Mohon tunggu...
Muthia D. Santika
Muthia D. Santika Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog

Mengintegrasikan keilmuan psikologi konvensional dengan prinsip Islam untuk memberikan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan unik setiap individu, sehingga mereka dapat menjalani hidup yang lebih sehat, bermakna, bahagia di dunia dan akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mengurai Depresi melalui Lensa Psikologis yang Berbeda

1 Agustus 2024   19:30 Diperbarui: 3 Agustus 2024   00:08 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Behavioral, Cognitive-Behavioral, dan Interpersonal

Depresi adalah penyakit kesehatan mental yang kompleks yang disebabkan oleh sejumlah variabel. 

Untuk memahami penyebabnya secara menyeluruh, perlu untuk memeriksa penyebab depresi melalui beberapa sudut pandang psikologis. 

Artikel ini membahas pendekatan perilaku (behavioral), kognitif-perilaku, dan interpersonal, yang masing-masing menawarkan wawasan unik tentang bagaimana depresi dapat berkembang. 

1. Perspektif Behavioral 

Dalam perspektif perilaku, kita diajak untuk memahami perilaku manusia sebagai hasil dari interaksi antara manusia dan lingkungannya.

Salah satu teori perilaku yang membahas tentang gangguan depresi adalah teori learned helplessness. Teori ini menyatakan bahwa kejadian negatif yang tidak dapat dikendalikan merupakan hal yang paling mungkin menyebabkan depresi. 

Kejadian yang sering terjadi atau berulang dapat memberikan kesan kepada seseorang bahwa mereka hanya memiliki sedikit kendali terhadap lingkungannya. 

Persepsi ketidakberdayaan ini dapat menyebabkan berkurangnya motivasi dan berkurangnya upaya untuk memanipulasi sumber stress dari lingkungan, sehingga sulit bagi individu untuk belajar bagaimana mengelola kejadian yang sesungguhnya masih dapat diubah melalui upaya. 

Learned helplessness ini muncul dalam perilaku yang mirip dengan gejala depresi: motivasi yang buruk, pasif, dan keragu-raguan.

Namun menurut saya pribadi konsep teori ini memiliki kelemahan. Dampak learn helplessness tidak selamanya negatif tergantung kepada event (kejadian) apa yang terjadi di lingkungan. 

Dampak negatif learn helplessness dapat terjadi jika individu sesungguhnya masih bisa memanipulasi kejadian di lingkungannya atau mengupayakan agar terjadi perubahan pada sumber stress di lingkungan.

Namun, tidak dilakukan karena yakin bahwa tidak ada yang bisa diupayakan untuk mengubah kondisi tersebut. Contohnya pada fenomena dimana seorang istri yang tetap bertahan dalam pernikahan dengan suaminya yang melakukan KDRT berulang.

 (Pexels/Ron Lach)
 (Pexels/Ron Lach)

Pada kejadian-kejadian dimana individu tidak dapat melakukan apapun untuk mengubahnya (misal: mengalami bencana alam atau kematian orang terdekat) learn helplessness malah akan berdampak positif karena akan melahirkan sikap pasrah. 

Sikap pasrah ini yang akan memunculkan penerimaan (acceptance) yaitu fase akhir yang penting dalam proses grief (denial-anger-bargaining-depression-acceptance).

2. Perspektif Cognitive Behavioral 

Aaron Beck, founding father terapi perilaku kognitif berpendapat bahwa orang yang menderita depresi memandang dunia melalui tiga rangkaian cara berpikir negatif, yaitu mencakup pandangan negatif tentang diri mereka sendiri, dunia, dan masa depan. 

Mereka juga melakukan kesalahan dalam berpikir yang memperkuat tiga rangkaian cara berpikir negatif, seperti mengabaikan peristiwa positif dan membesar-besarkan peristiwa negatif. Pemikiran negatif ini dapat menyebabkan dan mempertahankan depresi.

Proses berpikir yang salah juga dapat menjadi penyebab depresi. Orang yang depresi cenderung menunjukkan ingatan yang terlalu umum atau overgeneralization. 

Misalnya, ketika mereka mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari seseorang mereka akan cenderung berpikir "Orang-orang jahat terhadapku" bukan memikirkan fakta yang sebenarnya terjadi yaitu "Si A kemarin berbicara dengan ketus". 

Kesalahan berpikir ini dapat menyebabkan munculnya pikiran otomatis dan secara berbahaya akan menghasilkan keyakinan yang salah terhadap diri sendiri.

Keyakinan yang salah terhadap diri sendiri dapat meluas menjadi sebuah pola pikir bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan individu disebabkan oleh kesalahan dirinya sendiri atau self-blaming. 

Sehingga kecenderungan untuk menyalahkan diri dan selalu merasa bersalah -yang merupakan gejala depresi, menjadi menetap. Mereka menjadi terbiasa dengan pola pikir yang salah dan selalu memikirkan bahwa hal buruk akan terjadi dalam seluruh aspek kehidupannya. 

3. Perspektif Teori Interpersonal 

Orang yang mengalami depresi memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami konflik dalam hubungan relasi sosial. Beberapa diantara orang yang mengalami depresi memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk mendapatkan persetujuan dan dukungan dari orang lain, tetapi mereka juga mudah merasakan penolakan dari orang lain, suatu sifat yang dikenal sebagai rejection sensitivity. 

Mereka membutuhkan kepastian yang berlebihan dalam berelasi dan terus menerus mendambakan konfirmasi dari orang lain bahwa mereka diterima dan disukai. Mereka tidak pernah sepenuhnya mempercayai validasi yang diberikan orang lain kepada mereka, maka mereka terus kembali untuk meminta penguatan. 

Seiring berjalannya waktu, keluarga dan teman mereka mungkin menjadi frustrasi atau merasa kesal karena tindakan individu tersebut. 

Jika individu tersebut membaca tanda-tanda ini dari orang disekitar mereka, maka ia akan merasa semakin tidak aman dan semakin memperburuk kondisi depresinya. 

***

Dalam konseling atau psikoterapi, mengetahui riwayat berkembangnya keluhan menjadi hal yang wajib untuk diketahui oleh psikolog. Karena dengan itu, maka akan disusun sesi terapi yang sesuai dengan tingkat keparahan gangguan (durasi, frekuensi, intensitas), onset (waktu permulaan munculnya keluhan), latar belakang dan karakteristik kepribadian klien. 

Sehingga konseling atau psikoterapi yang diberikan akan bersifat sangat khas dan berbeda pada setiap klien, karena bisa jadi tidak efektif jika diberikan pada klien lain meskipun dengan tipe diagnosis gangguan mental yang sama. 

Begitupun dalam menerapkan teori-teori psikologi di ruang konseling, dalam praktiknya psikolog seringkali menggunakan pendekatan eklektik atau gabungan dari beberapa pendekatan psikologi. 

Karena tidak ada satu teori (buatan manusia) yang dapat secara komprehensif memberikan gambaran yang serupa pada kasus yang dihadapi psikolog. 

Ditambah lagi, setiap individu memiliki kepribadian yang unik dan khas sebagai representasi jalan kehidupan yang juga berbeda. Jadi sesungguhnya tidak perlu membandingkan diri dengan pencapaian orang lain, karena hal ini dapat membawa ke dalam mood depresif.

Referensi:

Nolen-Hoeksema, Susan. (2014). Abnormal Psychology . New York: McGraw-Hill

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun