Mohon tunggu...
Putri Fahira Muthiarani
Putri Fahira Muthiarani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Ekonomi Syariah IPB University

Saya merupakan mahasiswi Ilmu Ekonomi Syariah IPB University angkatan 2022. Saya gemar menonton drama, mendengarkan musik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

4 Cara Mengukur Kemiskinan dalan Perspektif Ekonomi Islam

11 Maret 2024   22:35 Diperbarui: 11 Maret 2024   22:40 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Dalam perspektif ekonomi Islam, kemiskinan bukanlah sekadar masalah pendapatan individu semata, melainkan juga perihal keadilan distribusi ekonomi. Bagaimana individu memperoleh pendapatan mereka, dan sejauh mana distribusi ekonomi mencerminkan keadilan menjadi pijakan utama dalam menilai tingkat kemiskinan. Prinsip utama ekonomi Islam adalah keadilan sosial dan ekonomi. Prinsip keadilan ekonomi menjadi landasan utama, di mana distribusi kekayaan dan pendapatan ditekankan untuk mengatasi ketidaksetaraan dan kemiskinan. Melalui kewajiban zakat dan sumbangan infaq, sumber daya ekonomi dialokasikan secara adil, memberdayakan masyarakat, dan membantu mengurangi kemiskinan. Larangan riba dan pengembangan lembaga keuangan syariah bertujuan mencegah eksploitasi keuangan yang dapat memperparah kondisi kemiskinan.

Dalam perspektif Islam, pengukuran kemiskinan tidak hanya mencakup dimensi materi atau ekonomi, tetapi juga dimensi spiritual, sosial, dan kesejahteraan umum. Beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengukur kemiskinan dalam perspektif Islam meliputi:

Alat Ukur Kemiskinan dalam Perspektif Ekonomi Islam

1. Had Kifayah

Dalam perspektif ekonomi Islam, pengukuran kemiskinan dapat dilakukan dengan menggunakan konsep "had kifayah". Had Kifayah adalah sistem untuk menetapkan standar kemiskinan bagi individu berdasarkan pendapatan dan kewajiban finansial yang dimilikinya. Had al-Kifayah secara keseluruhan adalah standar ekonomi yang diperlukan untuk memastikan keberlangsungan hidup seseorang dan tanggungannya. Ini tidak hanya menetapkan batas minimum, tetapi juga mencakup kebutuhan esensial yang diperlukan untuk memastikan kelangsungan hidup individu dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Untuk mengukur kemiskinan dengan had kifayah, dilakukan dengan menentukan kategori-kategori kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Kemudian, tingkat pengeluaran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini akan dihitung berdasarkan harga-harga pasar yang adil dan layak. 

Jika pengeluaran individu atau keluarga tersebut tidak mencapai atau melebihi had kifayah, maka mereka dianggap miskin dalam konteks ekonomi Islam. Pengukuran kemiskinan dengan had kifayah tidak hanya memperhitungkan aspek materi, tetapi juga aspek kualitatif seperti keadilan, kecukupan, dan kesejahteraan spiritual. Dari segi budaya, Islam mendorong setiap individu untuk aktif dalam meningkatkan kualitas hidupnya dan mempromosikan solidaritas sosial melalui zakat, infaq, dan shadaqah. Dari segi struktural, Islam menegaskan peran penting negara dalam memastikan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata, serta menjaga stabilitas dan perkembangan ekonomi untuk kemajuan dan kesetaraan, sambil menjadi fasilitator pemberdayaan masyarakat untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.

2. Model CIBEST

Center of Islamic Business and Economic Studies meluncurkan model perhitungan kesejahteraan yang dikenal sebagai model CIBEST. CIBEST hadir dengan konsep perhitungan kemiskinan dan kesejahteraan yang juga mempertimbangkan faktor spiritual. Model ini bertujuan untuk menetapkan standar perhitungan antara kebutuhan material dan kebutuhan spiritual sebuah keluarga sebagai unit terkecilnya.

Model CIBEST mengklasifikasikan kesejahteraan keluarga ke dalam empat kategori utama. Pertama, keluarga sejahtera adalah keluarga yang memiliki cukup kebutuhan material dan spiritual untuk memenuhi kebutuhan dasar serta mengembangkan potensi diri. Kedua, keluarga miskin spiritual namun kaya material adalah keluarga yang mungkin memiliki kecukupan materi namun kekurangan dalam aspek spiritual, seperti kehilangan makna hidup atau kurangnya kepuasan batin. Ketiga, keluarga miskin material namun kaya spiritual adalah keluarga yang mungkin mengalami kekurangan dalam hal materi, tetapi memiliki kekayaan spiritual yang tinggi, seperti kebahagiaan, kedamaian batin, dan hubungan harmonis dengan sesama. Terakhir, keluarga miskin absolut adalah keluarga yang mengalami kekurangan secara mutlak, baik dari segi material maupun spiritual. Dengan diberlakukannya model ini, diharapkan Indonesia dapat lebih baik dalam menghitung garis kemiskinan.

3. Garis Kemiskinan

Menurut Badan Pusat Statistik, Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan dengan Garis Kemiskinan Non Makanan. Penduduk dengan rata-rata pengeluaran per kapita/bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Terdapat empat kategori garis kemiskinan, yaitu sangat miskin (kronis), miskin, hampir miskin, dan tidak miskin. Rumus yang digunakan untuk mengukur garis kemiskinan (GK) ini adalah Garis Kemiskinan = Garis Kemiskinan Makanan + Garis Kemiskinan Non Makanan. Untuk mencari data garis kemiskinan makanan dan non makanan, umumnya sudah tersedia di laman Badan Pusat Statistik (BPS). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun