Mohon tunggu...
Mutaqin
Mutaqin Mohon Tunggu... Penulis - Guru dan seorang freelancer

seorang content writer untuk tema yang meliputi pendidikan, sosial, kebijakan publik, hukum serta yang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Komersialisasi Pendidikan di Perguruan Tinggi

10 Juli 2024   10:24 Diperbarui: 10 Juli 2024   10:27 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah percepatan upaya  pembangunan SDM dalam negeri yang masih rendah dengan angka lulusan perguruan tinggi yang terlampau jauh tertinggal dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, Kemdikbud melalui Tjitjik Tjahjandarie selaku Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi-nya justru mengeluarkan statemen kontroversi bahwa pendidikan di tingkat perguruan tinggi sifatnya hanya tersier.

Artinya semua lulusan SLTA tidak harus melanjutkan ke perguruan tinggi yang bukan hanya tidak memberikan solusi dari permasalah semakin mahalnya biaya untuk kuliah namun juga menunjukan ketidakseriusan serta abaynya lembaga paling bertanggung jawab terhadap pendidikan di Indonesia ini.

Pernyataan bahwa pendidikan di tingkat perguruan tinggi sebagai pendidikan tersier merupakan blunder fatal karena menempatkan akses ke pendidikan tinggi ditempatkan pada urutan terakhir dalam skala prioritas kebutuhan. Akan lebih dapat diterima jika pernyataan dari Tjitjik Tjahjandarie menempatkannya pada posisi sekunder yang pemenuhannya dilakukan setelah kebutuhan makan-minum, sandang serta papan terpenuhi. 

Sedangkan terdapat korelasi yang jelas antara SDM berkualitas dengan jumlah lulusan perguruan tinggi dalam suatu negara dan Indonesia angkanya masih jauh dibawah rata-rata dunia dengan urutan ke 6 untuk skala Asean berdasarkan data UNESCO tahun 2011-2020 bahkan kita masih dibawah Filipina (Kumparan.com). 

Dengan berbagai langkah dan kebijakan dari Kemdikbud sebelum-sebelumnya yang menuai kontroversi kemudian tidak lupa disusul juga dengan klarifikasi lembaga ini, seharusnya menjadi pembelajaran dan bahan evaluasi untuk lebih cermat dan lebih hati-hati lagi ke depannya dalam membuat pernyataan menyikapi permasalahan yang ada. 

Namun dengan pernyataan jajarannya di atas terkait prioritas pendidikan di perguruan tinggi menunjukan kementerian ini kurang dalam membenahi diri, pernyatannya yang demikian tentu saja sangat mereduksi semua bentuk keseriusan dari pemerintah selama ini untuk memberikan akses yang lebih luas bagi masyarakat tidak mampu untuk mengenyam pendidikian di perguruan tinggi dan semakin menguatkan anggapan kebijakan-kebijakan dari kementerian ini dilaksanakan secara serampangan dan tanpa koordinasi dengan para ahli.

 Besaran anggaran minimal 20 persen dari APBN yang dialokasikan untuk pendidikan bukanlah nilai yang sedikit, tercatat pada tahun 2024 APBN Indonesia sebesar 3.325,1 Triliun artinya  sejumlah 665 triliun menjadi jatah bagi sektor pendidikan namun sejauh ini dengan anggaran sebesar itu realisasinya masih jauh dari ekspektasi yang diharapkan, misalnya permasalah UKT yang menjadi jauh lebih mahal dari sebelumnya. 


Kenaikan UKT di berbagai perguruan tinggi ini didasarkan pada  aturan yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024, regulasi ini seolah menunjukan ketidakhadiran pemerintah dalam memastikan kemudahan akses pendidikan di perguruan tinggi seluas-luasnya karena pada gilirannya  menjadi pintu bagi pihak perguruan tinggi untuk bertindak secara sewenang-wenang dalam menentukan besarakan UKT dan menimbulkan kesan bahwa pendidikan di perguruan tinggi sarat dengan komersialisasi.

Aroma Komersialisasi pendidikan di tingkat perguruan tinggi menguat dan menjadi pembahasan panas serta menarik menyusul lahirnya kebijakan kenaikan UKT dari berbagai kampus di tanah air yang mengancam akan menyebabkan banyak mahasiswa putus kuliah dan lebih banyak lagi lulusan SLTA yang tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. 

Kenaikan UKT ini tercatat sempat terjadi di berbagai kampus dengan status PTN BH sebelum akhirnya dibatalkan di antarnya UGM, UNBRAW dan IPB, lebih lanjut bahkan kenaikan UKT ini ada yang sampai mencapai tiga-empat kali lipat dari besaran sebelumnya seperti yang terjadi di kampus UNRI sehingga menimbulkan aksi demonstrasi yang dilakukan masing-masing mahasiswa di kampus mereka seperti yang dikutip dari berbagai sumber.

Berbeda dengan di banyak negara yang memiliki kualitas pendidikan yang baik, penerapan pendidikan di Indonesia khususnya di tingkat perguruan tinggi banyak dijumpai praktik-praktik komersialisasi yang lumrah terjadi bahkan hal demikian tidak sedikit juga ditemukan di perguruan tinggi berstatus negeri yang seharusnya terhindar dan bebas dari unsur-unsur kapitalisme demi keuntungan materil sekelompok orang tertentu. 

Praktik komersialisasi ini nyatanya telah mengakar lama dalam ranah perguruan tinggi terlebih sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yang memberikan fleksibilitas bagi perguruan tinggi untuk mengatur dan mengelola secara mandiri baik pada bidang akademik maupun keuangannya dengan membagi PTN ke dalam bentuk badan hukum (PTN BH) serta badan layan umum (PTN BLU).

Ketentuan penerapan perguruan tinggi negeri dengan status badan hukum maupun yang berbentuk badan layanan umum sejatinya dimaksudkan agar perguruan tinggi dapat lebih maksimal dalam menjalankan tugasnya dengan pemberian fleksibiltas dan kemandirian, namun dalam perjalanannya dijumpai banyak permasalahan baru. 

Aksi demo dari mahasiswa UNILA (sumber: kompas)
Aksi demo dari mahasiswa UNILA (sumber: kompas)

Selain kurangnya transaparan dalam pengelolaan keuangan yang membuka celah tindak korupsi oleh pejabat kampus seperti yang terjadi pada Rektor Unila. PTN BH juga memiliki kecendrungan kuat melakukan upaya komersialisasi terhadap para mahasiswanya melalui ketentuan besaran UKT yang kian mahal guna mendapatkan pemasukan dana yang besar. Dengan kondisi yang demikian tidak mengherankan jika kemudian sempat terdapat kampus yang bekerjasama dengan pinjol untuk pembayaran UKT.

UKT merupakan bentuk nyata komersialisasi yang paling berdampak terhadap akses pendidikan perguruan tinggi yang dirasa mahal bagi banyak mahasiswa dan calon mahasiswa. Padahal jika kita mengacu pada ketentuan yang ada pembayaran biaya pendidikan dengan skema UKT sudah ideal karena skema ini ditujukan agar pembagian besaran uang kuliah setiap mahasiswa dilakukan secara proposional sesuai taraf kemampuan ekonomi keluarganya. 

Selama ketentuan yang mengatur PTN BH dan PTN BLU tidak diregulasi kembali dengan baik serta dibarengi dengan pengawasan yang memadai maka akan lebih banyak lagi PTN-PTN yang berlomba-lomba dan ngotot untuk memperoleh status badan hukumnya yang akan semakin memperluas komersialisasi di tingkat perguruan tinggi negeri.

Selain itu, Kemendikbud seharusnya lebih fokus pada penyelesaian permasalahan yang ada secara hati-hati dan mengurangi segala macam pengambilan sikap dan statemen yang memancing kemarahan publik seperti yang sudah banyak dilakukannya selama ini  sehingga Nadim Nakarim tidak akan dicap sebagai sebagai kemendikbud yang gagal sebagaimana yang disampaikaan oleh  pakar pendidikan nasional, Ki  Darmangtyas, yang menilai Nadim Nakarim sebagai Menteri pendidikan tertburuk dalam sejarah Indonesia dan anggapan ini pun sejalan dengan pandangan banyak netizen Indonesia yang tidak puas dengan kinerjanya selama menjabat.

“Tidak tahu pendidikan dan tidak mau mencari masukan dari orang-orang yan tahu tentang pendidikan, sehingga dalam banyak kesempatan saya bilang saat ini kita memiliki menteri pendidikan yang terburuk sepanjang masa” ungkap Ki Darmaningtyas ( pikiran-rakyat.com).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun