Mohon tunggu...
Ali Mutasowifin
Ali Mutasowifin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

just an ordinary teacher

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Karena Kita Pakai Tunai, Orang Lain Menjadi Berdosa

14 Juni 2015   16:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:03 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih teringat sebuah peristiwa di Yogyakarta, pada sekitar tahun 2000-an. Di sebuah pusat perbelanjaan di dekat Kampus UGM Bulaksumur, saat itu merupakan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Kota Pelajar, terjadi keributan yang menarik perhatian saya.

Karena saat itu hari beranjak petang, suasana pusat perbelanjaan sedang ramai oleh pengunjung yang berbelanja. Tak pelak, insiden di depan meja kasir itu pun mengundang orang untuk mendekat, bergerombol, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Seorang lelaki muda, berpenampakan layaknya seorang mahasiswa, sedang berdiri di dekat kasir dengan memasang wajah kaku. Sementara sang kasir tampak sibuk mencari-cari sesuatu di mesin kasir, bertanya kepada teman-teman kasir yang lain kesana-kemari.

Untungnya, meski masih dengan wajah kaku yang sama, sang lelaki muda itu mau bercerita kepada orang-orang yang bertambah banyak mengerubungi dirinya. Di dekatnya, tertumpuk beberapa barang yang telah dibelinya. Namun, tampaknya ada masalah dalam pembayaran, sehingga keributan itu pun muncul.

Kembalian dengan permen

Dengan sesekali menyunggingkan senyum sinis mengejek, ia bercerita awal mula kehebohan. Setelah diberitahu jumlah keseluruhan belanja yang harus dibayar, ia pun menyerahkan uang. Kemudian, sang kasir pun mengulurkan kembalian berupa uang receh dan beberapa butir permen.

Mengganti uang receh dengan permen adalah praktik yang sangat lazim saat itu, dan orang-orang pun telah terbiasa atau tak kuasa menolaknya. Tapi, tidak dengan dengan lelaki muda itu. Hebatnya, ia tidak sekedar menolak. Dari tasnya, ia mengeluarkan dua genggaman permen yang ia klaim selama ini telah ia terima dan kumpulkan dari pusat perbelanjaan itu.

Dia menggertak, jika ia diberi permen sebagai pengganti uang recehan, ia akan kembali masuk ke pusat perbelanjaan, kembali belanja barang-barang, dan akan membayar dengan segepok permen yang dibawanya. Orang-orang yang mengerumuninya pun menjadi ramai. Seperti biasa, sebagian pro dan sebagian lain kontra dengan prinsip yang sedang disuarakan sang lelaki muda itu.

Pusat perbelanjaan memang sering mencantumkan harga dengan besaran yang tidak bulat. Dengan menetapkan psychological pricing, mereka berharap para pelanggan mempersepsikan harga lebih rendah, sehingga pembelanjaan pun akan meningkat. Sayangnya, kebijakan ini tidak diimbangi dengan kesiapan mereka untuk menyediakan uang kembalian sebagai konsekuensi dari penetapan harga tersebut. Akibatnya, permen pun diberikan kepada pelanggan sebagai gantinya.

Ketika diprotes pelanggan, mereka beralasan kesulitan mendapatkan uang receh. Alasan yang sungguh mengada-ada, dan telah juga dibantah oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia berulangkali mengumumkan bahwa persediaan uang receh sangat cukup untuk seluruh transaksi tunai. Selain itu, konversi nilai recehan dengan permen pun sangat beragam. Entah berapa banyak "keuntungan" yang telah berhasil diraup oleh pusat perbelanjaan dengan praktik curang semacam ini.

Kembalian yang menumbuhkan fitnah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun