Tak banyak yang ingin di inginkan. Karena keinginan ini mustahil. Sebuah surat kecil yang sangat berharga. Tak sempat terucap.Â
***
Anak kecil itu berlari secepat kilat menuju mesjid dekat rumahnya. Tak ada rasa peduli dengan bekas liur yang masih tertanda di dekat bibirnya. Bahkan wajahnya belum di basahi air sama sekali. Yang dia tahu bagaimana caranya bisa berdiri di depan mikrofon mesjid tanpa ada yang mengisinya. Menyesal kecil karena tak bangun dengan sigap kala Abinya membangunkan sholat shubuh. Cukup di maklumi saja. Rahman kecil masihlah bocah dengan umur 8 tahun.Â
Kakinya bagai terbang tak menapak di tanah. Sepenting itukah? Tak ada yang tahu. Napas tersengal mengalir dari mulutnya. Matanya jeli melihat posisi yang di inginkannya.Â
" Allahu,,,", Abinya hendak memulai mengumandangkan adzan.
" Ehhh, jangan dulu abi! Biar saya yang adzan, " dengan pesat ia menghalangi suara abinya. Memutar arah berlawanan mikrofon.
' Astaghfirullahhh ' Abinya hanya bergumam kecil sambil menahan tawa melihat penampilan berantakan khas bangun tidur.Â
" Allahu akbar, Allahu akbar,,,,," suara Rahman kecil mulai menggema. Menyusup masuk ke telinga-telinga tetangga tuk memanggil siapa saja yang sholat.
***
Dan kau tahu, kisah ini selesai tanpa ada lanjutannya lagi. Karena Rahman kecil tak lagi ada di dunia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H