Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Bedah Puisi: Bermodal Sendok Garpu Menjadi AU

7 Januari 2021   05:19 Diperbarui: 7 Januari 2021   18:55 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkap layar kompasiana

Intro dulu

Halo Sobat Kompasianer! Sekian lama nih kita tidak berjumpa untuk membedah puisi tanpa teori. Nah, sekarang mulai bedah lagi, yuk! Buat seru-seruan ajaa..

Baca juga:

Dalam kesempatan kali ini mari kita bedah puisi berjudul "Jika Aku Sendok, Maukah Kau Jadi Garpu?". 

Puisi tersebut merupakan salah satu karya dari seorang Kompasianer bernama Siwi W. Hadiprajitno. Mm.. Siapa dia? Entahlah, saya juga tidak kenal.

Tapi seperti biasa,  semakin kita tidak kenal dengan penulis, maka semakin enak dan leluasa bagi kita dalam melakukan pembedahan puisi tersebut. Jika puisi itu bagus, kita bilang saja bagus, jika jelek ya bilang aja kurang bagus. Baiklah, mari kita mulai.

Bedah Puisi 

Berikut ini saya sertakan puisi "Jika Aku Sendok, Maukah Kau Jadi Garpu?". Silakan baca dulu, pelan-pelan.

Jika Aku Sendok, Maukah Kau Jadi Garpu?

Jika aku sendok
maukah kau jadi garpu?
agar tiap suap asupan jiwa
siap menggenapkan
kehadiran kita di semesta raya

agar tiap suap
seimbang
kanan dan kiri
sehingga kita makin paham
arti mensyukuri

agar tiap suap
memuat hanya setakar
yang mulut sanggup mengunyah
dan enzim kelenjar saliva sanggup mencerna

lipase
amilase
lisozim
haptocorrin

tak lebih
tak kurang

Jika aku sendok
maukah kau jadi garpu?
kita sendok-garpu

bukan yang kotor teronggok
melainkan yang bergerak dan mengisi
sebagaimana puisi
yang lahir dari hati

Parung Mulya, 4 Januari 2020

Menerka Makna

Puisi di atas menggambarkan aku-lirik dan kau-lirik memiliki hubungan batin yang amat dekat. Kemungkinan besar mereka berdua adalah sepasang kekasih. Puisi tersebut berisi ungkapan aku-lirik yang ingin melamar kau-lirik.

Jika aku sendok/ maukah kau jadi garpu? Larik ini bukan kalimat gombalan biasa. Tapi larik ini merupakan bentuk puisi dari kalimat umum "Maukah kau menjadi pendamping hidupku?" Atau dalam artian aku-lirik ingin menjadikan kau-lirik sebagai istri.

Bukan sekadar ingin menjadikan kau-lirik sebagai pacar-- sebab sendok dan garpu merupakan benda yang pasti ada di dalam sebuah rumah, peralatan makan. 

Jadi bisa dibilang analogi sendok-garpu digunakan oleh aku-lirik karena bermaksud ingin membangun rumah tangga, makan bersama, hidup bersama kau-lirik. 

Jika hanya gombalan biasa, mungkin aku-lirik akan menggunakan analogi benda-benda di luar rumah, misalnya Jika aku sedotan, maukah kau jadi kantong plastik?

Hal itu diperkuat dengan larik-larik dalam puisi tersebut semuanya menjelaskan hubungan antara sendok dan garpu tak ubahnya seperti peran sepasang suami-istri yaitu berpasangan, dan harus saling melengkapi satu sama lain.

Puisi tersebut juga ingin menyampaikan nilai bahwa dalam menjalin hubungan itu perlu untuk senantiasa menanamkan rasa bersyukur, selalu bekerja sama, dan perlu produktif dalam bekerja sesuai peran. bukan yang kotor teronggok/ melainkan yang bergerak dan mengisi.

The Lucky One

Yang beruntung. Begitulah bio yang dicantumkan Siwi W. Hadiprajitno dalam profil akun Kompasiana miliknya. 

Tangkap layar kompasiana
Tangkap layar kompasiana

Saya rasa, bio itu memang mujarab. Ini terlihat dari betapa beliau sangat beruntung puisi "Jika Aku Sendok, Maukah Kau Jadi Garpu?" yang ia tulis beberapa waktu lalu dipilih editor Kompasiana sebagai Artikel Utama.

Puisi tersebut begitu sederhana. Penganalogian sendok-garpu untuk mengisi puisi tersebut sudah sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga terkesan jenuh, kurang orisinil.

Pun dari segi penggunaan diksi. Mayoritas merupakan diksi yang umum biasa dipakai dalam keseharian. (Kecuali beberapa kata mapel biologi, sepertinya Penulisnya anak IPA). Keumuman diksi itu menjadikan keindahan sastra dalam puisi tersebut kurang menonjol.

Jika puisi tersebut dikirim ke media cetak semisal koran Kompas, atau dikirim ke media siber macam kompas.id, saya ragu editor media-media ini mau berkenan untuk memilih puisi itu sebagaimana yang dilakukan editor Kompasiana.

Namun itulah yang membuat Kompasiana istimewa. Betapa puisi sederhana sekalipun begitu dihargai. Editor tak pelit untuk menjadikan puisi yang sederhana sebagai puisi pilihan, bahkan kalau beruntung dapat pula memberikan Artikel Utama pada puisi kita (pernah beberapa kali puisi recehku beruntung dijadiin AU).

Itu yang Aku suka dari Editor Kompasiana. Dengan begitu, penulis puisi pemula, seperti saya, jadi terpacu untuk makin bersemangat dalam menghasilkan karya setiap harinya. Tentunya sambil terus melakukan perbaikan pada setiap puisi yang akan ditulis.

Membuat Puisi ala Siwi W. Hadiprajitno

Siwi W. Hadiprajitno dalam puisi "Jika Aku Sendok, Maukah Kau Jadi Garpu" menunjukkan kepada kita, bahwa menulis puisi itu ternyata mudah.

Tidak perlu muluk-muluk. Tidak perlu memaksa diri sampai pusing memikirkan penggunaan diksi biar jadi puisi yang keren. Cukup bermodal tema sederhana dan kosakata yang terbatas, kita pun sebenarnya bisa membuat puisi.

Hanya saja kita belum mau mencoba, atau sudah mencoba tapi takut hasilnya jelek. Padahal ternyata menulis puisi itu seperti sedang bermain, bermain kata-kata. Tinggal tulis saja.

Jika berminat menulis puisi, berlatih, bermain-main kata--sebagaiman puisi yang di tulis oleh Siwi W. Hadiprajitno, kita bisa mencoba membuat puisi serupa dengan tema cinta, lalu mencari benda-benda di sekitar kemudian dianalogikan dan uraikan persamaannya. Contoh:

  • Jika Aku Kopi, Maukah Kau Menjadi bibir?
  • Jika Aku Kopi, Maukkah Kau menjadi Puisi?
  • Jika kau embun, akulah daun-daun
  • Kau sepatu aku jejak-jejakmu
  • Jika Aku Senja, maukah Kau menjadi Jingga?
  • Kau awan yang tak pernah hujan
  • Aku saku kau kepinganku
  • Jika aku celana, maukah kau jadi resletingnya?
  • Jika aku kecup, maukah kau menjadi kening
  • Jika Aku Jika, maukah Kau menjadi Apabila?
  • Jika Aku Tiada, Kau harus selalu Ada
  • Apa lagi ya...

Temukan satu kalimat yang sekiranya cocok, lalu tinggal lanjutkan. Selamat mencoba!

Penutup

Demikian. Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Jangan diambil hati.

Sampai jumpa! Hati-hati di jalan.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun