Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sajak Sundari

5 September 2020   17:00 Diperbarui: 9 September 2020   18:14 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih di sini. Di sampingmu.
Memandangi air wajahmu yang masih saja kelu usai tiga tahun kematianku.

Aku masih di sini. Di sampingmu.
Menangisimu yang masih saja pilu mengelus hitam rambutku di secarik kertas itu.

Aku masih di sini. Di sampingmu
Membaui hidungmu dengan parfum kinanti favorit yang dulu kau taburkan di sela-sela tubuhku.

Aku masih di sini. Di sampingmu.
Memandu pitik-pitik bernyanyi riang menyingkirkan kelam malam yang menusuk hatimu.

Aku masih di sini. Memelukmu merdu.
Menghangatkan tubuhmu yang meringkuk ringkih di sudut kamar tempat kita pernah menghisap madu.

Tapi kau masih saja bodoh seperti dulu! Suami yang tidak peka memahami kehendakku, Isterimu!

Mas,

Rambut panjang yang setiap malam kau gerai kini sudah terurai
Pipi chubby yang suka kau cubit lembut kanan kiri kini sudah terburai

Lentik jemariku yang dulu kau genggam kini sudah tenggelam
Badan dan lemak yang setiap saat kau dekap kini sudah lenyap.

Bumi telah mengikis ragaku, menyisakan belulang yang menunggu usang.

Mas,

Mau sampai kapan kau terus-terusan menahan jiwaku ini dengan kerinduanmu?
Mau sampai kapan kau terus-terusan mengikat jiwaku ini dengan kesedihanmu?

Mas,

Tak bisakah kau merelakanku pergi, tak bisa kah kau melepas jiwaku yang sudah tak punya mimpi ini?

Tak bisa kah kau bangkit, membangun kebahagiaanmu lagi?

Mas,

Sundari sudah lelah, Mas! Jiwaku kini sudah semakin melemah. tak bisa jika terus-menerus tak kau relakan untuk lepas begini.

Janin yang dulu mati bersamaku, anak lelaki pertama yang belum sempat kita beri nama, setiap malam memanggilku. Rengekan tangisnya menyeruak memintaku memeluk tubuh mungilnya yang kedinginan.

Aku ingin ke sana, memenuhi panggilannya, menghapus rengekan dia, menimang-nimang dia di bawah naungan daun-daun bidara surga.

Mas, 

Aku mati bukan karena kesalahanmu. Pun, Anak lelaki yang belum sempat kita namai. Aku dan dia tak pernah menyalahkanmu.

Jadi mohon, hilangkanlah segala rasa bersalahmu.
Tolong, segeralah lepaskan jiwaku!

Sundari mati tiga tahun lalu ketika sedang berjuang melahirkan anak pertamanya.

Sang suami dilanda kesedihan yang berkepanjangan, setiap malam Ia menangis sambil memandangi potret Sundari. 

Sampai saat ini serpihan jiwa-jiwa Sundari masih tertinggal dan tertahan di bumi.

***👻👻👻***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun