ini tidak ada. Bahkan yang terjadi adalah kehilangan lapangan kerja. Kemenaker melaporkan tenaga kerja terdampak COVID-19 sekitar 3,05 juta orang (per 2 Juni 2020) dan memperkirakan tambahan pengangguran bisa mencapai 5,23 juta.

Bappenas sebelumnya memperkirakan tambahan penggungaran tahun ini mencapai 4,2 juta. Namun angka itu bisa lebih besar karena pencari kerja cukup tinggi. Hal itu terindikasi dari Kartu Prakerja, pendaftar 10,8 juta sampai akhir Mei 2020. Itu artinya angka kemiskinan dan pengangguran masih akan terus meningkat. Bahkan dalam skenario sangat berat diperkirakan kemiskinan akan bterus bertambah jika pandemi ini terus menerus berlangsung. Kelompok yang paling terdampak dari COVID-19 adalah penduduk perpendapatan rendah dan pekerja di sektor informal. Adapun di perkotaan yang terdampak adalah bisnis perdagangan. Wabah COVID-19 menyebabkan gelombang PHK naik signifikan.

Pasar tenaga kerja pasca krisis pun mendapat dampak dari berlangsungnya wabah virus COVID-19 ini. Tim riset SMERU menyebutkan, setidaknya ada empat poin utama yang akan mendorong terjadinya perubahan lanskap pasar tenaga kerja pasca krisis ekonomi dan pandemi COVID-19. Pertama, tingkat penyerapan tenaga kerja tidak akan sebesar jumlah tenaga kerja yang terkena PHK. Selisih tenaga kerja yang tidak terserap ini, kemudian akan masuk ke dalam kelompok pengangguran.

Kemungkinan besar pengangguran, baik angkatan kerja baru dan mereka yang ter-PHK karena krisis, akan bekerja pada sektor-sektor informal. Kedua, perusahaan hanya akan merekrut tenaga kerja yang memiliki produktivitas tinggi dan mampu mengerjakan beberapa tugas sekaligus (multitasking). Sebagai contoh, usaha perhotelan hanya akan merekrut tenaga kerja yang memiliki kemampuan manajerial dan juga bisa melayani tamu di bagian restoran. Hal ini cukup lumrah sebenarnya, bahkan sejak sebelum pandemi menerpa. Namun, prasyarat ini akan semakin dibutuhkan oleh perusahaan dalam proses rekrutmen pekerja pasca krisis.

Ketiga, lapangan usaha yang akan berkembang pasca pandemi COVID-19 adalah usaha yang berhubungan dengan teknologi. Tenaga kerja yang dibutuhkan juga adalah tenaga kerja yang memiliki kemampuan di bidang teknologi.  Hal ini terbukti dengan terjadinya pergeseran pola kerja selama pandemi. Jika sebelumnya pekerja diharapkan untuk bekerja di tempat kerja, maka selama pandemi ini perusahaan juga pekerja harus beradaptasi untuk mengurangi aktivitas mereka, terutama yang melibatkan bertemunya banyak orang.

Salah satu caranya adalah dengan penerapan pola kerja work from home (WFH). Keempat, sistem alih daya (outsourcing) dan pekerja kontrak akan lebih diminati oleh pelaku usaha. Sebab, keduanya memberikan fleksibilitas tinggi kepada perusahaan dalam hubungannya dengan tenaga kerja. Fleksibilitas ini dinilai menjadi menarik bagi para pelaku usaha untuk mengimbangi dengan situasi dunia usaha yang masih dinamis di masa mendatang. Namun, harus mengingat bahwa kesejahteraan tenaga kerja ini harus dijaga dengan memberikan perlindungan ketenagakerjaan kepada mereka.

Suatu masyarakat tentunya memerlukan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan adanya banyak faktor yang membuat masyarakat harus terkena PHK tentunya sangat memprihatinkan. Keperluan sandang juga menjadi perhatian saat ini, terlebih untuk mereka yang memiliki keluarga tidak jarang kita temukan bahwa mereka kesulitan untuk membayar angsuran kontrakan atau rumah yang mereka tinggali. Akibatnya, jika mereka tidak bisa membayar uang cicilan tersebut, mereka terpaksa harus meninggalan rumah tersebut dan mencari tempat yang harganya lebih murah atau harus menumpang ke tempat lain. Tentunya, kondisi ini sangat menyulitkan bagi masyarakat yang terdampak.

Apabila kondisi keluarga seperti ini berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama, maka dikhawatirkan dapat menjadi kemiskinan kronis (cronic poverty). Dampak krisis tersebut tidak hanya sebatas pada permasalahan PHK tetapi mempunyai keterkaitan baik secara langsung terhadap orang-orang yang menjadi tanggungan (keluarganya), maupun secara tidak langsung kepada lapangan kerja (sektor informal) dan jasa yang berfungsi sebagai support (pendukung) dalam pengembangan industri, seperti penjaja makanan jajanan, transportasi dan lain-lain. Jika kondisi ini tidak mendapatkan perhatian dan pelayanan secara memadai, dikhawatirkan dapat berdampak pada meningkatnya permasalahan sosial dan lebih kompleks.
           

Referensi

RB, Dana. (2020). Analisis Perilaku Masyarakat di Indonesia dalam Menghadapi Pandemi Virus Corona (Covid-19) dan Kiat Menjaga Kesejahteraan Jiwa. Univeristas Mercu Buana. SALAM Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i 7(3). Diakses pada Tanggal 13 November 2020 Pukul 11.24

Fajar, B.H. & Akita, A. V. (2020). Kebijakan Pangan di Masa Pandemi COVID-19. CSIS Commentaries DMRU-048-ID. Diakses pada Tanggal 13 November 12.00

Gunawan, G., & Sugiyanto, S. (2011). Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Pasca Pemutusan Hubungan Kerja. Sosio Konsepsia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial. Vol. 16 No. 01. Diakses pada Tanggal 13 November 13.21

Kompas.com. (2020, 11 Agustus). Pandemi Covid-19, Apa Saja Dampak pada Sektor Ketenagakerjaan Indonesia? Diakses pada 14 November 2020.

Marzali, Amri. (2014). Struktural-Fungsionalisme. Universitas Indonesia. ANTROPOLOGI NO. 52. Diakses pada Tanggal 14 November 11.38

digilib.uinsby.ac.id/2581/5/Bab%202.pdf

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun