Mohon tunggu...
Mujab Syaiful Haq
Mujab Syaiful Haq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

olahraga

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kebijakan Makroprudensial Ampuh di Indonesia

10 November 2023   15:54 Diperbarui: 10 November 2023   16:03 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Krisis global tahun 2008 tentang kegagalan pembiayaan kredit atas barang properti atau yang sering disebut subprime mortgage. Krisis keuangan memberikan dampak sistemik bagi keuangan negara lain karena, efek domino perekonomian yang terkoneksi dengan Amerika Serikat. 

Efek dari subprime mortgage ini terjadi runtuhnya Perusahaan lehman Brother dan beberapa yang lain. Ini yang menjadikan perekonomian Amerika Serikat mengalami konstraksi selama 2 tahun yakni 2008 sekitar 0,38% dan 2009 sekitar 3,08%. 

Akibat dari subprime mortgage, Indonesia mengalami banyak masalah seperti penurunan Indek Harga Saham Gabungan, yang mana para investor lebih manarik uangnya atau sering disebut capital out Flow. 

Selain penurunan IHSG, terjadi juga pelemahan likuiditas perbankan, efek dari subprime mortgage ini memang merambat pada pembiayaan perbankan karena pada saat itu suku bunga acuan masih tinggi sekitar 9,50 Bps. 

Langkah yang dilakukan oleh bank Indonesia adalah perlahan menurunkan suku bunga agar perbankan juga menurunkan suku bunga kredit dengan dalih perbankan dapat menyalurkan kreditnya yang sesuai supaya tidak membebani pengusaha agar tidak terjadi kegagalan bayar bagi pengusaha atau kredit macet. 

Selain masalah likuiditas perekonomian Indonesia mengalami tekanan, dengan ditandai penuruan ekspor, nilai tukar rupiah semakin melemah, kemudian dipasar saham terjadi selisih risiko yang terlalu tinggi sehingga mengakibatkan capital out flow besar-besaran.

Terjadinya krisis subprime mortgage pada perbankan, memunculkan terobosan atau inovasi kebijakan baru di dunia perbankan. Kebijakan baru seperti kebijakan Makroprudensial awal dikenalkan akibat terjadinya krisis 2008. 

Kebijakan makroprudensial diharapkan dapat menurunkan dampak dari risiko sistemik atau efek donomi dari krisis keuangan saat itu dan dapat dipergunakan pada masa depan saat terjadi krisis yang sama. 

Beberapa intsrumen kebijakan makroprudensial yang digunakan Bank Indonesia yang tertuang pada UU no 21 tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan, yang mana undang-undang tersebut juga sekaligus menentukan pembagian tugas dan fungsi antara otoritas jasa keuangan dan bank Indonesia. 

Instrumen kebijakan makroprudensial yang digunakan yakni, LTV (Loan To Value) ini merupakan nilai kredit yang diberikan oleh bank konvensional atau syariah dalam pembiayaan krdit property atau agunan. Kemudian ada CCyB (Countercyclical Buffer) yakni sebagai tambahan modal yang digunakan untuk membantu perbankan Ketika terjadi kekurangan modal sehingga tidak terjadi likuiditas macet.

Terjadi Kembali pasca Covid

Setelah 12 tahun dunia mengalami krisis keuangan pada tahun 2008, Kembali terjadi akibat dari pandemic Covid-19. Pandemic Covid-19 bisa dibilang bukan merupakan krisis ekonomi namun, dampak dari terjadinya pandemic Covid-19 mengimbas ke perekonomian dunia. 

Akibatnya, dengan pemberlakukan lockdown dibeberapa negara dunia, menurunkan aktivitas perekenomian bahkan tingkat angka pekerja menurun drastis akibat terjadi pemutusan hubungan kerja karena suatu Perusahaan atau industri tertentu mengalami kerugian dampak aktivitas produksi menurun. 

Penurunan aktivitas produksi yang tidak seimbang dengan kenaikan konsumsi yang tinggi saat itu mengakibatkan harga-harga relatif mahal karena supply yang sedikit daripada permintaan. Dengan banyaknya Masyarakat yang terputus kerja dan kenaikan harga atau inflasi yang tinggi, pemerintah Bersama bank Indonesia melakukan sebuah bauran kebijakan. 

Dari sisi pemerintah mendapatkan tambahan kas negara melalui penjualan SBN dipasar primer dan pada sisis moneter atau bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga serendah-rendahnya dan sekaligus memberlakukan insentif makroprudensial untuk pembiayaan menopang perbankan dengan tujuan dapat memberikan pembiayaan kredit bagi Masyarakat yang membutuhkan. Dirasa bauran kebijakan ini sangat mampu bertahan dari guncangan tersebut.

Tanggal 3 maret 2023, terjadi Kembali guncangan keuangan di Amerika serikat yang Sekarang terjadi pada Silicon Valley Bank. SVB merugi sekitar 1,8 miliar USD atau setara 27,6 Triliun rupiah. 

Beberapa pendapat kebangkrutan SVB ini terjadi karena banyak para starup yang bergantung pada SVB tidak menyetorkan modalnya karena terjadi masalah ekonomi saat itu dan juga diterpa kenaikan suku bunga yang menggila dari the FED. 

Silicon Valley Bank diprediksi Bangkrut akibat dari penarikan semua nasabah atau investor bank tersbut secara besar-besaran akibat dari pernyataan pers pihak bank yang membutuhkan dana atau modal tambahan. Para nasabah berfikir jika terus menyimpan uangnya di SVB nasabah akan merasa merugi, maka dari itu terjadi penarikan besar dari nasabah yang bersifat substansial.

Bagaimana dengan Perbankan Di Indonesia?

Kabar bangkrutnya Silicon Valley Bank menjadi trending hangat di dunia perbankan, karena perbankan juga ikut was was dari dampak sistemik dari kejadian tersebut. 

Kolapsnya Silicon Valey Bank tidak memebrikan dampak yang berarti bagi perbankan di Indonesia, karena tidak memiliki hubungan langsung dengan SVB. Namun, efek dari kolapsnya Silicon Valey Bank ini dirasakan pada perubahan pergerakan saham dipasar keuangan. 

Dilansir CNBC Indonesia IHSG merosot 1,54% ini terjadi akibat dari masih lemahnya pasar saham global dan juga diterjang akibat bangkrutnya Silicon Valley Bank.

Walaupun tidak memiliki dampak yang berarti bagi perbankan Indonesia, perlu menjadi catatan penting bahwa kejadian Silicon Valley Bank ini sebagai pembelajaran bagi perbankan di Indonesia untuk lebih menguatkan dari system pembiayaan yang tepat. 

Bank Indonesia sebagai otoritas tertinggi perbankan juga harus waspada dalam menangani kondisi perbankan Di Indonesia melalui kebijakan makroprudensial supaya dapat terus menjaga stabilitas system keuangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun