Mohon tunggu...
Ali Mutasowifin
Ali Mutasowifin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

just an ordinary teacher

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Berebut Takhta Setelah Raja Tiada

1 Desember 2010   23:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:07 8794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_91323" align="alignnone" width="540" caption="keraton kasunanan surakarta (laindunia.in)"][/caption] Tak lama setelah Pakubuwono XII, penguasa Kasunanan Surakarta Hadiningrat, mangkat pada 12 Juni 2004, gonjang-ganjing melanda keraton. Keributan itu dipicu oleh silang sengketa di antara 35 orang anak Pakubuwono XII dari enam orang selir tentang siapa yang berhak menduduki takhta selanjutnya. Dalam tradisi kerajaan Jawa, pengganti raja yang meninggal adalah anak lelaki tertua dari permaisuri, sementara hingga Pakubuwono XII meninggal, ia tidak mengangkat seorang permaisuri. Perebutan takhta terjadi antara Hangabehi dan Tedjowulan, yang lahir dari ibu yang berbeda. Pertempuran memperebutkan takhta pun mencapai puncaknya ketika Agustus 2004 kubu Tedjowulan mengukuhkan perwira TNI AD itu sebagai Pakubuwono XIII. Penobatan Tedjowulan dilakukan di Ndalem Sasana Purnama, Kotabarat Mangkubumen, sekitar enam kilometer dari kompleks Keraton Surakarta. Pengukuhan dilakukan di luar keraton karena hari itu kubu Hangabehi menggembok pintu gerbang keraton. Sebulan kemudian, kubu Hangabehi melakukan tindakan sama: melantik KGPH Hangabehi juga sebagai Pakubuwono XIII. Raja kembar pun muncul kota Solo. Sejak itu, konflik makin runcing, bahkan terus berlanjut hingga kini, enam tahun setelah ayah mereka berdua mangkat. Perseteruan itu berdampak pada kelangsungan hidup keraton. Berbagai bantuan untuk perawatan dan pengembangan budaya yang selama ini diterima, baik dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah maupun Pemerintah Kota Surakarta, menjadi terhenti. Pemerintah Daerah selalu meminta agar persoalan dua raja itu diselesaikan terlebih dahulu sebelum dana bantuan dapat dicairkan. [caption id="attachment_91324" align="alignnone" width="560" caption="pasar kanoman cirebon (virtualtourist.com)"]

12979205901743573536
12979205901743573536
[/caption] Perebutan takhta juga terjadi di Keraton Kanoman, Cirebon, usai meninggalnya Sultan Kanoman XI, H. Muhammad Djalaludin pada 2002. Dari empat orang istri, ia memiliki 16 orang anak. Istri pertama, Ratu Amanah, melahirkan seorang anak, Ratu Raja Latifah Ratina. Istri ketiga Suherni, melahirkan 9 anak, yakni Pangeran Saladin dan 8 adiknya, kemudian istri keempat, Ratu Sri Mulya, melahirkan Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan 5 adiknya. Sedangkan dari istri kedua ia tidak memiliki anak. Putra pertama istri ketiga (Saladin) dan istri keempat (Emirudin) kini terlibat konflik akibat perebutan tahta Sultan Kanoman. Kedua-duanya mengklaim diri sebagai ahli waris yang sah. Pangeran Emirudin bermodalkan garis darah. Dia putra yang lahir dari pasangan Sultan Kanoman XI Muhammad Djalaludin dan putri Istana Kanoman, Ratu Sri Mulya. Adiknya, Pangeran Saladin, yang beribukan Suheni-yang berasal dari luar keraton-juga menyodorkan bukti waris yang tak kalah kuatnya: surat wasiat yang dituliskan oleh almarhum Sultan Djalaludin. Sama seperti yang terjadi pada Kasunana Surakarta, perebutan takhta di Keraton Kanoman yang masih berlangsung hingga kini juga berimbas kepada kehidupan Keraton. Misalnya, kondisi Keraton Kanoman saat ini cukup memprihatinkan, terimpit oleh bangunan-bangunan modern yang menjulang. Jalan masuk ke Keraton pun harus melewati Pasar Kanoman yang pada pagi hingga siang hari tidak mungkin dilalui kendaraan roda empat karena dipenuhi oleh para pedagang. Bantuan dari pemerintah daerah juga acap diperebutkan oleh kedua kubu. [caption id="attachment_91325" align="alignnone" width="558" caption="abdi dalem keraton yogyakarta (kompas/ferganata indria riatmoko)"]
12979206921180622899
12979206921180622899
[/caption] Hal yang tak jauh berbeda terjadi saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX mangkat di Washington DC pada 3 Oktober 1988. Berdasarkan tradisi kerajaan Mataram, pewaris takhta ditentukan oleh Sultan. Biasanya ia adalah putra dari salah seorang istri yang telah diangkat Sultan sebagai permaisuri. Tapi sampai akhir hayatnya, HB IX tak pernah mengangkat seorang permaisuri. Berarti 14 putranya saat itu memiliki derajat yang sama. Dengan kata lain, sama pula kansnya untuk terpilih. Suasana sempat memanas ketika G.B.P.H. Hadikusumo, putra dari istri pertama, mengaku menerima wasiat 28 hari sebelum Sri Sultan Hamengkubuwono IX wafat. Akan tetapi, setelah masa berkabung usai, K.G.P.H. Mangkubumi, putra dari istri kedua, yang akhirnya diangkat menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono X. Pemilihan Sri Sultan Hamengkubuwono XI, bisa jadi akan jauh lebih rumit bila mengingat bahwa kelima anak Sri Sultan Hamengkubuwono X berjenis kelamin perempuan, sementara selama ini penguasa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat selalu laki-laki. Ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X test the water dengan mewacanakan sultan perempuan, tak sedikit tentangan yang muncul, termasuk dari saudara-saudaranya sendiri. Untungnya, keributan-keributan karena berebut takhta pasca mangkatnya para raja di atas tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupan rakyat banyak, karena terpisahnya kekuasaan keraton dengan kekuasaan politik pemerintahan. Surakarta diurus oleh Pemerintah Kota Surakarta, dan bukan oleh Kasunanan Surakarta. Cirebon dikelola oleh Pemerintah Kota Cirebon, dan bukan oleh Keraton Kanoman. Yogyakarta juga diatur oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan bukan oleh Kasultanan Ngayogyakarta. Bahkan, jauh sebelum Sri Sultan Hamengkubuwon IX meninggal pun, pemerintahan telah dijalankan oleh Wakil Gubernur Paku Alam VIII (Sri Sultan Hamengkubuwono X baru dilantik menjadi gubernur 3 Oktober 1998 setelah wafatnya Paku Alam VIII, atau hampir 10 tahun setelah diangkat menjadi penguasa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat). Keadaan yang berbeda barangkali akan terjadi, yakni keributan-keributan itu akan berdampak luas kepada kehidupan masyarakat, bila keraton juga memegang kuasa pemerintahan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun