“Dan nanti malam itu masuk Sabtu pahing, aku khawatir pak Dalban bakal nyerang lagi. Makanya aku minta suamiku sowan ke pak Yai untuk minta amalan lagi serta mendoakanku agar terhindar dari serangan menyeramkan itu.”
“Sebenarnya aku sudah capek, Dul.”
“Waduh, kalau apa yang kamu ceritakan ini benar, jelas ini parah sih!”
Dia tak merespon tanggapanku yang masih ragu. Maya melanjutkan menyapu debu-debu dan tahi ayam kering yang menempel di lantai, menyeroknya dengan pengki lalu memasukannya ke dalam tong sampah.
Aku terdiam memandang punggung ringkihnya. Ketika ia berbalik kulihat warna yang sempat tergurat oleh lengkung bibirnya menghilang. Wajahnya kembali pucat pasi sepenunya.
Tak lama, deru knalpot motor terdengar dari arah belakang mengalihkan fokus mataku dari wajah Maya. Familiar sekali, ini pasti suara knalpot motor supra lawas! Benar saja, semakin dekat, kulihat seorang Pria berumuran tiga tahun di atasku, bersama anak perempuan lucu umur tiga tahunan sedang menunggangi Supra Bapak.
Pria itu menyapaku dengan merdu,
“Wah, ada Kang Abdul! Kenapa cuma di luar, monggo pinarak masuk ke rumah, Kang”.
“Maya, tolong bikinkan teh poci untuk Kang Abdul”
“Dek Risa, ayo salim sama Om Abdul”
“Matur suwun. Mboten usah repot-repot, Mas”
“Saya cuma kebetulan lewat aja. Saya harus segera berangkat ngurus kerjaan. Lain kali saja saya mampir ke dalam.”
Pria itu mengangguk sambil tersenyum hangat diikuti anak ceweknya yang mengembungkan pipi dan membebekkan bibirnya. Setelah aku pamit kepada Maya, Suami, dan anaknya aku kembali menarik gas skuterku.
Melaju sambil memandangi keharmonisan keluarga kecil mereka dari balik pecahan spion skuterku.
Tepat ketika skuterku melewati kandang kambing milik Pak Rudy, mulutku tak terkendali, dan langsung reflek berteriak
Wedhus Kabeh, Koen!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H