Mohon tunggu...
Rizca Mutasima
Rizca Mutasima Mohon Tunggu... -

saya sang insan yang terlahir dibumi ini dengan rambut kribo yang tertutup hijab dan kini mencoba menjalani hidup baru sebagai mahasiswa di salah satu universitas yang ada di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kado Spesial

28 September 2013   16:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:16 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Special gift for you

By: Rizca

“again and again and again and again...” aku terus bernyanyi tanpa henti pagi ini. Laptop yang sengaja aku sambungkan dengan speaker aktif dikamarku bernyanyi sangat nyaring. Aku menyapu lantai, mengepelnya, membereskan kamar, semua ruangan dirumah sambil bernyanyi hingga akhirnya musik itu berhenti tanpa sebab. Aku menengok ke kamarku dan melihat seorang gadis lebih tua dariku menatapku sinis.

“kalau mau dengerin musik gak usah bagi-bagi sama kakak. Risih tau denger nya” ujar Sintia, Kakak ku satu-satunya. Aku hanya mengangkat kedua pundakku dan kembali bekerja sambil bernyanyi. Dan akhirnya semua selesai tepat pukul sembilan pagi ini. Terasa lelah hingga tubuhku tergeletak diatas kasur bersama handphoneku. Aku melihatnya dan membuka catatan didalamnya

“minggu ini adalah jadwal Weri latihan skate board. Haha... jadi satu bulan lagi Weri ultah. Mau ngasih apa?” aku jadi teringat sesuatu. Aku membayangkan Weri, laki-laki yang aku sukai semenjak 2 tahun yang lalu. Aku tersenyum dan melihat tabunganku yang begitu tipis.

“musti ngasih apa? Duit aja gak ada? Aduh...” ujarku berfikir. Diam dan diam terlalu lama hingga seseorang menelfonku.

“halo?” ujarku “siapa ini?” tanyaku karena ini nomber yang tidak kukenal

“hei aku punya lagu baru. Mau denger?” ujanya dibalik telpon. Aku tersenyum kecil

“Weri. Lagu baru yang bagus? Atau jelek?” tanyaku. Dan Weri menjelaskannya sehingga aku menangguk dan menyetujui bahwa aku akan ke tempat Weri latihan. Dengan cepat aku mandi dan memilih pakaian yang santai namun ceria. Segera aku raih handphoneku dan pergi dari rumah.

“hei!” panggil Weri sambil berlari ke arahku dan membawa papan skate board nya.

“mana? Kata kamu ada lagu baru” ujarku langsung menagihnya

“kamu kesini emang bener-bener pengen dengerin lagu barunya ya?” tanya Weri sebelum mengeluarkan walkman yang ia beli 2 tahun yang lalu.

“iya, kenapa? Emang kamu pikir aku punya alasan lain selain untuk musik-musik itu?” tanyaku yang sebenarnya selain untuk lagu itu, aku juga pengen banget ngeliat Weri.

“ah, dikira kamu juga pengen ketemu aku, padahal udah 3 hari kita tidak bertemu” ujarnya sambil meronggoh kedalam saku nya. Aku mendongak mendengarnya, ternyata memang sudah 3 hari aku dan dia tidak bertemu, terakhir kita bertemu hari rabu di taman. Waktu itu aku dan Weri mendengarkan musik bersama. Dan Weri mengatakan dia akan izin pergi ke Bandung untuk urusannya. Ternyata dia mengingatnya, aku sendiri lupa.

“oh iya, emang. Mungkin kamu yang pengen ketemu aku hehe” ujarku bohong padahal aku juga ingin bertemu. Weri mengangkat alisnya dan tertawa melihatku. Dia tertawa mengejekku dan membuatku agak sedikit malu. Akupun ikut tertawa dengannya walau tak ada kalimat yang membuat ku tertawa lucu. Seperti biasa dia memasukkan sebelah headshet nya ke kuping kananku. Aku dan Weri mulai menikmati lagu itu. Tenang sekali, lagunya hangat dan tidak membuat suasana menjadi sedih walau ada goresan-goresan luka didalam lagunya. Weri memperhatikanku sesaat setelah aku memergokinya. Aku mengangkat kepalaku padanya seraya bertanya apa tanpa suara, tapi Weri hanya menggelengkan kepalanya.

“lagunya bagus, bagus banget. Besok aku minta ya” ujarku mengembalikan separuh headshetnya pada Weri. Weri mengangguk dan kamipun mulai banyak bicara. Aku tahu Weri tidak terlalu bawel sepertiku, tapi dia sangat baik dan begitu banyak perhatian walaupun sebenarnya perhatian yang seperti itu ia berikan pada semua orang. Akupun jadi ikut-ikutan nonton orang-orang yang maen skate board. Permainan Weri benar-benar bagus, aku terpukau melihatnya. Weri yang baik ternyata ingin mengajariku juga dan dengan senang hati dia mengulurkan tangannya untukk membantuku bangun saat aku terjatuh dari skate board saat mencobanya. Siang ini aku lalui dengan Weri.

Malam ini aku membuka buku pelajaranku. Aku semakin teringat tentang ulang tahun weri. Aku tidak tahu apa yang harus kuberikan padanya, meskipun aku berteman cukup lama, tapi soal apa yang Weri suka, aku sendiri tidak cukup jelas. Aku mengacak rambutku dan berusaha berfikir hingga aku lelah dan tidur.

Istirahat disekolah, seperti biasa aku dan Weri duduk ditaman sambil mendengarkan musik. Kadang aku bernyanyi dan Weri mengejekku. Meskipun Weri bilang suaraku bagus, tapi hal ini terlalu berlebihan. Suaraku pas-pasan. Tiba-tiba musiknya mati

“kenapa? Mati?” tanyaku sambil melepaskan headshet yang menempel dikuping kananku sedari tadi.

“maaf ya, bukan mati dimatiin, tapi mati sendiri. Emang udah sering sih kaya gini” jawab Weri sambil mencoba menghidupkan kembali walkmannya berkali-kali dan akhirnya berhasil walau hanya sekejap dan kembali mati.

“hmm, gak apalah gak dengerin musik juga. Sekali-kali gak juga gak masalah kan?” ujarku menatap Weri. Dia tersenyum padaku dan senyum itu membuat aku teringat tentang sesuatu.

Akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Aku berjalan menelusuri toko-toko di sepanjang jalan. Tatapanku langsung tertuju pada sebuah walkman berwarna silver, elegan, dan mewah. Aku tersenyum tak lama senyumku memudar setelah aku melihat harga yang ditawarkan begitu mahal. Aku berjalan meninggalkan keramaian sambil berfikir keras.

“mana mungkin. Uang sebanyak itu harus aku kumpulkan selama 1 bulan. Ah... aku sendiri benar-benar boros. Boros bukan main. Aduh, tapi masa ngasih ke Weri yang murah sih. Ah...” keluhku sambil berjalan.

Keesokan harinya disekolah aku duduk melamun di taman bersama Ana, teman dekatku. Ana hanya menceritakan semua tentang kekasihnya dan aku hanya menatap kosong temanku yang sedari tadi membicarakan ini itu. Kalau aku gak jajan tiap hari bisa tidak ya? Ah... bisa mati kelaparan aku. Tapi kan hasilnya bisa lumayan, hmm... nahan lapar sampai jam 2 siang bisa kali ya. Hmm... tapi kalau dipikir-pikir, masih kurang uang jajan pun. Terus sisanya aku harus cari kemana? Ujarku dalam hati. Aku menghembuskan nafas berat. Ana memandangku sinis dan memukulku.

“jadi dari tadi kamu tidak mendengarkan apa yang aku katakan. Ah... jahat sekali kau!” ujar Ana.

“hah? Aku dari tadi mendengarkan apa yang kau ucapkan. Sungguh...” ujarku bohong

“apa? Coba beritahu aku kalau kamu mendengarkan semua yang aku katakan” ucap Ana. Aku membuka mulut namun menutupnya kembali dan menghembuskan nafas menyerah. “ah, kamu sedang memikirkan apa sedari tadi? Sedang memikirkan laki-laki?” tebak Ana. Aku langsung terbelalak dan menggeleng cepat

“tidak... aku tidak sedang memikirkan laki-laki” ujarku. Ana menggodaku dengan mengangkat kedua alisnya berkali-kali dan menyodorkan wajahnya didepanku. “aku sedang memikirkan sesuatu. Aku butuh uang” begitulah aku berkata. Tiba-tiba kening Ana berkerut aneh. “aku butuh uang sekarang, ada yang harus aku beli dan itu sangat ... pribadi” ucapku sedikit berbisik. Ana mengangguk tanda mengerti dan dia mulai agak menjauh.

“tunggu... bukankah kamu setiap hari diberi uang oleh kakak mu? Hmm... apa masih kurang? Kalau begitu pinjamlah padaku” tawar Ana. Ana memang gadis yang baik hati terutama padaku. dia salah satu teman yang patut dicontoh, apapun akan dia berikan pada sahabatnya.

“tidak usah, kali ini aku harus benar-benar menggunakan uangku. Aku tak ingin menggunakan uang selain hasil dari keringatku. Kira-kira, kamu punya ide?” aku mencoba meminta pendapat pada Ana. Ana terlihat berpikir cukup serius dan terus berpikir. Tiba-tiba raut wajah Ana berubah menjadi ceria. Aku mengangkat dagu padanya. Dia mendekatkan mulutnya dikupingku dan mulai berbisik. Aku mengangguk dan tersenyum. Dari jauh Weri melihatku dan Ana tertawa dan berbicara, Weri tersenyum kecil.

“hari ini siap?” tanya Ana keesokan harinya saat pulang sekolah. Aku mengagguk dan segera meninggalkan gerbang. Tak lama aku melihat Weri berdiri disana. Langkah kuperlambat, aku pun menyapa Weri, dia hanya tersenyum manis padaku. hatiku semakin berbunga-bunga dan berdebar. “tidak biasanya kamu pulang cepat” ujar Weri saat ia menghampiriku dan Ana

“aku... ada sedikit urusan, jadi harus cepat-cepat” ujarku agak sedikit malu. Walaupun aku dan Weri sering ngobrol, tapi kalau suasana seperti ini jarang sekali terjadi. Ana menyikut tanganku dan memberi tahu bahwa aku harus cepat-cepat.

“aku duluan ya” ucapku pada akhirnya. Weri mengangguk dan membiarkanku pergi menggenggam senyumannya. Saat aku berjalan, Weri memanggilku

“hati-hati” ucapnya. Aku hanya mengagguk biasa. Kalau aku sesering ini pulang sekolah, apa aku akan terus mendapat perhatian dari Weri sepulang sekolah? Ah... masa? Hati-hati? Aku akan selalu berhati-hati untukmu, Weri. Ujarku dalam hati.

Aku membuka pintu tepat jam 8 malam. Sudah 2 minggu aku melakukan hal yang sama. Kakak ku yang biasanya pulang lebih malam dibanding aku kini berdiri didepan pintu menatapku dengan garang.

“ah, biarkan aku masuk. Aku lelah sekali” aku memaksa masuk dengan badan yang sedikit lelah.

“oh... jadi begini kerjaanmu selama minggu terakhir ini? Hmm... kakak setiap hari pulang kuliah malam, memangnya tidak tahu kamu selalu pulang larut? Hah?” ujarnya tetap membiarkanku diluar.

“ayolah kak... jangan terlalu mencemaskanku, aku sudah besar, sudah kelas 3 SMA. Masa harus terus menerus dilarang kesana kemari” ujarku masuk dan duduk di sofa ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga.

“kakak sih tidak keberatan kalau kamu mau hidup bebas, tapi tidak sesering ini” ujarnya dan duduk didepanku. “hah? Sini aku pikirkan, hmm... kira-kira, sudah 2 minggu kamu pulang larut malam. Kemana saja kamu? Clubing? Jalan sama laki-laki? Nge-trek? Atau... kamu... ke pub?” tebak kakak yang membuatku melongo.

“ya tuhan... gila ya kakak ini. Aku tidak mungkin pergi ke pub, clubing, nge-trek, apalagi jalan sama laki-laki. Oh no... where my self esteem (*harga diri)” ujarku membantah.

“lalu? Apa? Come on, just tell it. I know this is your personality right, but I’am your sister...” ujarnya membuatku berpikir. Aku menjentik-jentikkan kuku-ku seperti yang selalu aku lakukan apabila aku merasa ragu. Akhirnya aku menceritakan pada kakak ku, Sintia.

“aku sedang membutuhkan uang yang cukup banyak, aku tahu sebenarnya ini terlalu berlebihan tapi aku benar-benar ingin memberinya sesuatu. Tapi tabunganku tidak cukup, walau aku telah menginfestasikan seluruh uang jajanku, tapi masih saja tidak cukup. Akhirnya aku putuskan untuk bekerja paruh waktu. Aku mohon kak, jangan larang aku. Aku berjanji takkan mengulanginya untuk yang kedua kalinya. Janji... I’am promise” aku mengacungkan jari kelingkingku dengan mata memohon dan wajah memelas. Akhirnya kakak menyerah dan menatapku iba. Dia mengangguk.

“pantas kau kurus kering akhir-akhir ini. Ayo makan...” begitulah kakak ku. Walau dia sudah marah besar, tapi dia selalu sayang padaku dan memperhatikanku. Dia adalah kakak terbaik dihidupku.

Satu minggu berlalu, akhir-akhir ini aku jarang bertemu dengan Weri, bertemupun hanya sekedar menyapa. Biasanya sepulang sekolah Weri selalu mengajakku keliling taman dan mendengarkan musik. Aku merasa rindu padanya. Hingga aku tak menyadari seseorang duduk disampingku saat aku melamun sambil mendongak kelangit biru di taman pada jam istirahat.

“hari ini cerah bukan? Langit biru... awan putih... indah bukan?” ujarnya. Aku kaget dan terkesima melihat sosok yang kurindukan itu ada disampingku.

“Weri!” ujarku cukup kaget.

“hai? Lama tak jumpa” ujar dia. Aku tersenyum mengikuti senyumannya. “ah... aku benar-benar merindukanmu” ujar Weri begitu saja. Aku mendongak melihat Weri yang mengatakan itu yang hanya tetap melihat langit. Cukup lama tak ada suara diantara kita sampai ia memalingkan wajahnya padaku. aku terkesiap dalam sesaat. Jantungku terasa berdebar kencang, dia tersenyum padaku. “kenapa? Aku memang rindu padamu, beberapa minggu ini kamu tidak lagi menemaniku mendengarkan musik, walaupun kita terus bertemu tapi itupun kamu hanya sekedar menyapa. Kamu kemana saja belakangan ini?” tanyanya membuatku semakin salah tingkah. Aku mencoba menenangkan diri dan menarik nafas perlahan.

“ah, aku sedang sibuk, benar-benar sibuk” jawabku begitu saja tanpa menghiraukan kata-kata rindu yang tadi aku dengar

“sibuk? Sibuk apa?” tanya Weri

“rahasia...” ujarku yang tak ingin berbohong pada Weri. Weri menertawakanku walaupun setahuku itu tidak lucu. Dia mengangguk paham. Beberapa saat kita berdua hanya terdiam, aku menikmati suasana seperti ini, benar-benar tenang dan tentram walau jeritan orang-orang terdengar nyaring di telinga kanan dan kiriku. Tiba-tiba sesuatu masuk kedalam telinga kananku.

“sudah lama aku tidak melihat mp4 itu, hmm... sudah lama pula aku tidak mendengarkan musik disekolah” ujarku. Weri tersenyum menatap mp4 nya.

“minggu lalu dia masuk rumah sakit, aku kira dia akan segera meninggalkanku. Tapi beberapa hari kemudian dia sembuh, dokter bilang dia tidak mempunyai umur yang panjang. Detik-detik terakhir aku dengannya harus aku lakukan dengan hal yang berguna dan tidak mengecewakannya. Mungkin ini adalah salah satu hal yang tidak sia-sia baginya” cerita Weri membuat keningku berkerut.

“dia... siapa?” tanyaku heran. Weri mengacungkan mp4nya dan tersenyum padaku. aku merasa lega, aku kira seseorang yang Weri cintai atau mungkin keluarganya.

“ingin menggantikannya?” tanyaku

“sebelum dia benar-benar lenyap meninggalkanku” ujar Weri. Ternyata aku tidak bisa membuat mulutku terbungkam begitu saja dihadapan Weri. Aku mulai membuka pembicaraan, seperti biasa aku selalu banyak bicara dibanding Weri. Aku menceritakan tentang kejadian malam itu satu minggu yang lalu, saat aku dimarahi kakak ku. Aku membuatnya seakan lelucon. Terkadang Weri tertawa, mengerutkan keningnya dan ikut berkomentar walau tidak terlalu banyak. Itu yang membuatku betah berada di sampingnya, dia benar-benar pendengar setia yang tampan.

Satu minggu lagi Weri ulang tahun. Ujarku dalam hati sambil menggenggam sebagian uangku yang aku ambil dari tabunganku. Aku berjalan sendirian menuju sebuah toko elektronik yang mempromosikan mp4 itu. Aku lihat benda itu masih disana, nampaknya cukup banyak pengunjung yang tertarik namun benci dengan harganya. Kulihat awan semakin mendung dan gelap, gerimispun mulai turun. Aku lari dengan cepat.

Malam ini aku menghitung beberapa uangku, tiba-tiba handphoneku berbunyi.

“halo?” ucapku “ah... Ana, tumben nelfon, ada perlu apa?” tanyaku langsung setelah mendengar suara Ana yang khas dan aku kenal.

“hanya ingin mengganggumu. Sedang apa kau?”

“menghitung tabunganku, kenapa?”

“hmm... aku hanya akan memberi tahumu. Tadi aku mampir ke rumah pamanku dan sedikit menguping. Hehe, tadi katanya gaji akan dikeluarkan sekitar 4 hari lagi” jelas Ana. Aku memang bekerja kepada paman nya Ana, itupun berkat usul dan bantuannya.

“lalu... setelah aku berhenti, apa pamanmu tidak marah?” tanyaku memastikan

“aku rasa tidak, paman baik hati sekali, lagi pula katanya dia akan membuka lowongan kerja lagi untuk 3 orang, paling jadi 4 orang. Tidak usah khawatir, kalaupun dia marah padamu aku jamin aku akan ikut menanganinya”jelas Ana. Perasaan ku menjadi lega

“ah, terima kasih Na, kau benar-benar membantu ku” ujarku

“lalu... apa Weri sudah tahu kau bekerja paruh waktu? Bagaimana pun juga Weri harus tahu nantinya, ini kan salah satu pengorbananmu untuk nya. Hah?” ujar Ana. Aku terdiam, memang benar apa yang dikatakannya.

“biar dia tahu sendiri, lagi pula akhir-akhir ini aku tidak terlalu dekat dengannya” ujarku memelas

“mengapa? Ah... jangan bilang karena kamu bekerja”

“ya kenyataannya seperti itu” balasku. Pembicaraanpun berlangsung lama. Ana menceritakan banyak hal tentang Weri yang dia tahu dari kekasihnya. Aku menikmati pembicaraan itu hingga larut malam.

Akhir-akhir ini hujan deras, hari ini aku harus cepat-cepat karena aku akan menerima uang pertamaku. Istirahat kali ini aku memang hanya melamun memikirkan apa yang akan terjadi, berhayal dan mengaplikasikan waktu.

“Lili” ucap seseorang disampingku, dia mengagetkanku lagi. “awan nya mendung, kamu masih menikmatinya?” tanya Weri. Aku hanya mengangguk tersenyum. Kali ini aku melihat Weri sangat bercahaya. Senyumannya membuatku tak ingin memalingkan wajahku darinya, matanya bercahaya dan berseri-seri membuatku ingin memeluknya.

“jangan menatapku seperti itu, terlihat seperti pengemis” ujar Weri membuatku menghembuskan nafas berat.

“aku memang pengemis” ujarku memalingkan wajahku pengemis cinta mu tambahku dalam hati.

“ah, harusnya suasana seperti ini dilalui sambil mendengarkan musik melow, tapi sayang... mp4 ku sudah binasa” ujar Weri tiba-tiba. “aku berencana menggantikannya, tapi nanti lah...” pasrah Weri membuatku terpikirkan tentang hadiah yang ingin aku berikan.

“baguslah kalau begitu” ujarku tiba-tiba keluar dari mulut begitu saja. Weri mengerutkan keningnya.

“bagus?” tanya Weri

“hah?” aku belaga oon “apa?” masih seperti itu “memang baguskan, itu berarti setiap aku mendengarkan musik dari mu lagi aku akan menggunakan sesuatu yang baru” aku mencari-cari alasan. Weri tertawa kecil dan bergumam yang tidak kudengar.

“Lili, aku pengen curhat sama kamu boleh?” ujar Weri membuat jantungku terasa berhenti. Aku mengangguk begitu saja dengan perasaan was-was.

“tentu saja, apa yang mau kau ceritakan? Teman mu? Keluarga mu? Atau bahkan seseorang yang spesial dalam hidupmu?” tanyaku

“aku takkan menceritakan seseorang yang spesial di hidupku kepadamu, aku akan menceritakan seseorang yang aku temui kemarin sore” ujar Weri. Kenapa kamu tak ingin mengatakan seseorang yang spesial itu padaku? ah, aku ingin tahu... ujarku dalam hati.

“siapa?” tanyaku

“dia, seorang gadis, sepertinya seusiaku. Aku melihatnya di toko buku kemarin sore” Weri mulai berkata.

Gadis? Apa dia membuatmu jatuh cinta? Tanyaku dalam hati was-was

“kemarin aku membeli sebuah buku. Memang aku jarang kesana, tapi aku cukup hafal dengan pegawai-pegawainya. Yang ini lain, aku baru pertama kali melihatnya dan sayangnya dia tidak menjaga kasir jadi aku tak bisa melihat wajahnya” lanjut Weri.

Kalau kau tidak melihat wajahnya, apa yang kau lihat? Ah. Jangan bilang kau melihat body tubuhnya. Kamu tidak boleh menjadi laki-laki mata keranjang, ujarku dalam hati,

“aku hanya melihatnya dari samping. Tapi semakin dilihat gadis itu seperti semakin mejauh, aku melihat senyumannya dari samping. Dia... dia itu...” Weri terhenti.

“dia kenapa?” tanyaku penasaran

“kau penasaran?” tanya Weri. Aku hanya mengangguk cepat

“dia membuat aku penasaran, senyumnya seperti seseorang yang aku kenal, kenal dekat. Tapi aku tak bisa menebaknya” ujar Weri. Aku merasa hatiku mencelos dan mulai retak.

“kenapa kau tak bisa menebaknya? Mungkin dia seseorang yang selalu hadir di hidupmu. Mungkin, tapi... kenapa kau tak bisa menebaknya” tanyaku lagi

“entahlah, mengapa aku tak bisa menebaknya padahal yang selalu hadir di hidupku hanya seorang saja. Ah... lupakan saja lah” jawab Weri.

Hanya seorang saja yang hadir di hidupmu? Ah, kau membuatku sakit hati. Ternyata kau sudah memiliki pujaan hatimu. Jadi aku sia-sia kah selama ini mencintaimu dan merelakan semuanya hanya untuk membuatmu terharu padaku. ah... sesak sekali rasanya. Siapa gadis yang beruntung mendapatkan hatimu. Ujarku dalam hati. Aku hanya diam merasa lemas. Tiba-tiba tangan Weri menyenyuh keningku membuatku terkejut dan sedikit terperanjat hingga aku mundur beberapa senti dari tempat dudukku.

“kamu demam, sudah makan?” tanya Weri. Ah, kau memberikanku harapan kosong. Jawabku dalam hati. Weri kembali menatapku dan kini dia meraih tanganku. “lihat, kau benar-benar kurus sekarang ini. Aku juga jarang sekali melihatmu di kantin akhir-akhir ini. Badanmu panas semua, wajahmu juga terlihat pucat” ucap Weri penuh perhatian. Aku menarik tanganku ,

“ah, aku merasa baik-baik saja” jawabku.

“aku antarkan kau pulang saja nanti, melihatmu seperti ini sama seperti melihat mayat hidup, aku khawatir nanti kamu jatuh di tengah jalan” ucap Weri sambil menarikku dari tempat duduk.

“pulang sekolah nanti aku harus mengambil sesuatu di rumah teman, tak perlu repot-repot” aku menolak walau sebenarnya ingin sekali aku pulang diantar Weri.

“baiklah, aku tidak akan memaksa” ujar Weri sambil menarikku. Aku mengerutkan keningku dan berhenti. Weri menatapku dengan senyum manisnya yang lebar “temani aku ke kantin, aku lapar sekali dan sekalian mentraktirmu makan. Harus mau!” paksa Weri. Aku senang dia melakukan hal itu padaku dan sekarang aku duduk di kantin dengannya.

“terima kasih, pak” ucapku setelah aku berhasil membeli mp4 itu, sekarang aku berencana akan membungkusnya di rumah, sebelumnya aku harus menyebrang jalan. Sesaat aku mengucek mataku karena terasa seperti ada yang mengganggu. Udara benar-benar dingin sore ini, badan kupun terasa tidak enak. Sekarang aku meras sekujur tubuhku panas, seperti yang Weri katakan saat istirahat. Aku mencoba memaksakan diri menembus gerimis kecil untuk menyebrang jalan. Aku tahu mataku seperti berkabut walau aku tak tahu mengapa. Aku berjalan dan mulai menyebrang. Saat aku melihat lampu sorot sebuah mobil menerpa mataku yang buram, aku terjatuh. Kantong mp4 ku terlempar ke pinggir jalan hingga akhirnya aku tidak ingat apaupun.

Aku mencoba membuka mataku dan badanku terasa berat, benar-benar panas.

“Lili!!! Kau sudah bangun? Ah... syukurlah kau tidak terlalu lama tertidur” ucap seseorang disampingku. Yang aku lihat kali ini hanya langit-langit putih dan kakakku. Aku melihat sekeliling dan kakakku berdiri disana.

“apa? Aku tertidur?” tanyaku aneh sambil mengerutkan keningku.

“ya, kau tertidur hampir setengah hari dan sekarang sudah larut malam. Kau tidak ingat?” tanya Kakak terlihat senang melihatku bangun. Aku mencoba melihat-lihat kembali tempat itu, tidak seperti kamarku karena ruangan ini sangat putih, serba putih.

“aku di rumah sakit?” tanyaku pada Kak Sintia. Dia mengangguk dan duduk dikursinya

“yup. Kamu di rumah sakit. Baiklah, aku beritahu... tadi sore kamu tertabrak truk, beruntung kau tidak terbang dihempas truk besar itu dan kau pingsan. Kakak khawatir saat kakak baru saja akan berangkat ke kampus dan kakak langsung menyusul ke sini. Dokter bilang kondisi kesehatanmu benar-benar parah, jadi kemungkinan kamu harus dirawat disini 3 atau 4 hari lebih” jelas Kak Sintia. Aku masih belum bisa berfikir jernih. 3 atau 4 hari lebih aku harus terbaring di rumah sakit. Ah, membosankan pasti. Lalu lusa... aku teringat tentang lusa. Lusa adalah hari minggu dan tepat sekali ulang tahun Weri. Aku langsung terbangun dan saat itu terasa tubuhku benar-benar sakit terutama kakiku.

“santai dong, dik. Ada apa?” tanya Kak Sintia sambil membaringkanku dengan perlahan.

“kakiku kenapa?” tanyaku langsung sambil membuka selimut yang menutup kaki kananku. Aku menghembuskan nafas berat setelah aku melihat balutan perban disana. “apa ini baik-baik saja?” tanyaku pada Kak Sintia. Dia mengangguk tenang

“lukanya cukup dalam, tapi baik-baik saja, kau hanya perlu menggunakan tongkat 2 atau 3 minggu” jawab Kak Sintia.

“mp4 nya?” tanyaku was-was. Kak Sintia berjalan mengambil kantong yang aku kenal dan memberikannya padaku. aku langsung melihat isinya dan menghembuskan nafas lega.

“beruntung mp4nya baik-baik saja” ujarku sambil memeluknya.

“ya, sangat beruntung” ucap Kak Sintia ketus, “jadi itu hasil kerjamu? Ah... itu yang akan kau berikan pada orang lain?” tanya Kak Sintia. Aku hanya mengagguk saja

“ah... itu terlalu mahal, dik. Kau bekerja keras karena ingin membelikan mp4 itu, sayang sekali kalau laki-laki itu menolakmu” ujar Kak Sintia membuatku kaget

“dari mana kakak tahu?” tanyaku

“aku kakak mu, aku tinggal bersama mu, aku cukup memahami mu dan kau akan mengorbankan apapun untuk orang yang kau sayangi. Contohnya saja saat ibu ulang tahun, kau membobol tabunganmu yang kau kumpulkan untuk membeli mp4 yang biasa hanya untuk kau belikan serangkai bunga mewah. Lalu, kau lupa ulang tahun Ana, tapi kau telah janji memberikannya boneka sampai kau relakan boneka besar kesayanganmu. Jelas saja itu pun untuk sesorang yang kau cintai. Siapa sih?” ujar kak Sintia panjang lebar.

Akhirnya aku menceritakan semuanya pada kakakku dan terkadang dia tertawa, malam itu aku dan Kak Sintia terasa sangat akrab.

“nanti malam kakak harus ke kampus, kamu di rumah sakit sendirian tidak apa-apa kan?” ujar Kak Sintia sore ini. Aku mengangguk. Tak lama pintu terbuka dan kulihat Ana datang bersama parsel buah yang lezat.

“Lili... kau baik-baik saja kah? Ah... hari ini aku mati kebosanan di sekolah, tidak ada kau disampingku, tidak ada yang mau mendengar ocehanku di kelas” ujar Ana sambil memelukku. “selamat sore, Kak” sapa Ana dan menyalami Kak Sintia.

“beruntung kau datang, Ana. Kakak harus segera pergi. Bay semuanya” kak Sintia mengandalkan Ana. Dia meninggalkanku dan Ana. Aku tahu dia pasti datang hari ini.

Tanpa diminta aku langsung menceritakan semuanya pada Ana. Setelah itu Ana meraih kantong mp4 itu. Ana terlihat kaget

“bagaimanapun juga Weri harus tahu kau bekerja hanya untuk membelikannya barang semewah ini. Huh... kalau aku jadi kau, aku akan mencari barang lain yang harganya lebih miring. Oh ya, ngomong-ngomong Weri tahu kau di rumah sakit?” tanya Ana membuatku teringat pada Weri yang beberapa saat aku lupakan.

“entahlah, aku belum menghubunginya. Bisa kau ambilkan handphoneku di sana?” aku meminta tolong pada Ana dan menunjuk kursi panjang yang tak jauh dari kasur. Ana bergegas dan melihat layar handphone ku

“wah... 3 pesan dari Weri dan... 10 panggilan tidak terjawab” ujar Ana girang.

“berikan padaku” aku mengambil hanphoneku dari tangan Ana dan melihat panggilan tak terjawab. Semuanya dari Weri.

“dia menghubungiku saat aku tertabrak, dan tadi” gumamku.

“wah... Weri ingat pada dirimu saat kau kecelakaan. Lalu apa isi pesannya? Ayolah... aku juga ingin tahu” ujar Ana sedikit memaksa. Aku membuka kontak masuk dan membaca pesan yang dikirim Weri saat kecelakaan terjadi

“Lili, kamu baik-baik saja? Sudah sampai di rumah langsung istirahat ya, kondisimu tadi pagi sangat menghawatirkan. Oya, barusan aku melihat kecelakaan di dekat toko buku, aku jadi ingat padamu. Baik-baik saja kah?” begitulah isi pesan pertama Weri. Aku diam sesaat dan melanjutkan membaca pesan ke dua.

“kamu harus cepat sembuh dan angkat telpon ku” begitulah pesan yang tertulis dilayar handphoneku. Aku tahu Weri selalu menyuruhku mengangkat telponnya walau dia tidak mengatakan apapun.

“dia benar-benar perhatian padamu, dia menyuruhmu untuk mengangkat telpon dan cepat sembuh. Dia terlihat sangat perhatian, so sweet...” Ana meledekku. Aku hanya tersenyum kecil padanya dan membuka pesan ketiga.

“aku tak bisa menjengukmu hari ini. Aku sangat...” aku tidak melanjutkan kata-kata itu. Aku berhenti berbicara dan tertegun melihat pesan itu. Ana mengerutkan keningnya dan mencoba untuk mengambil handphoneku.

“sangat apa?” tanya Ana penasaran

“aku tak bisa menjengukmu hari ini. Aku sangat merindukanmu, sungguh... balas pesanku” akhirnya aku mengatakannya. Terlihat wajah Ana berbinar-binar dan senang. Dia langsung mengambil handphoneku, aku hanya diam kaget dan terharu melihat pesan itu. Aku teringat pada senyum Weri yang manis, aku kembali teringat saat Weri mengatakan dia merindukanku, aku teringat saat Weri menarikku ke kantin dan akupun tersenyum kecil.

“hei, apa yang kau pikirkan? Apa...... kau memikirkan Weri. Ayolah, jangan sembunyikan perasaanmu lagi darinya. Jelas-jelas dia terlihat baik padamu dan dia merindukanmu” goda Ana.

“sudahlah, dia memang baik pada semua orang” ujarku menyerah dan memikirkan Weri lagi. Malam ini benar-benar gila, seharian aku hanya memikirkan Weri dan Weri. Aku terus membuka pesan keduanya dan lagi-lagi aku teringat padanya hingga mataku tertutup.

Pukul 11 malam seseorang datang menjengukku. Weri masuk dan duduk disampingku. Dia menggenggam tanganku dan terus menatapku tanpa berbicara. Sambil memegang erat tanganku, dia tersenyum dan hanya bergumam

“cepat sembuh... besok aku harus bertemu denganmu” gumamnya. Dia duduk disampingku selama dua jam hingga akhirnya dia memutuskan untuk pulang.

“kau Weri?” tanya Kak Sintia yang memang sedari tadi asyik dengan tugasnya. Weri mengangguk tenang.

“ah, pantas Lili melakukan hal bodoh itu ternyata kau orang yang dimaksud” ujar Kak Sintia.

“maksudnya? Hal bodoh apa yang Lili lakukan?” tanya Weri mengerutkan keningnya.

“kau tidak tahu?” tanya Kak Sintia. Weri hanya menggeleng. Kak Sintia menghembuskan nafas sambil tersenyum kecil “dia bekerja paruh waktu salama satu bulan ini untuk...” Kak Sintia menahan kata-katanya untuk sesaat, “ah, lupakan sajalah. Coba kau tanyakan pada Ana, dia lebih tahu” ujar Kak Sintia akhirnya dan Weri pergi meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang penuh kata tanya.

“sudah bangun rupanya, ah itu lebih baik” ujar Kak Sintia. Aku menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“mau kemana?” tanyaku langsung

“kau memang mengerti keadaan. Aku harus ke kampus, kali ini dari pagi sampai malam aku harus disana. Tenang saja, aku sudah menyuruh seorang pembantu untuk membantumu disini, tapi mungkin dia tidak akan datang cepat. Oke? Sampai jumpa” ujarnya langsung meninggalkanku tanpa persetujuanku. Aku menatapnya hingga dia menghilang di ujung pintu.

Kali ini aku benar-benar merasa bosan. Walau baru beberapa hari saja aku di tempat tidur, rasanya sudah bertahun-tahun aku disana. Aku mencoba menurunkan kakiku yang luka perlahan-lahan, aku memegang tongkat dan mendorong gantungan infus yang masih tersambung dengan tanganku di tanganku. Aku melihat jam di handphoneku, sekarang pukul 10 lewat. Aku melihat huruf yang merangkaikan kata “Weri Birthday” di layar handphoneku. Aku jadi teringat padanya. Aku meraih kantong mp4 yang kusimpan di laci dan menatapnya iba. Mp4 itu belum sempat aku bungkus, tapi aku harus memberikan ini pada Weri. Aku langsung menuju kontak nama dan terarah pada Weri. Aku mencoba menguhubunginya dan dengan cepat aku dan Weri sudah tersambung.

“Lili...!!!” suara Weri terdengar kaget di telingaku, “kau baik-baik saja? Ah... baru saja aku mau menghubungimu” ujar Weri nampaknya lega.

“aku baik-baik saja... sungguh. Ada apa kau mau menghubungiku?” tanyaku langsung.

“aku hanya ingin tahu keadaanmu, bukankah biasanya setiap malam kau selalu mengirimkan pesan kecil berisikan kata selamat malam? Malam-malam kemarin terasa hampa, sungguh!” penjelasan Weri membuatku tersenyum, “lalu ada apa kau menghubungiku, ini kali pertama kau menghubungiku pertama” ujar Weri.

“tidak, aku hanya ingin menghubungimu saja” ujarku diam. Tak ada suara diantara kita untuk sesaat “ah, aku ada perlu. Kamu hari ini mau kemana?” tanyaku langsung

“hari ini aku akan menjengukmu, ada yang ingin kutanyakan padamu. Kenapa?”

“bagus kalau begitu, aku ada yang ingin disampaikan juga padamu. Sekarang aku tunggu kamu di...”

“memangnya kamu mau menungguku dimana? Kau dirumah sakit sekarang”

“ah... aku ada di taman, tak jauh bukan dari rumah sakit” ujarku yang kini sedang berjalan terpincang-pincang di jalan raya sambil sebelah tangan memegang tongkat dan imfusan, sebelah tangan kupakai untuk memegang handphone.

“kau? Mana mungkin bisa keluar dari rumah sakit begitu saja. Kau gila... aku langsung ke sana saja” begitulah Weri mengakhiri pembicaraan kami di telfon. Aku tersenyum telah membuat Weri khawatir karena jarang sekali Weri begitu perhatian padaku.

Saat aku berusaha meraih infusanku yang jatuh di taman, aku benar-benar lelah padahal beberapa langkah lagi aku akan sampai di kursi taman. Aku mengambilnya dan berusaha bangun. Tiba-tiba seseorang memegangiku dan mengalungkan tanganku di lehernya sambil mengambil infusanku. Aku tersenyum melihat sosok Weri yang selalu muncul tiba-tiba.

“kakakmu pasti akan memarahimu” ujar Weri setelah membantuku duduk di kursi

“cepat sekali kau sampai” ujarku langsung

“aku menggunakan mobil ku yang baru keluar dari bengkel supaya cepat sampai. Jadi kakakmu tidak tahu kau disini?” tanya Weri lagi. Sekarang aku duduk tenang mencoba menghirup udara segar sedangkan Weri duduk menyamping ke arahku, tak seperti biasanya.

“kakak ke kampus sampai nanti malam, lagi pula pembantuku belum datang jadi aku lebih baik berjalan-jalan saja diluar” jawabku. Beberapa saat suasana benar-benar hening. Aku hanya menundukkan kepalaku sambil menjentik-jentikkan jariku. “jadi... apa yang mau kau tanyakan?” tanyaku membuka pembicaraan. Weri terlihat terperanjat begitu aku memalingkan wajahku padanya. Sedaritadi Weri memperhatikanku. Dia tersenyum

“bukan, sebenarnya bukan itu tujuanku. Aku ingin bercerita padamu tentang gadis di toko buku. Kau ingat?” ujar Weri membuatku sedikit menyerah. Aku hanya mengangguk saja.

“aku merindukanmu, sungguh” ujar Weri membuatku kaget

“ah, kalau aku tidak salah, ini kali ketiga kau merindukanku” ujarku mencoba menenangkan pikiran. Weri menggeleng sambil tersenyum manis

“setiap hari aku selalu merindukanmu” ujarnya membuat jantungku semakin berdebar cepat

“aku juga merindukanmu setiap hari, merindukan Ana, kakak, teman-teman di sekolah dan semuanya” ujarku begitu saja.

“tapi yang aku rindukan benar-benar kamu, tak ada yang lain. Ah... sudahlah lupakan saja” ujar Weri akhirnya. Beberapa saat tak ada kata diantara kita.

“jadi... bagaimana dengan gadis di toko buku itu?” tanyaku

“oh iya... aku mencarinya lagi dan gadis itu sudah tidak bekerja karena urusannya telah selesai dan dia sedang sakit. Sekarang gadis nakal itu disampingku” ujar Weri. Aku mengerutkan keningku

“aku? Maksudmu aku gadis di toko buku itu? Aku gadis nakal yang kau maksud?”

“iya... benar. Kenapa kau bekerja paruh waktu? Kau juga membiarkan dirimu jatuh sakit” ujar Weri membuatku semakin kaget.

“aku... aku hanya bekerja saja” ujarku tergagap-gagap. Weri mengambil sesuatu dari saku nya. Dia mengeluarkan mp4 nya lalu menatapnya. Akupun ikut menatap mp4 itu.

“pertama kali aku membeli mp4 ini aku benar-benar tidak tahu apa gunanya, tapi mp4 ini membawaku pada seseorang yang benar-benar selalu membawa hidupku pada senyuman. Walau kadang orang ini menjengkelkan, dan terlalu cerewet tapi nyatanya aku jatuh cinta padanya. Sekarang mp4 ini mati dan tak bisa menemaniku lagi, tapi aku berharap seseorang akan mengisi hatiku” ujar Weri. Aku terharu dengan kata-katanya walau aku tidak terlalu mengerti apa yang dia maksud dan siapa yang dia maksud.

“aku sayang kamu... awalnya aku hanya menyukaimu karena kau selalu membuatku tertawa, tapi lama kelamaan akupun tidak bisa membohongi perasaanku sendiri, nyatanya aku mencintaimu... sungguh. Ini yang ingin kusampaikan padamu dari hatiku” ujar Weri membuatku tergoncang. Jujur perasaanku senang bercampur sakit, aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat ini. Aku tersenyum lebar padanya dan segera memberikan kantong yang tadi aku bawa.

“selamat ulang tahun. Ini untukmu, sebuah kado dariku. Aku harap kau mau menerimanya dan menyukainya” ujarku. Weri mengambilnya dan tak langsung membuka isinya. Dia menghembuskan nafas dengan berat

“kalau kau mau jadi pacarku, kau adalah hadiah terindah di hari ulangtahunku. Aku harap kau mau menerima cintaku” ujar Weri menatapku dengan wajah yang menghawatirkan menurutku.

“itu jawabannya” tunjukku pada kantong itu. Weri mengerutkan keningnya dan langsung membuka isinya. Weri terlihat kaget dan takjub. Dia melirikku dan menggelengkan kepalanya padaku. aku hanya mengangkat kedua bahuku. Dia mengeluarkan mp4 itu. Dengan segera aku mengambil mp4 mati dari tangan Weri.

“ini... apa?” tanya Weri

“itu mp4” ujarku senang

“ini... iya aku tahu ini mp4 tapi ini kan harganya... apa yang kau lakukan? Dari mana kau dapatkan uang sebanyak itu untuk membelinya?” tanya Weri langsung. Tak lama Weri membuka mulutnya. “jadi kau bekerja untuk ini?” tanya Weri langsung. Aku mengangguk sambil tersenyum.

“iya. Awalnya aku tak ingin memberi tahumu, tapi ya apa boleh buat, kau tahu aku bekerja paruh waktu di toko buku, aku menginfestasikan semua uang jajanku selama satu bulan terakhir untuk membeli mp4 ini yang akan aku hadiahkan padamu” jelasku. Weri tersenyum padaku dan mengingat ucapan Kak Sintia tadi malam.

“sejak kapan kau menyukaiku?” Weri bertanya namun agak sedikit menggodaku

“hmm... sejak beberapa bulan yang lalu, aku lupa tapi lebih dari 2 bulan yang lalu” jawabku.

“jadi kau mau menjadi pacarku?” tanya Weri. Aku hanya tersenyum dan berdiri. Aku melangkahkan kakiku

“kau mau kemana?” tanya Weri masih duduk

“bukankah kau akan mengantarkanku pulang ke rumah sakit?” ujarku. Weri mengerutkan keningnya. “kau kan pacarku, aku yakin kau tak ingin melihat kekasihnya sendiri berjalan menuju rumah sakit sendirian dan berlama-lama diluar sampai pihak rumah sakit menghubungi kakakku lalu memarahiku, iya kan?” ujarku. Weri tersenyum dan tertawa. Dia menghampiriku. Weri memelukku sambil bergumam,

“terimakasih, aku akan menyayangimu dengan sepenuh hati” ujarnya. Aku menepuk pundaknya perlahan dan mengangguk. Akhirnya Weri mengalungkan tanganku dilehernya dan membantuku membawakan infusannya. Akupun kembali ke rumah sakit.

Setelah hari itu aku benar-benar senang. Weri selalu menjengukku dan menemaniku sampai aku benar-benar sembuh dan bisa pergi ke sekolah. Beberapa minggu kemudian barulah aku bisa terbebas dari cengkraman tongkat sihir itu walau aku masih berjalan terpincang-pincang.

Aku duduk di taman sendirian saat istirahat tiba. Sambil memandangi langit yang mendung aku menghembuskan nafas dengan berat. Tiba-tiba sesuatu masuk kedalam telingaku.

“sudah makan?” tanya Weri membuatku tersenyum lebar. Aku menangguk dan kembali menatap awan mendung. Sekarang aku dan Weri selalu duduk bersampingan. Weri memegang tanganku dan aku menyandarkan kepalaku di pundaknya.

“apa yang kau lihat di awan mendung itu, tak ada sedikitpun hal yang indah” ujar Weri

“ah... ini seni, seni hati” ujarku

“seni hati? Apa itu?”

“saat aku melihat awan yang mendung dan turun hujan, aku selalu senang karena setelah hujan reda akan ada matahari muncul dan hal yang indah akan datang. Seperti hatiku... saat aku merasa kesakitan dan tak berdaya semuanya terasa benar-benar menyebalkan, tapi dibalik semua itu ada sesuatu yang terselip dan saat kubuka itu akan mengeluarkan sinar kebahagiaan yang benar-benar menderang” jelasku sambil menujuk awan-awan gelap dan tak lama kemudian awan menurunkan gerimis kecil

“aku tak menyangka... ku kira dipikiranmu tak ada kiasan sejernih ini. Ternyata kekasihku mendapatkan nilai mengarang yang hebat” ujar Weri membuatku ingin meremasnya

“apa? Kau tak pernah melihat nilai bahasa indonesiaku? Aku yakin bahasa indonesiamu sangat-sangat buruk” ujar ku kesal

“oya? Masa?”

“iya...”

“oh? Gitu?”

“kau memang menyebalkan. Lepaskan tangaku...!” lalu ...“ jangan cubit pipiku!!” “Hei... kau cari mati. Aku akan mengejarmu dan memukulmu sampai kau minta ampun padaku.” “Weri!!! Tunggu!”

Begitulah aku. Sejak aku dan Weri menjadi sepasang kekasih, aku tak pernah menikmati istirahat sendirian lagi. Memang indah... aku tak pernah meraskan perasaan se tentram ini. Walau masalah datang, aku tetap merasa tenang karena Weri selalu ada disampingku. Terimakasih...

Kau adalah hadiah terindah di ulang tahunku kali ini. Aku tak pernah menyangka harapanku di ulangtahun tahun kemarin akan terwujud. Aku ingin menjadi yang kau harapkan, sungguh... aku tak pernah menyangka kau akan berbagi kasih denganku. Mp4 yang sudah mati kini sudah hidup kembali dan menjadi lebih indah. Terimakasih... you are my special gift... (Weri untuk Lili)

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun