Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lama Tak Masuk Sekolah, Banyak Siswa Malah Asyik Belajar Bikin Anak di Rumah

25 Juli 2020   16:05 Diperbarui: 25 Juli 2020   16:43 2805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diambil dari STRANAS PPA Bappenas

Selamat, anda kena clickbait! Tapi jangan dulu pergi dengan buru-buru. Ini clickbait bukan sekadar clickbait. Sebab, peningkatan angka kasus Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD) di kalangan pelajar benar-benar sedang  terjadi belakangan ini.

Tidak percaya? Coba baca berita ini, Hamil Duluan, 240 Siswa SMA di Jepara Kompak Minta Dispensasi Nikah. Ketua Panitera, Pengadilan Agama (PA) Jepara, Pak Taskiyaturobihah bilang, rata-rata pemohon dispensasi nikah berasal dari siswa SMA kelas dua yang kebanyakan masih 16 tahun, dengan alasan sudah hamil duluan.

Dan yang bikin miris (meringis sambil menangis), Pak Taski bilang, saat persidangan ada beberapa siswa yang mengaku melakukan hubungan seks ketika berada di rumah, saat orang tua bekerja. Yee.. mentang-mentang lagi disuruh belajar di rumah, pelajaran biologi kok dipraktikkan sembarangan! Haha.

Fenomema ini tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Tegal. Tercatat selama 2020 berjalan sudah ada 261 permohonan dispensasi nikah yang masuk ke PA Slawi. Bahkan, mengalami lonjakan saat masa pandemi ini dimana bulan Juni tecatat ada 63 pengajuan dan berjalannya bulan Juli sudah ada 33 pengajuan.

Baca juga: Pandemi Virus bikin KB Susah diurus, Padahal Seks Jalan Terus

Menurut Pak Sobirin bagian Humas PA Slawi, 'kecelakaan' alias tekdung duluan adalah salah satu alasan utama permohonan dispensasi selain karena alasan kekhawatiran orang tua sebab hubungan mesra anak mereka berisiko bikin terjadi 'kecelakaan' yang melanggar norma sosial, budaya, dan agama.

Permohonan dispensasi nikah merupakan isu yang erat berkaitan dengan KTD dan hubungan seks Pranikah. Studi koalisi 18+ tentang dispensasi nikah menyebutkan 98% orangtua menikahkan anaknya karena anak dianggap sudah berpacaran/bertunangan.

Kalau sudah begitu, siapa yang pusing? Tentu saja bukan saya! Yang pusing itu si pasangan remaja, orang tua, keluarga dan Pengadilan Agama. O iya, Negara juga ikutan pusing.

Di usia yang masih belasan tahun dan masih labil, kebanyakan remaja belum siap secara mental untuk melakukan pernikahan. Apalagi kalau alasan pernikahan karena sudah hamil duluan, nasib mereka akan sama kayak Bima dan Dara dalam film Dua Garis Biru.

Pasangan remaja itu bakal pusing, tidak bisa lagi belajar dengan teman-teman sekolah karena sudah pasti di DO dan mendapatkan pandangan sinis hingga caci maki dari lingkungan tempat tinggal.

Orang tua dan keluarga bakal pusing, akibat kelakuan tidak pikir panjang si anak, mereka bikin repot ngurus sana-sini sambil meladeni omongan tetangga yang makin pedas.

Pengadilan Agama pusing musti mengabulkan permohonan dispensasi nikah atau tidak. Di satu sisi PA harus berperan untuk menjalankan UU No. 19 tahun 2019 demi mencegah penikahan dini di bawah usia 19 tahun.

Di lain sisi, PA perlu mengabulkan permohonan karena mempertimbangkan kondisi sosial pasangan remaja dan nasib anak yang sedang di kandungnya kelak. Keadaan inilah yang berkontribusi menyebabkan angka pengabulan permohonan dispensasi nikah secara nasional mencapai 99%.

Negara juga merasa pusing! Penurunan Prevalensi pernikahan dini di Indonesia selama 10 tahun terakhir tergolong lambat. Bahkan sempat mengalami kenaikan pada tahun 2016 sebesar 11,1% menjadi 11,2% pada tahun 2018. 

Tren kenaikan angka perkawinan anak seperti yang terjadi di Jepara dan Slawi atau daerah lain pada berjalannya tahun 2020 ini merupakan ancaman yang harus dikendalikan oleh Negara. Kalau tidak, target Negara menurunkan perkawinan anak sebesar 8,74% pada tahun 2024 dalam STRANAS PPA bisa gagal tercapai.

Dampaknya, Negara kita rugi besar sebab tingginya prevalensi perkawinan anak dapat menghambat upaya pembangunan Nasional yang bertujuan untuk meningkatan kualitas SDM yang unggul dan berdaya saing. Mana bisa bersaing dengan negara lain, kalau anak-anak remaja di Negara ini malah sudah sibuk ngurus anak.

 Jika permasalahan ini terus saja terjadi, "Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur" hanya akan jadi slogan yang tidak pernah terwujud.

Sampai sini, saya harap anda tidak ikut-ikutan pusing! Masalah pernikahan dini, atau Bappenas menyebutnya dengan Perkawinan Anak, sebenarnya memang masalah yang sangat kompleks. Coba lihat grafik betapa njlimet teori ekologis yang menjelaskan tentang fenomena Perkawinan Anak di bawah ini. Jadi masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan pikiran yang lagi pusing.

Diambil dari STRANAS PPA Bappenas
Diambil dari STRANAS PPA Bappenas

Hal yang perlu kita lakukan adalah dengan bersama-sama berperan aktif dalam mencegah perkawinan pada anak remaja. Sebagai orangtua anda berperan mendidik dan mengawasi perilaku anak, sebagai anak remaja anda berperan untuk jaga diri saat berasmara.

Sebagai guru anda berperan mendidik siswa tentang pendidikan reproduksi, sebagai tetangga anda berperan berkeliling saat ronda untuk memergoki remaja yang berpacaran dengan nyleneh, sebagai masyarakat anda berperan perlahan mengurangi tradisi nikah dini, sebagai pejabat anda berperan untuk menegakkan kebijakan pernikahan dini. 

Sebagai Kompasianer, anda berperan untuk Vote/komen artikel ini. Enggak Baik jadi Silent Reader!

Mari kita sama-sama berperan mencegah pernikahan dini!

Referensi: Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak Kementerian PPN/Bappenas

Terimakasih sudah membca tulisan ini sampai akhir. Semoga terhibur, syukur-syukur bisa ngamil manfaat.
Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun