Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Menulis Konten di Kompasiana?

26 April 2020   06:01 Diperbarui: 26 April 2020   06:03 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis itu capek!

Menulis bagi saya merupakan kegiatan yang melelahkan. Untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh saat menulis satu artikel saja, saya harus makan in*omie rebus dua bungkus dan satu gelas teh panas dengan gula pasir dua sendok.

Jika saya diminta untuk memilih antara menulis atau mencangkul, biasanya saya lebih memilih untuk mencangkul. Selain tidak perlu pusing memikirkan sana-sini sampai kepala terasa botak. Saya pikir, mencangkul lebih sehat karena setelahnya tubuh saya jadi segar dan berkeringat.

Alasan saya tetap bertahan untuk belajar menulis adalah karena saat saya menulis, saya bisa mengeksplorasi lebih jauh pikiran-pikiran yang ada dalam otak untuk dikeluarkan. 

Selain itu, saya menemukan perasaan kepuasan tersendiri ketika tulisan yang saya buat dengan agak payah itu bisa membuat orang yang membaca merespon tulisanku dengan tersenyum, tertawa bahkan kadang merasa sakit hati karena menganggap tulisanku terlalu nylekit seperti cibiran emak-emak tetangga sebelah kosan. 

Senyum, tawa dan sakit hati pembaca itu bahagia buat saya.

Konten yang Mantul dan Mumbul

Kamu tahu, ciri khas anak kemarin sore itu petakilan, lancang, dan sok tahu. Jadi izinkan saya sebagai anak kemarin sore yang baru bergabung di Kompasiana mengeluarkan sifat petakilan, lancang, dan sok tahu kepada kamu dengan memberikan analisis ngawur tentang konten-konten yang dibuat oleh para Kompasianer.

Selama kurang lebih satu setengah bulan saya mengamati aktifitas menulis di Kompasiana, saya menemukan dua jenis konten, yaitu konten yang mantul dan Konten yang mumbul. Istilah Mantul dan Mumbul ini saya berikan biar mudah diingat saja.

Konten yang mantul (Mantap betul) adalah istilah yang saya pakai untuk menandai artikel-artikel berkualitas yang telah dibuat oleh para kompasianer. 

Apa ciri-ciri konten Mantul? Saya beranggapan konten Kompasiana yang mantul adalah artikel yang membuat saya betah berlama-lama membaca tulisan kamu. 

Ketika membaca konten yang mantul, saya bisa merasakan manfaat dan dapat mempengaruhi pikiran saya untuk bersikap sesuai apa yang kamu ingin sampaikan dalam tulisan itu. Saat membaca konten mantul, saya tak segan untuk ngangguk-ngangguk, tersenyum, merasa sedih. 

Setelah selesai membaca artikel yang mantul, Saya dengan senang hati akan rating, komen dan membagikan artikel itu  ke akun facebook/whatsapp saya. 

Dan jika konten mantul yang saya baca adalah jenis softselling atau softpromoting saya juga tak ragu untuk membeli produk yang sedang dipromosikan lewat konten tersebut.

Tapi jujur saja ya, dari enam ratusan konten yang  setiap harinya ditayangkan di Kompasiana, hanya sedikit saja yang menurut saya mantul. Kebanyakan adalah konten mumbul (tulisan saya yang sedang kamu baca ini termasuk konten mumbul).

Istilah Mumbul, saya ambil dari kosa kata bahasa Jawa, yang artinya terpantul/mantul/mental. Konten mumbul adalah konten yang ketika saya buka, membaca sekilas saja, membuat saya tak betah untuk melanjutkan membaca. Rasanya pengen segera tekan tombol back atau buru-buru scroll ke bawah untuk beralih membaca artikel lain yang lebih menarik.

Tapi biasanya saya tak setega itu meninggalkan konten yang tak jadi saya baca itu begitu saja. Sebagai apresiasi dari jerih payah mereka menulis, saya berusaha sempatkan meninggalkan jejak berupa rate atau komen standar "Terimakasih atas ulasannya" (dengan tanpa benar-benar membaca dan memahami isi artikel itu).

Saya pikir dengan meninggalkan jejak seperti itu, paling tidak memberikan kesan dan mungkin semangat bagi si penulis sehingga lebih rajin membuat konten. Ya... walaupun saya cuma asal pencet dan pura-pura baca/tertarik sih.. tapi itu lebih baik dari pada tidak meninggalkan apresiasi sama sekali. 

Apa kamu juga pernah melakukan perilaku sama seperti saya?

Kebiasaan saya yang tak jadi membaca dan segera pergi meninggalkan konten yang ditulis tersebut kalau tidak salah oleh para blogger profesional dinamakan dengan bounce rate (tingkat kemumbulan).

Tingginya angka kejadian Bounce rate menandakan bahwa konten yang ditulis belum cukup untuk membuat (calon) pembaca betah berlama-lama membaca artikel yang kita bikin.

Ibaratnya, kita adalah pedagang pisang di pasar, kita menawarkan pisang itu dengan berteriak-teriak, kemudian ada calon pembeli yang tertarik dengan pisang yang kita jajakan, pembeli itu lalu memegang pisang itu dan memeriksa kelayakannya, tapi setelah tahu sekilas pisang kita tidak mantul akhirnya dia tidak jadi untuk membeli pisang kita akhirnya beralih ke penjual pisang lain.

Di Kompasiana, sepertinya kondisi seperti itu banyak terjadi pada konten yang kita bikin. Sebagai contoh, pada bulan maret kemarin, di statistik jumlah pembaca halaman profil saya tercatat ada 20 ribu orang, tetapi ternyata yang valid hanya 7 ribu saja menurut google analytic. 

Itu berarti ada sekitar 13 ribu orang yang datang berniat untuk membaca konten saya, tetapi karena konten saya ternyata menurut mereka tidak menarik, 13 ribu orang tersebut langsung lari tanpa membaca sampai akhir, sehingga tidak tercatat oleh google analytic.

Maka dari itu saya kira membuat konten yang mantul, konten yang bukan hanya menarik tetapi bisa mengikat pembaca agar tidak mumbul ke lain artikel dalam aktifitas berkompasiana ria sangatlah penting. 

Masalahnya adalah, membuat konten yang mantul, tidak mumbul, saya pikir agak susah kalau kita hanya setengah-setengah saja. Untungnya mimin-mimin Kompasiana beberapa minggu lalu berbaik hati repot-repot memberikan kita tips dan kiat-kiat membuat konten yang mantul dalam acara event blogshop. 

Karena tak ada kuota dan harus numpang wi-fi kosan sebelah, saya baru sempat menonton videonya barusan. Setelah menonton, dan menyimak penjelasan dari Mbak Berkacamata berbaju kotak-kotak itu, saya jadi banyak tercerahkan tentang bagaimana langkah membuat konten di Kompasiana. 

Saya ulang-ulangi terus menonton videonya dengan kecepatan pemutaran 1.75. Bagi yang belum sempat nonton kayak saya, ini jejak video blogshopnya masih ada. tonton aja!

Berapa lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Membuat sebuah Konten di Kompasiana?

Sebagai seorang pemula, anak kemarin sore, saya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk membuat satu artikel. Setidaknya saya memerlukan waktu minimal satu jam sampai dengan satu hari dari mulai menemukan ide, mencari bahan bacaan untuk referensi, menjepret foto/mencari gambar ilustrasi, membuat kerangka tulisan, memulai menulis, mengedit dan mempercantik postingan, hingga siap untuk saya tayangkan.

Akibat dari kelambanan saya membuat konten tersebut, terkadang ketika konten baru selesai saya bikin, ternyata topiknya sudah keburu basi untuk dibaca oleh para kompasianer dan pembaca non kompasianer. Hehe.

Padahal di Kompasiana, kita dituntut  disarankan untuk menjadi blogger nyrempet-nyrempet seperti jurnalis yang dapat memberikan ulasan tentang topik dari tren terhangat secara cepat dan tepat. 

Ya, walaupun menulis topik evergreen, topik yang populer sepanjang masa bisa juga dituliskan di sini sih, tetapi menulis berdasarkan tren menjadi kemampuan yang istimewa untuk dimiliki.

Makanya, Saya kagum dengan para Kompasianer yang sangat produktif mampu menulis dengan cepat banyak artikel dalam satu hari. Bahkan saya lihat ada beberapa anggota dari  Komunitas Kompasianer Brebes rutin sekali membuat konten, padahal usia mereka rata-rata sudah hampir tua dengan kesibukan yang padat. Tetapi saya yang muda, dan tidak lebih sibuk dari mereka, malah kalah semangat dan kalah produktif dari mereka. 

Kalau kamu, Butuh Berapa lama untuk membuat sebuah konten di Kompasiana?

Penutup

Tetap semangat dan konsisten menulis setiap hari, ya!
Harapan saya, dengan selalu menjaga rasa semangat dan konsistensi menulis (di Kompasiana), kuantitas dan kualitas konten yang kita bikin  semakin semakin hari semakin tinggi. Meski menulis itu lebih melelahkan daripada mencangkul. Tetapi ketika kita bisa menghasilkan konten yang mantul, rasa lelah itu terbayarkan dengan hati yang terpuaskan.

Tak percaya, tak apa.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun