Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Marni

13 November 2021   17:05 Diperbarui: 26 November 2021   20:10 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ingsun yoon/unsplash.com

Tak seperti kelahiran bayi pada umumnya, Marni tidak merasakan sakit apapun ketika membrojolkan bayi dari rahimnya. Malam itu udara dingin menyayat kulit. Marni terlentang dengan perut busungnya telah terbenam di dalam selimut. Ia hendak tidur.

Tak lama memejamkan mata, ia kentut dengan bunyi "duuuut" yang panjang dan keras sekali. Tapi tak berbau. Tak disangka bersamaan dengan keluarnya kentut, isi dalam rahimnya ikut mak prul keluar begitu mudahnya.

Marni sempat tertegun beberapa detik. Heran dengan busung di perutnya yang mendadak kempis. Ia memang merasakan ada sesuatu yang keluar dari perutnya. Tapi karena ia tidak merasa kesakitan, benaknya ragu benda apakah yang keluar itu. Apakah bayi, tahi, atau cuma angin kentut. Ia sungguh kebingungan.

Ketika ia bangkit, menyibak selimutnya dan lamat-lamat dalam temaram lampu tidur melihat ada seonggok daging berlumur darah yang punya kepala besar namun kaki serta tangan yang kecil, barulah ia yakin apa yang dirasakannya tadi adalah benar-benar peristiwa melahirkan.

"Huh, mati juga kau" ucap Marni dalam hati.

Meski berbentuk bayi, Marni menganggap bayinya itu cuma sebagai seonggok daging tak bernyawa. Lagi pula sedari tadi seonggok daging itu tidak menunjukkan adanya pergerakan.

Seonggok daging berkepala besar itu diam bergeming di atas kasur berlumur darah dengan pose tangan dan kaki siap, lurus bak anak pramuka sedang upacara. Juga tidak mengeluarkan jeritan seperti bayi biasanya.

Memang begitulah yang Marni harapkan. Sejak awal kehamilan ia telah berulangkali berusaha mencegah bayi itu tumbuh dalam rahimnya. Ia sering menonjok-nonjok perutnya sendiri. Ia kerap melilitkan tali mengikat perutnya erat-erat, hingga rutin minum obat dan jamu ramuan mbah dukun demi menghentikan tumbuhnya janin dalam perutnya.

Tapi sekuat apapun Marni berusaha mematikan, janin itu tetap tangguh. Ia Terus tumbuh, ia tak mau kalah dengan perlakuan Marni. 

Seolah marah dengan calon ibunya, Janin itu selalu bisa menyerang balik Marni dengan memberikan rasa nyeri yang luar biasa hingga akhirnya Marni menyerah untuk mengulangi berbuat macam-macam. Ia memutuskan membiarkan janin itu terus membesar dalam perutnya.

Sejenak melihat keadaan seonggok daging yang dilahirkannya itu mati, Marni merasa ada perasaan lega menyeruak di dalam benak dan hatinya.

Kemudian ia mengalihkan pandangan ke arah jam merk Seiko KW yang menempel di dinding biru sebelah kanan kasurnya. Terlihat oleh mata ngantuknya jarum pendek menunjuk ke angka satu dan jarum panjang menyalip tak jauh dari itu.

"Nanti, subuh saja kau kubereskan" Ucap marni dalam hati setelah sesaat mengarahkan kembali pandangannya ke arah seonggok daging itu.

"Hoamm."  Marni menguap sambil mengulet. Hawa dingin hilang berganti sumuk. Ia merasa kergerahan dan menceklik tombol kipas yang berada di samping kasurnya di angka dua. Kemudian merubuhkan kembali tubuhnya ke kasur.

Tanpa ambil pusing, ia langsung tertidur tak pedulikan seonggok daging, ari-ari dan darah telah membasahi permukaan kasur di bagian selangkangannya.

**

Jarum pendek terlihat sudah berada di antara angka empat dan lima. Marni terbangun oleh suara nyaring tangisan. Seonggok daging yang semula dikira mati ternyata kini bisa menjerit-jerit. Menjerit keras, seolah tak mau kalah berisik dengan bunyi dari toa-toa sember yang sedang bersahutan di tiap-tiap gang.

Tangisan bayi itu membuat Marni panik. Kuatir tetangga kontrakan ada yang mendengar. Lalu ia segera meloncat dari kasur. Menceklik tombol lampu utama kamar kontrakannya.

Begitu terang dan benda-benda dalam kamar kelihatan semua, Marni langsung mengangkat, menggendong bayi itu dan berniat ingin membekap mulut bayinya.

Namun belum juga telapak tangan Marni sampai membekap mulut, bayi itu sudah berhenti menjerit. Dalam gendongan Marni bayi itu kemudian tersenyum, lalu tertawa tanpa suara memperlihatkan gusi dengan kelopak mata masih rapat terpejam.

Tubuh bayi yang semula diam pun perlahan terasa menggeliat. Kaki bayi bergerak-gerak kecil. Masih dalam gendongan Marni, bayi itu  mengulet, tangan kiri terkepal mengarah ke wajah Marni seolah ingin menononjok.

Mengamati senyum bayi yang indah dan gerakan bayi kian detik makin lincah membuat hati Marni serasa dicekik oleh rasa bersalah. Marni mulai menyadari bahwa semua yang terjadi selama ini bukan salah si bayi. Tetapi akibat salahnya sendiri.

Seraya memandang lekat-lekat wajah bayinya yang merah keunguan, pikiran Marni jauh mengandai-andai. Andai saja dulu ia dan Karno, kekasihnya tidak keburu terhasut oleh gejolak cinta becampur birahi tentu ia tidak akan nekat bergulat di ranjang bersama karno meski belum menikah.

Andai saja ia bisa menahan syahwat, tentu dia tidak akan hamil duluan. Dan tentu nasib Karno, pujaan hatinya itu tidak akan berakhir mengenaskan.

Andai saja... tentu Karno, lelaki gagahnya itu tidak akan langsung digebuki keluarga dan puluhan warga kampung sampai mati. 

Padahal saat itu Karno datang ke rumahnya berniat baik ingin bertanggungjawab atas kehamilannya. Tapi keluarga dan warga terlanjur marah. Terlanjur malu. Belum sempat babibu, sekujur tubuh Karno sudah bonyok membiru.

Andai saja ia bisa bersabar sebentar, tentu ia tidak akan hamil duluan. Dan tentu ia tidak akan dikucilkan sampai diusir dari kampungnya dan harus menghidupi diri sendiri di luar Kota. Ah.. pikiran Marni dipenuhi dengan penyesalan dan kalimat andai saja.

Sembari mengelus-elus kepala besar bayi, Marni sudah benar-benar tersadar bahwa semua yang telah terjadi adalah karena kesalahannya sendiri. Dan Marni sangat menyesali sikap arogan yang selalu menyalahkan bayi yang ada dalam kandungannya.

"Oh, maafkan ibumu yo, Nang. Betapa jahat aku mau membunuh mahluk seimut kamu. Maafkan, Ibu" Ucap Marni yang kemudian menciumi jidat lebar bayi yang masih berbau amis itu sambil menangis bercucuran air mata.

Hampir lupa, Marni meraih gunting yang berada di meja. Ia meletakkan kembali bayi di atas kasur. Bayi itu menangis menjerit-jerit lagi.
Marni dengan cepat memotong tali pusar bayi mengikatnya dengan simpul mati. Lalu ia gendong lagi si bayi. Mendekatkan mulut bayi ke dadanya. Bayi itu kemudian menyedot dengan anteng, walau sebenarnya ASI dari Marni tidak keluar sama sekali.

"Maafkan ibu, Nang. Akan ibu tebus kesalahan dengan mengabdikan hidup hanya untuk merawatmu. Sampai jadi manusia yang berwibawa." Ucap Marni menangis sesenggukan.

Tiga menit kemudian, Marni merasa sedotan bayi di putingnya makin melemah. Sampai pada menit kelima, bayi itu kehilangan tenaga untuk menyedot. Mulut bayi terlepas dari dada Marni. Mulut itu kaku menganga. Sesaat kemudian tak ada lagi  pergerakan dari tubuh mungil.

Keadaan bayinya yang berubah begitu membuat Marni diserang ketakutan. Ia Takut bayi yang baru mulai dicintainya itu tiba-tiba mati.

"Nang! Nang! Nang! Nak lanangku!" Marni memekik, memanggil-manggil bayi yang belum dinamai. Ia mengguncang-guncang tubuh bayi itu. Namun si bayi tetap bergeming. Tak ada respon barang satu gerakan atau satu tangisan.

"Nang! Nang! Hidup Nang!!"  Marni mengguncang-guncang bayi itu lagi, namun tetap sama tak ada respon.

Jarum-jarum jam di dinding kontrakannya terlihat menumpuk tepat menunjuk ke angka lima. Toa-toa sudah berhenti berbunyi. Suasana Sunyi. Marni telah memeriksa tanda kehidupan bayi berulangkali.

Ia menyentuhkan telapak tangannya ke leher bayi, dingin tak ada denyut nadi. Ia menutup lubang hidung bayi dengan jari telunjuk, tak ada embusan nafas terasa. Ia menempelkan telinganya ke dada bayi, tak ada detak jantung didengarnya.

Ketika itulah Marni menyadari Bayinya yang baru ia cintai, kini sudah benar-benar mati. Bayi itu sudah benar-benar memenuhi harapan di awal kelahirannya, hanya seonggok daging tak bernyawa.

"Uaaaaaaa!!!"

Tangis Marni pecah seketika. Ia menjerit keras-keras sembari mendekap erat-erat mayat bayi. Ia terus menjerit keras sekali.

Tetangga sebelah dan orang-orang yang baru pulang ibadah berkumpul ketika mendengar jerit tangis Marni.
"Mbak Marni kenapa?" Teriak seorang warga dari luar kamarnya.  Marni tak menggubris dan terus menangis.

Karena takut ada apa-apa, orang-orang yang berkumpul itu lalu sepakat untuk mendobrak kamar kontrakan Marni. Begitu pintu berhasil mereka buka paksa, Marni yang menangis sambil memangku mayat bayi, mengarahkan pandang menatap kerumunan mereka. Dan entah apa alasannya, ia tiba-tiba tertawa-tawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun