Menurut penangkapan kepala saya, puisi di atas berusaha menggambarkan keputusasaan seseorang yang ingin mewujudkan keinginannya namun ia tak kunjung menemukan keberhasilan walau sudah lama berusaha dengan keras.Â
Tentu banyak orang yang pernah atau sedang mengalami nasib serupa seperti orang yang digambarkan dalam puisi. Ini pemilihan tema yang apik karena dapat menarik banyak orang untuk membaca dan turut berempati atas kesamaan nasib.
Untuk diksi atau pemilihan kata yang digunakan Ayah Tuah disusun secara lugu dan bahkan cenderung mengarah ke klise. Tidak ditemukan kalimat yang benar-benar "jleb" yang bisa bikin saya berhenti membaca sejenak untuk memberikan reaksi Wah!
Tapi saya tetap suka pemilihan kata dari baris-baris ini: Mendapati luka// Yang nganga //Mimpiku masih berdarah
Baris-baris itu memiliki imaji yang kuat. Saya seperti diajak untuk turut melihat warna merah dan merasakan perihnya keinginan yang tak tergapai..Â
Meskipun dengan kesederhanaan diksi, Ayah Tuah mampu menggambarkan perasaan "Aku" dengan sangat baik. Ketika membaca, saya bisa merasakan keputusasaan, kesedihan dan kelelahan yang dialami "Aku" karena belum mendapatkan keberhasilan hingga terbawa mimpi.
Saya berkesimpulan bahwa puisi berjudul Mimpi karya Ayah Tuah ini termasuk puisi yang bagus sehingga tak mengherankan jika dijadikan sebagai artikel utama.
Puisi Mimpi ini membukakan jendela bagi saya untuk bisa melihat bahwa Ayah Tuah merupakan Fiksianer yang berkualitas baik dan sangat pantas bilamana ia harus menanggung menang di acara Kompasiana Awards 23 November nanti.
DemikianÂ
**
Dukung dan vote Kompasianer Favorit anda di sini Kompasiana Awards