Buku : Jika Tuhan Mengatur Rezeki Manusia, Mengapa Kita Harus Bekerja?
Penulis : Imam al-Muhasibi
Penerjemah : Abdul Majid, Lc.
Penerbit: Turas pustaka
ISBN : 978-623-7327-70-7
Terbitan: Cet. 1, Juli, 2022
Peresensi : Musyfiqur Rozi*
Kekayaan (uang, rumah mewah, kendaraan yang mahal, harta berlimpah) seringkali dijadikan tolak ukur dari sebuah rezeki. Padahal, esensi dari rezeki tidak hanya berkutat pada harta benda duniawi. Akan tetapi, rezeki menyangkut segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan oleh kita, baik secara material maupun spiritual, baik digunakan di dunia, maupun di akhirat.
Bekerja mencari nafkah adalah konsekuensi dari keberadaan manusia di muka bumi. Satu perkara yang sepantasnya dilakukan. Dalam hadits disebutkan bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah jika diniati baik. Dengan bekerja seseorang bisa menafkasi keluarga, berbagi harta dan lain sebagainya.
Belakangan ini, terjadi pemetaan antara ilmu fiqih dan tasawuf. Artinya, fiqih berbicara yang dhahir sementara tasawuf berbicara urusan hati. Sebagai ulama yang 'alim dan 'allamah, menguasai berbagai ilmu berbagai bidang, imam al-muhasibi yang notabane-nya adalah ulama tasawuf menulis kitab al-Makasib. Yakni kitab fiqih namun dibumbui dengan aroma tasawuf. Tak heran bila di sepanjang buku ini tidak hanya membahas masalah fiqih semata, akan tetapi nilai tasawuf yang tertanam juga sangat kental dan kentara.
Sebagai pengantar buku ini, Prof. H. Abdul Kadir Riaydi menyebutkan bahwa imam al-Muhasibi nyaris tidak diakui aliran sanad tasawufnya. Ini dilantarkan tasawuf yang diperkenalkan olehnya bukan tasawuf biasa, akan tetapi tasawuf modern yang melampaui zamannya. (xv)
Hakikatnya, segala urusan merujuk pada al-qur'an dan hadits. Namun, dalam buku ini tidak hanya merujuk pada kedua nash tadi, akan tetapi juga diperkuat oleh beberapa ulama tasawuf dalam menguatkan argumennya. Atau, pendapat syaqiq, salah satu ulama tasawuf yang terlalu ekstrim sehingga menolak keharusan mencari nafkah karena dinilai bahwa mencari nafkah atau bekerja adalah perbuatan maksiat. Menurutnya, Allah telah menjamin dan mencukupi rezeki setiap manusia sehingga bekerja atau berusaha meraih rezeki menyariatkan keraguan terhadap janji dan jaminan Allah. (62)
Sebenaranya, Allah membagi rezeki di antara manusia dan meletakkannya di banyak tempat sesuai catatan lauhul mahfudz, kemudian Allah memerintahkan agar bertawakal kepada-Nya. (21) Kita berusaha, segala kehendak ada pada-Nya. Selaras disampaikan Umar, kita lari dari takdir Allah menuju takdir yang lain.
Ada banyak dalil nash yang menjatuhkan pendapat syaqiq. Salah satu-nya dalam QS. Al-Jumu'ah,"wahai orang yang beriman, apabila (seruan) untuk melaksanakan shalat pada hari jum'at telah dikumandangkan, segeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". Ini menandakan bahwa untuk menopang segala kebutuhan pokok manusia, maka harus berintraksi dengan orang lain. Namun, ketika sudah waktunya shalat, maka segera mungkin menunaikannya.
Adanya janji dan jaminan dari Allah tentang rezeki, bahkan sebelum kita dilahirkan ke dunia, bukan berarti dijadikan alasan untuk hidup bermalas-masalan untuk mencari rezeki. Allah memerintahkan hambanya untuk menjemput rezeki, harus tetap melakukan ikhtiar ragawi. Diibaratkan, jangan menunggu datangnya bola, akan tetapi jemput bola untuk mencetak gol. Dalam hadits, sebaik baiknya rezeki yang dimakan adalah hasil jerih payahnya sendiri. (69)
Secara naluriah, demi menopang kebutuhan pokok hidup manusia, Allah menganjurkan manusia untuk berkasab (mencari rezeki). Di era digital seperti ini, sulit sekali mendeteksi mana rezeki yang halal dan yang haram. Oleh sebab itu, imam al-Muhasibi dalam kitab almukasib memaparkan berbagai hal yang berkatian dengan rezeki. Mulai dari bagaimana memahami rezeki, keharusan bekerja dan berbagai asalan lainnya.
Secara menyeluruh, dalam buku ini imam al-Muhasibi mendedah kiat-kiat untuk mendapat rezeki halal dan hidup berkah, alasan syariat mengapa kita harus mencari rezeki, motivasi untuk bekerja yang bernilai ibadah. Sebenarnya, urusan dunia jika diniati baik, maka juga akan bernilai ukharawi. Tergantung masing individu mengonversi ikhtiar agar bernilai ukhrawi.
Siapa yang mencari rezeki degan cara yang benar, tidak melanggar batas syariat, bersikap wara', berkaya dalam hal yang berkaitan dengan pekerjaan, dia telah taat kepada Allah dan menjadi orang terpuji. (40)
Sebaliknya, barangsiapa yang mencari rezeki dan menyimpang dari nash. Menyalahi aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah, maka dia telah mendaftarkan diri menjadi orang tercela. Kadar ketawakalannya berkurang dan dianggap belum menunaikan kewajiban sebagai hamba.
Semoga dengan hadirnya buku ini bisa memicu semangat untuk lebih maksimal dalam mengais rezeki. Namun, alangkah baiknya bila kita membaca teks aslinya agar lebih akurat makna yang kita bisa serap tanpa filter penerjemah. Selamat membaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H