Mohon tunggu...
Nurul Mutmainnah
Nurul Mutmainnah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Jakarta

Mencoba mengangkat rasa untuk berbagi. Dalam garapan kebaikan. Meski masih memulai untuk mencoba.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sudut Duka Tanpa Suara

15 Juli 2022   11:50 Diperbarui: 15 Juli 2022   11:57 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak ada hilir mudik dari penumpang musafir. Semua terhenti tanpa kompas penentu arah. Buntu. Tak ada gambar yang ingin ku pajang. Cukup meraba bagi yang merasakannya. Rumit bukan. Memahami setiap makna pada setiap sela ruang yang ada. Yang tersimpan rapi dari seorang anak kecil. Salah satu bagian dari keluarga kami. Tokoh utama di antara tokoh-tokoh di rumah ini. Pemain peran besar dalam teater hidup kala ia tiada. Entahlah. Yang jelas tak ada celah tuk bertemu. Karena jarak tak membagi pintunya. Untuk bersua. Apalagi kalau bukan kematian. Betapa sulit melalui setiap nafas ketika tak terasa lengkap. Terkadang diri ingin mengamuk dengan takdir. Yang tanpa belas kasih mengambil tanpa menunggu. Dalam waktu yang tiba-tiba. 

Menetapkan waktu dalam kurun 9 tahun bersama adik laki-laki ini. Setiap tempat dalam ruang yang tak bisa ku beri sinarnya. Karena kenangan yang masih hangat memberi cerita kala mata memandang setiap sisi yang terlihat. Sempat berpikir ingin buta karena sesak yang menyiksa kala rindu tak bisa bermanja ria dengan pertemuan. Melainkan hanya belaian lewat batu nisan yang berdiri. Semakin pelik rasanya saat jiwa sibuk menipu untuk menerima ketentuan yang ada. Hirap di telan detik, menit, dan jam yang saban hari. Namun tetap saja akan kembali. Tak mudah melepas seperti di kata orang. Mulut lebih mudah mengucap. Sementara hati semakin mengecap rindu akan hadirnya. Bertanya tanpa ditanya? 

" Benarkah adikku benar-benar telah tiada? Atau hanya tertidur untuk sementara waktu? Atau terlelap sebagai insan yang tengah mati suri sebelum keajaiban memberikan jantung kembali berdetak? " lagi dan lagi aku menolak luka untuk rudita. Berharap akan tawanya yang akan kembali bersuara. Berpura-pura tuli dalam akal. Bisu dalam tanda. Dan buta dalam sendu. Padahal nyatanya memang telah tiada.

Semuanya mengasah ikhlas untuk keluarga kami. Di bantai tanpa jeda. Dengan sekali pukulan rahsa. Menjemput sang adik masuk menuju Tuhan-nya. Tetap tegar meski masih terpaksa. Pinta terus merapal doa untuk janji bersama. Saling berpegang tangan meski lewat mimpi dan ingatan sekejap. Kami merindukanmu.

                                 *******

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun