Mohon tunggu...
Ali Mutasowifin
Ali Mutasowifin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

just an ordinary teacher

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Karena Kita Pakai Tunai, Orang Lain Menjadi Berdosa

14 Juni 2015   16:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:03 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saat ini, fungsi permen telah digantikan oleh pertanyaan yang diajukan kasir: "Uang kembalian boleh disumbangkan, Pak/Bu?". Berdasarkan observasi singkat di lapangan, cara ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan permen. Pada masa dulu, permen hanya menggantikan uang receh yang kurang dari Rp 100, namun kini para pelanggan tampaknya lebih rela menyumbangkan uang kembalian, meskipun nilainya mungkin mencapai beberapa ratus rupiah.

Sayangnya, para pelanggan tidak senantiasa memperoleh informasi memadai, kemana "sumbangan" yang dia berikan itu mengalir. Akibatnya, beragam informasi pun berseliweran, terutama di media sosial. Fitnah yang berkaitan dengan SARA pun tak jarang menyebar. Belum lama ini, misalnya, sebuah jaringan minimarket terkemuka sampai merasa perlu membuat pernyataan pers untuk menjelaskan kemana saja sumbangan yang dikumpulan telah disalurkan selama ini. Penjelasan ini diperlukan untuk meluruskan gosip yang banyak beredar yang dikhawatirkan akan dapat merugikan kelangsungan bisnisnya di masa mendatang.

Kotak amal menangkap kembalian

Selain itu, penggunaan uang tunai di pusat perbelanjaan juga memunculkan ide jahat lain. Kali ini, orang memanfaatkan "keluguan" dan niat tulus orang untuk menyumbang dan beramal. Di dekat kasir atau di pintu masuk/keluar pusat perbelanjaan berskala besar maupun kecil, sering kita jumpai kotak amal. Tidak jarang, pada satu tempat saja terdapat beberapa kotak amal/sumbangan berjajar dengan beragam bentuknya.

Kotak-kotak amal/sumbangan itu berlabelkan beragam lembaga, seperti yayasan penyantun yatim piatu, pondok pesantren, panitia pembangunan rumah ibadah, bantuan sosial bencana alam, dan lain-lain. Tentu saja, para pemasang kotak amal/sumbangan itu berharap, para pengunjung pusat perbelanjaan yang menerima uang kembalian dari kasir bersedia menyumbangkan uang recehan yang baru saja diterimanya ke dalam kotak amal/sumbangan yang berada di dekatnya.

Entah apakah penyedia kotak amal/sumbangan itu amanah, bersungguh-sungguh menyalurkan uang sumbangan yang diterimanya ke anak-anak yatim/piatu, pondok pesantren, pembangunan rumah ibadah, korban bencana alam, dan lain-lain, sesuai dengan yang mereka cantumkan pada kotak-kotak amal/sumbangan. Namun, kejadian yang belum lama ini diberitakan secara luas oleh media massa barangkali dapat memberikan gambaran praktik yang mungkin terjadi.

Diberitakan, seorang lelaki ditangkap polisi karena kedapatan menjadi "pengepul kotak amal". Selama ini, ia menyebar sekitar 200 kotak amal di pusat perbelanjaan berskala besar maupun kecil, rumah makan, dan tempat-tempat strategis lainnya. Jangan kaget, dari hasil kerjanya itu, ia berhasil memiliki rumah, mobil, motor, serta tabungan di bank berbilang ratusan juta rupiah. Sangat mungkin, ia tidak sendiri, dan jelas ia bukanlah fenomena tunggal.

Tentu saja, banyak fenomena serupa yang dapat dituliskan dan memperpanjang daftar. Singkat kata, sangat banyak keuntungan bertransaksi nontunai menggunakan kartu kredit, kartu debit, kartu prabayar, atau rekening ponsel, dibandingkan menggunakan uang tunai. Tapi, yang jarang kita sadari, selain keuntungan bagi diri sendiri, pilihan kita menggunakan nontunai juga akan menutup, setidaknya meminimalkan, peluang orang lain terjerumus ke dalam dosa karena peluang yang justru kita sendiri yang membukanya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun