Sehingga atas alasan itulah pada hari H pelaksanaan upacara penganugerahan, sejumlah mahasiswa Unnes terlihat berbondong-bondong melakukan aksi demonstrasi.
Sebagai wujud protes, mereka mengibarkan spanduk bertuliskan "Tegakkan integritas kampus, jangan obral kepada tikus" , kartu merah pun dikeluarkan. Namun sia-sia. NH tetap diberi gelar doktor kehormatan oleh kampus Unnes.
Pada kesempatan yang lain, pihak Kampus Unnes menjelaskan bahwa pemberian gelar itu sudah berdasarkan atas kajian matang. NH dianggap memiliki kontribusi terhadap dimulainya industri pengelolaan sepakbola di Indonesia.
"Pertimbangannya sesuai peraturan menteri, akreditasi A prodi pengusul, analisis persyaratan akademik oleh Tim Promotor, Senat Fakultas, dan Senat Unnes,” kata Rektor Unnes Fathur Rokhman kepada Tirto.
Sedangkan terkait sejarah kelam yang dimiliki NH, Pak Fathur mengatakan: “Persoalan yang terkait politis bukan ranah perguruan tinggi. Aspek karakter dan ketokohan sudah dikaji sebagai bagian dari kajian akademik,”.
Hmm.. terasa agak meragukan apakah karakter dan ketokohan NH, mantan napi korupsi itu sudah dikaji secara benar-benar matang.
Tetapi ya mau bagaimana lagi, berdasarkan Peraturan Menristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan, ketentuan pemberian gelar sepenuhnya diserahkan pada kebijakan kampus masing-masing. Kementerian hanya punya wewenang untuk mencabut gelar itu jika terbukti tidak memenuhi syarat.
Dengan kata lain, kampus boleh sekarepe dhewe dalam menentukan tata cara dan syarat pemberian gelar doktor kehormatan.
Apabila masih belum terima tokoh tersebut diberi kehormatan, maka masyarakat bisa melaporkan kepada kementerian untuk pengajuan pencabutan.
Jadi mungkin itulah alasan kenapa akhir-akhir ini banyak kampus terkesan "mengobral" gelar doktor kehormatan honoris causa untuk tokoh yang tidak jelas kontribusinya. Tapi saya sih tidak peduli.