Juni.
Panggilan yang masuk ke call center kegawatdaruratan mulai ramai sekali. Satu shift, hampir tak terhitung panggilan dari warga yang ingin mendapat informasi masalah kesehatan. Dan setidaknya ada lima hingga sepuluh panggilan yang membutuhkan bantuan paramedis dengan segera.
Keluhan utama mereka rata-rata sama: demam disertai nafas yamg teramat sesak. Perlu pertolongan pertama dan dirujuk ke rumah sakit untuk penangan lebih lanjut.
Keadaan demikian merupakan hal yang tidak biasa. Petugas kami yang hanya memiliki satu tim ambulans sampai keteteran untuk merespons cepat panggilan-panggilan itu. Terpaksa harus ada warga yang harus mengantri untuk mendapatkan pelayanan paramedis. Bahkan mungkin ada yang tidak sempat terlayani.
Di rumah sakit-rumah sakit, keadaan sangat lebih sibuk. Ruang IGD penuh sesak. Perawat, dokter dan petugas kesehatan lainnya terlihat begitu kelelahan menangani pasien-pasien yang terus berdatangan. Keringat mereka kulihat bercucuran di jidat, alis dan pelipis. Dan sekujur badan mereka yang rapat terbungkus baju hantu itu pun pastinya basah dibanjiri keringat.
Hari-hari berikutnya keadaan tak membaik. Semakin banyak orang-orang mengalami sakit. Â Panggilan bantuan masih padat, IGD makin membludak mungkin hampir meledak, gedung isolasi ramai sekali, di rumah-rumah para isoman banyak yang bertambah sakit terserang kesepian. Mereka yang tak sanggup menahan sakitnya akhirnya dipanggil Tuhan.
Media tak henti-henti memberitakan keadaan yang buruk itu. Menumbuhkan benih-benih kepanikan dalam pikiranku. Aku mulai berhenti menonton televisi, tak mendengar radio, dan tak membaca koran supaya benih-benih itu berhenti tumbuh di pikiranku.
Hanya sesekali sepulang kerja aku menonton ponsel merebahkan tubuh, melepas lelah, menghibur diri sembari menatap layar bergambar anak-anak muda sedang bergoyang diiringi lagu palpalepale, gembiranya mereka berjoget, seperti tak punya beban.
Juli.
Toa di mushola-mushola menjadi lebih sering berbunyi. Mengumandangkan adzan dan innalillahi. Entah kenapa. Makin hobi saja Ia memanggil orang-orang untuk menghadap kepangkuan-Nya. Mungkin Tuhan sedang kangen. Mungkin Ia rindu. Â Tapi dasar aku hamba yang durhaka, panggilan shubuh saja aku sama sekali tak mendengarnya. Sadar-sadar matahari sudah tinggi di jendela.
Aku harus segera berangkat bertugas pagi itu. Sudah setengah tujuh, aku harus buru-buru. Ke kamar mandi, nongkrong cebok siram. Kemudian mengguyurkan air ke seluruh tubuhku, menggosok daki-daki, tak lupa menggosok gigi. Tak sempat aku melamun atau bernyanyi-nyanyi.
Aku memakai seragam, bercermin sebentar merapikan diri sendiri sebab belum beristri. Lalu segera pergi menuju kantor menunggangi skuter yang belum dipanasi. Pagi itu perutku sudah berteriak ingin sarapan, tapi mulutku masih malas mengunyah makanan. Akhirnya aku berangkat tanpa sarapan.
Tak lama sampai, ponsel call center sudah berbunyi. Ada panggilan. Seorang warga, perempuan, usia 50 tahunan mengalami sesak nafas tak tertahankan, panas lemas sekujur badan, perlu bantuan petugas kesehatan. Segera.
Aku dan tim bergegas memakai baju hantu. Lalu segera menunggangi ambulans menuju rumah ibu itu, melaju membelah jalanan dengan sirine nyaring, jangan sampai keduluan dengan malaikat kematian.
Sampailah di perkampungan. Untuk menuju rumah ibu itu kami harus melewati gang yang sempit. Agak kesusahan kami mendorong gerobak tidur ke sana. Tapi dengan beberapa akal-akalan akhirnya pertolongan pertama dan evakuasi menuju rumah sakit pun dapat dilakukan.
Belum sampai di rumah sakit, sudah ada panggilan lagi. Kali ini ada warga, laki-laki, usia 30 tahunan, merasakan kondisi yang sama dengan ibu yang sedang kami evakuasi. Kami minta ia menunggu. Segera setelah ibu ini sudah selesai ditangani tim langsung menuju ke situ.
Beruntung, ketika ditemui kondisi laki-laki itu masih baik, dan tidak separah apa yang diceritakan dalam panggilan sehingga cukup diberikan terapi agar sesak nafasnya berkurang lalu melanjutkan isoman tanpa perlu dirujuk ke rumah sakit.
Lalu ada panggilan lagi. Keluhan sama lagi. Dengan tubuh yang sudah mulai gerah, keringat bercucuran dan nafas yang tersengal kami bergegas menuju lokasi. Juga masuk ke dalam gang sempit. Melakukan pertolongan, menggotong badannya, membaringkannya di gerobak, mendorong, memasukkan ke ambulans  lalu melaju menuju rumah sakit berkejaran dengan malaikat kematian.
Lapar, lapar dan haus sekali aku. Aku lupa tadi pagi belum sarapan. Tak menyangka mendapat rejeki panggilan beruntun seperti ini sampai tak sempat untuk membuka baju hantu ini. Tapi aku sudah terbiasa begini dulu --semasa jaman ngekos sudah sering kelaparan jadi masih bisa aku tahan. Masa begini saja mau pingsan.
Di rumah sakit, IGD hampir meluber. Petugasnya kerepotan, kelelahan, dan mungkin juga sedang kelaparan karena lupa sarapan. Seorang perawat muda cemberut kepada kami.
Kami tahu ia kesal dan lelah karena kami masih saja bawa pasien. Padahal ketersediaan ruang dan petugas tidak mencukupi untuk melayani banyaknya pasien. Tapi mau bagaimana lagi.
Untungnya dia masih menerima pasien yang kami bawa. Dengan nada lembut penuh kasian sembari membetulkan selang oksigen, perawat muda itu berkata kepada pasien yang gelisah "sabar ya, bu. nunggu ruangan".
Lalu ada panggilan lagi. Aduh. Di mataku muncul kunang-kunang. Dan Perutku barbar sekali, menusuk-nusuk paru-paruku sampai susah nafasku. Sabar sedikitlah, perut! Ini ada panggilan, hardikku.
Panggilan itu datang dari bapak-bapak, seorang suami berusia 40 tahunan. Dia dan istri sedang menjalani isolasi mandiri sudah jalan lima hari. "Istriku sedang dalam kondisi tidak karuan", katanya.
 "Tolong".
"Tapi maaf, semua rumah sakit sudah penuh, Pak", jawabku lesu.
"Tolong, Mas", katanya.
Kami langsung menuju rumah bapak itu. Jaraknya lumayan jauh di ujung. Ambulans harus melewati pasar dan kepadatan kendaraan jalan lainnya. Agak lama. Kami ngebut. Wiu-wiu. Sampailah di depan gang.
Di bawah sinar matahari yang membuat baju hantuku makin panas dan bikin perutku makin berisik, kami mendorong gerobak menyusur jalananan berpaving. Ketemu rumah Bapak itu.
Ketemu. Bapak itu duduk lemas di pintu. Wajahnya begitu lesu seperti belum pernah sarapan, sinar matanya padam penuh kesedihan. "Sudah tidak ada, Mas", Katanya lirih.
Kami terdiam. Berjalan perlahan memasuki rumah itu. Didapatilah tubuh istri Bapak itu telah layu di atas shofa. Nafasnya berhenti, denyut nadinya tak terdeteksi, pupil matanya tak bereaksi. Istri Bapak itu meninggal ketika sedang menunggu kami.
Sontak perasaan menyesal menyelimuti hati kami. Perasaan lapar karena tak sarapan juga membuatku tambah menyesal.
"Kami minta maaf, Pak".
"Tidak apa-apa, Mas. Terima kasih bantuannya".
Lalu kami menggotong tubuh Istri Bapak itu. Memindahkannya dari kursi ke tempat tidur. Rasa lapar membuat lenganku gemetar tapi untunglah aku masih kuat menahan berat tubuhnya. Kami merapikan posisi tubuhnya, kami selimuti dengan selembar kain batik tulis bermotif kembang, melafalkan sedikit doa yang kubisa.
Hingga matahari menjadi sangat menyengat, kami baru selesai koordinasi terkait proses pemakaman Istri Bapak itu. Dan setelah itu tidak ada panggilan gawat darurat lagi. Kami pun menuju ke kantor kembali untuk beristirahat sembari menunggu panggilan yang akan datang.
Â
Aku melepas baju hantu setelah disterilkan. Tubuhku basah kuyup. Haus. Perutku nyeri minta segera diisi nasi. Tapi aku tahan tidak makan minum sebelum mandi. Mandi dulu baru makan. Usai mandi aku makan lahap sekali.
Keesokan hari aku masih baik-baik saja. Berangkat kerja melayani warga. Namun pada malam harinya aku merasakan ada keanehan dalam tubuhku. Badanku menghangat, punggungku pegal-pegal. Tidak mengganggu aktifitas. Tapi cukup membuatku curiga.
Jangan-jangan gara-gara kemarin tidak sarapan, imunku turun jadi kena. Aku memeriksakan diri, merelakan kapas putih menyodok lubang hidung kiriku. Perih sebentar. Dan hasilnya benar. Aku terkena sakit yang lagi ramai itu.
Semakin menyesal aku mengabaikan sarapan. Aku teringat kata dosen pembimbingku dulu, jangan tinggalkan sarapan, atau kamu akan jadi makin goblok dan gampang penyakitan. Entah ada bukti ilmiahnya atau tidak, sudah lama berhadapan dengan penyakit ini aman saja, baru kali ini setelah tidak sarapan bisa kena.
Masih Juli.
Aku mengurung diri di bilik yang sepi. Ditemani hantu-hantu yang beterbangan di kepalaku. Lemas. Menahan panas-dingin, lalu lalang dalam badanku. Gerah lalu menggigil, terus saja. Juga udara, semakin sulit saja paru-paruku meraihnya, membuat pikiranku membayangkan kemungkinan yang tidak-tidak.
Aku mulai batuk. Ada yang menyumbat hidungku. Ada yang membalut lidahku. Membuatku tak bisa membau apa-apa. Membuatku tak bisa mengecap apa-apa. Â Duniaku menjadi tak punya rasa. Tapi ini pertanda baik, katanya.
Benar. Aku berangsur pulih. Tapi hidungku masih saja tak bisa membau apa-apa. Lidahku tak bisa mengecap apa-apa. Sampai berhari-hari. Tapi aku tetap paksa sarapan, tetap rutin makan.
Akhirnya aku boleh keluar. Walau badan belum terlalu bugar. Setidaknya aku selamat. Tapi betapa kagetnya ketika kudengar kabar, ada seorang kepala yang membidangi penyakit ini tidak selamat setelah hampir dua bulan dirawat karena sakit yang sama. Innalillahi.
Agustus
Aku rutin sarapan pagi, makan siang dan malam. Ternyata tak mengikuti berita membuat waktu berlalu lebih cepat dari yang aku duga. Tiba-tiba sudah merdeka saja.
September
Aku rutin sarapan. Biar tidak gampang penyakitan, kata dosbingku dulu.Â
Sepertinya keadaan sudah mulai mereda. Semoga tetap begini. Tak memburuk seperti bulan-bulan sebelumnya. Amin.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H