Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Septima Bulan September

7 September 2020   11:45 Diperbarui: 13 September 2020   18:01 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

September Jingga

Senin pukul sembilan, gerimis turun tipis di irigasi yang mati suri.
Menyapa tiga ekor sepat yang terhimpit gabus dan bangkai tikus.
Tiga sepat terakhir itu nampak ceria balik menyapa.
Sirip-sirip koyak merdu berkecipak di genangan lindi.
"Gerimis, tiga menit lagi insang kami tak berfungsi"
"Gerimis, Dapatkah kau segera menjelma hujan?"
"Duhai gerimis, tolonglah. Kaulah penyelamat kami dari kematian"

Senin pukul sembilan lebih dua, matahari tak lagi bermalu-malu.
Jingga membara membakar mega-mega.
Pengharapan tak sempat terkabulkan.
"Maafkan aku, kawan"
"Jingga menahanku tuk jadi hujan
"
Gerimis memudar bersama sengal tiga sepat terakhir.
Amis kenangan larut dalam genangan.

Senin pukul sembilan lebih lima, di seberang irigasi.
Anak-anak bergerombol di bawah anyaman blarak.
Kepala mereka merunduk dua mata mereka membentuk kotak.
Siku dan dengkul mereka retak-retak.
Bibir-bibir kecil mereka riuh ria bersorak-sorak.
"Anjaaay! Damage-nya gak ngotak!"
"Yahaha! Hayuk attack lord slurr!"

September Magenta

Sepasang dara menari di gumpalan awan.
Dara jantan meliuk-liuk dari utara balik ke selatan.
Dara betina malu-malu mengepak dengan anggun.
"Puan, biarkan putih awan ini tahu bahwa aku mencintaimu"
"Tuan, biarkan putih awan ini tahu bahwa aku juga mencintaimu"
Gumpalan awan cemburu, putih tubuhnya perlahan membiru.
bara mentari berpadu, warna magenta terpicu.

Di permukaan bumi suara kendang sedang bersahutan
Sahut-sahut saling balas, kaca jendela bergetar keras
Kaki-kaki semut mendadak kebas
Sepasang manusia muda sumringah di atas pelaminan
Wajah jelita Sang wanita ber-paes ageng nampak memerah merona
Sang lelaki berbalut jangkep bersaku keris nampak bungah lagi gagah
"Setiap suap dulangan ini adalah kasih kita yang abadi sepanjang masa"

Di sudut tenda dalam naungan tarub,  suara isak lirih bersayup-sayup
Seorang perempuan berwajah biru tersedu-sedu
Biji-biji matanya tenggelam dalam kolam
"Seharusnya aku yang di sana, Mas"
"Sembilan tahun bersama, menjalin kisah bermandikan asa"
"Dan hanya karena weton yang tak senada, itu semua sia-sia?"
"Ingin rasanya kumatikan Rama-Biyungmu yang kolot itu, Mas!"

September Hitam

September masih sama.
Suara-suara masih tercekat oleh malam-malam yang pekat.
Kenangan-kenangan tangis itu masih tabu untuk diingat.
Jiwa-jiwa sepi itu masih melarat.
Lidah-lidah itu masih penjilat.
Pokok kita diminta tobat.
Ya sudah, kita tunggu saja di akhirat.

Ampun...
Ampuni hamba, tuan.
Ampun...
Ampuni hamba, puan.
Ampun, jangan didamprat.
Ampun, jangan terdamprat.
Ampun, asmaku kumat!

Pantura, September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun